Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mari Belajar Mengaku Tidak Tahu

18 Desember 2017   04:50 Diperbarui: 18 Desember 2017   05:52 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika Anda pengguna social media, kemungkinan besar Anda pernah menemui perdebatan panjang tak berujung pangkal antar akun. Khususnya di twitter, pola umumnya adalah, satu atau dua akun beneran saling serang diramaikan akun-akun abal-abal dari masing-masing pihak.

Yang menarik, apapun tema debat tersebut, mulai dari soal politik, agama, hingga gossip artist, selalu diwarnai klaim diri masing-masing pihak sebagai yang benar. Kalaupun ada ucapan merendah, biasanya bernada sarkastik.

Memang, namanya debat tak ada yang mau kalah. Pun argumennya parah, pantang nampaknya untuk mengalah, apalagi mengaku salah. Ngeyel adalah semangat yang didengungkan mereka ini. 

Saya terkadang geleng-geleng kepala, ketika menemui akun-akun tidak jelas yang kekeuh mendebat tokoh-tokoh yang sudah jelas kalibernya diakui. Belakangan tentu Anda sempat dengar bagaimana Prof Mahfud MD diserang habis-habisan di twitter terkait ketegasan sikapnya di sebuah acara dialog bertemakan khilafah.

Saya terkadang tak habis pikir, apa yang ada di dalam isi kepala orang-orang yang mencuitkan tweet kontra tersebut. Alih-alih berterima kasih seorang pakar sekelas Mahfud sudi berbagi ilmu, eh malah menyerang bahkan membully. Ini benar-benar tak bisa dinalar dengan akal sehat.

Tuhan menyuruh manusia untuk belajar, dari awal buaian hingga akhir hidup sebelum masuk kuburan. Prasyarat untuk seorang bisa belajar, adalah mengakui kalau dirinya tidak tahu. Dari pengakuan jujur ini--setidaknya ke diri sendiri--baru kita bisa menampung luapan ilmu dari mereka yang lebih dahulu dikaruniai ilmu.

Saya memandang social media adalah wahana mutakhir untuk mengakses sumber-sumber ilmu apapun dalam wujud akun para tokoh. Tentunya tokoh dengan kolam keilmuan yang meyakinkan, bukan tokoh yang dipopulerkan hanya oleh media apalagi diri sendiri.

Namun sekali lagi, social media ibarat pisau bermata ganda. Satu sisi bisa digunakan memotong makanan dan memberi manfaat bagi penggunanya, di sisi lain bisa pula digunakan untuk kejahatan dan menimpakan keburukan. 

Hmmmm....jawabnya balik ke kita masing-masing.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun