Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mudahnya Berislam Secara Simbolik

15 Desember 2017   01:29 Diperbarui: 15 Desember 2017   01:44 1295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada fenomena menggejala beberapa waktu belakangan di sebagian masyarakat kita, khususnya kelas menengah perkotaan Muslim. Yaitu adopsi nilai-nilai Islam secara simbolik.

Sebegitunya sampai, terkadang kita lihat, simbolisme yang amat menonjol. Namun sayangnya, simbolisme ini sering tak diimbangi implementasi esensi keislaman itu sendiri. Buktinya, marak kita lihat ramai massa menampilkan diri dengan balutan busana islami, namun di saat bersamaan perilaku, ucapan dan tindakannya merusak, mengancam dan bahkan menyakiti sesama.

Begitu pula banyak dijumpai mereka yang mengklaim diri sebagai pemuka agama, namun pikiran, sikap dan tindakannya rasis, seksis bahkan bigot. Pun tak sedikit yang kemudian terjebak dalam perilaku partisan secara politis, baik pro maupun kontra pemerintah.

Belakangan saya kerap mendengar ajakan 'berhijrah'. Mungkin Anda pun kerap menemuinya. Tak sedikit kawan dan kenalan saya yang mengaku telah berhijrah. Dan all of a sudden, makjegagik, tampilan mereka berubah, bahasa mereka berubah, orientasi sosial politik mereka berubah.

Berubah ke arah positif pastinya hal yang patut didukung. Dan saya mendukung siapa saja yang mau menjadi lebih baik. Namun, sering saya jumpai, kawan-kawan ini, kembali terjebak simbolisme dan melewatkan esensi keislaman itu sendiri. Esensi akan keberserahan diri kepada Yang Di Atas, kerendahan hati, represi ego dan nafsu, toleransi akan saudara seiman maupun sebangsa dan lain sebagainya.

Atas nama berislam secara kaffah, mereka melabeli segala sesuatu di sekelilingnya dengan atribut-atribut islami.  Sebentar-sebentar menyitir ayat atau hadist, kemudian jika ada pandangan yang kontra, mereka langsung meminta dalilnya. Tak hanya di hal-hal terkait akidah maupun ibadah, namun seringpula perihal mualamah. Seakan tak puas jika tak ada fatwa untuk dijadikan rujukan, bahkan jika fatwa yang dimaksud dikeluarkan oleh ustadz yang tenar di TV namun tak jelas kualifikasi keilmuannya.

Kawan-kawan ini pun banyak yang kemudian merasa wajib berpolitik aktif, khususnya mendukung partai atau ormas yang berlabelkan Islam. Sekali lagi saya tegaskan, ber-label Islam. Ingat partai X yang meski semua kadernya berpenampilan islami namun selalu terjerembab di kasus korupsi? Ingat ormas Y yang meski anggotanya berbalut gamis namun tingkah lakunya bak preman pasar. Ingat pula organisasi transnasional yang meski mengklaim diri membela Islam namun lebih sibuk melakukan brainwash mahasiswa alih-alih berkontribusi nyata ke massa. 

Simbol itu penting, namun esensi lebih penting. Simbol ibarat baju, musti dipakai dengan baik untuk memantaskan badan. Namun esensi ibarat hati yang memancarkan sinar kepribadian yang menembus badan dan baju pembungkusnya. Adalah percuma memantaskan baju, namun melupakan hati. Adalah absurd mengusung simbol namun menafikkan esensi keislaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun