Masih ingat nama Andika Surrachman dan Anniesa Hasibuan yang beberapa waktu lalu jadi sorotan publik tanah air?Â
Pasangan pemilik biro haji dan umrah First Travel dibicarakan di mana-mana lantaran kasus kriminal yang menjeratnya. Ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan tak kurang dari 72 ribu calon jemaah umrah dengan nilai kerugian publik tak kurang dari 1,04 trilyun rupiah. Sekitar 14 ribu orang sudah diberangkatkan, puluhan ribu lainnya masih terkatung-katung tak jelas nasibnya.
Menggunakan modus operandi penawaran paket umrah murah ke tanah suci, pasangan muda ini mampu menyihir begitu banyak orang untuk menyetorkan minimal 14,5 juta rupiah sebagai biaya umrah. Nilai yang jauh lebih rendah dibanding standar biaya yang ditetapkan Kementerian Agama minimal 20 juta rupiah.
Yang membuat publik lebih tercengang adalah mengetahui bahwa dari trilyunan uang yang dikumpulkan dari calon jemaah, hanya tersisa 1,3 juta rupiah di rekening kedua tersangka. Sementara, keduanya masih mempunyai utang tak kurang dari 80 milyar untuk pengurusan tiket dan 24 milyar untuk hotel dan konsumsi di Arab Saudi.
Ke mana ratusan milyar uang jamaah raib? Sejauh ini penyelidikan polisi mengindikasikan sebagian uang diinvestasikan ke koperasi Pandawa yang dibekukan beberapa waktu sebelumnya karena melanggar undang-undang keuangan. Sebagian lainnya digunakan keduanya untuk membiayai kehidupan mewah keduanya.Â
Tengok rumah mewah mereka di kawasan Sentul, yang kabarnya bernilai puluhan milyar. Tengok pula koleksi mobil mewahnya. Belum lagi beberapa butik dan aset bisnis keduanya di berbagai kota besar dunia, seperti London, New York dan Kuala Lumpur. Tengok pameran foto jalan-jalan keliling dunia yang merela lakoni. Serta, penelusuran polisi menyebut pasangan ini menggelontorkan dana ratusan ribu dollar untuk membiayai 'obsesi' Anniesa Hasibuan sebagai fashion designer lewat peragaan busana rancangannya di ajang dunia seperti New York Fashion Week dan sebagainya.
Banyak analisis yang coba menjelaskannya. Namun ijinkan saya mengajukan satu analisis sendiri. Dalam pemaknaan saya akan kasus ini, kasus First Travel adalah wujud mentalitas sebagian masyarakat kita yang menjadikan kaya sebagai panglima.Â
Kaya adalah tujuan hidup. Menjadi kaya, apapun caranya, bagaimana pun metodenya, adalah target yang musti dicapai. Berlabel kaya adalah keutamaan nilai yang dipegang dan diimpikan. Karenanya, wajar kiranya jika kedua pasangan pemilik biro umrah ini tega melakukan penipuan semasif itu.Â
Kaya sebagai panglima pula yang menjangkiti begitu banyak pejabat yang terjerat kasus korupsi. Bahkan dengan keberadaan dan gencarnya KPK melakukan operasi tangkap tangan, mereka tak jera dan terus saja berusaha menilep uang negara. Demi apa? Demi menjadi kaya.
Jika kita bertanya, bagaimana seorang mempunyai mental semacam ini? Well, saya tak bisa memberi jawaban pastinya. Terlalu banyak faktor yang mempengaruhi dan teramat kompleks untuk bisa mengurainya satu per satu serta pastinya kasuistik antar orang satu dengan lainnya.
Banyak yang akan menyebut pendidikan jadi faktor penentu. Ada pula yang menyebut pengaruh lingkungan tumbuh dan pergaulan. Atau bahkan menyatakan peran dan tuntutan pasangan hidup menjadikan banyak orang mau melakukan kejahatan demi menjadi kaya. Namun kalau saya sendiri menyebut sistem hidup jaman modern sekarang yang sarat nilai konsumerisme memainkan peran utama.
Setiap saat, khususnya bagi yang hidup di kawasan urban, kita terekspos 'godaan' barang dan jasa. Ratusan ribu bahkan jutaan brand merayu setiap pandangan, menggelitik pendengaran, membelokkan langkah kita untuk menghampirinya, untuk mencicipinya, untuk membelinya.
Ketika bulan ini kita baru saja membeli smartphone, belum ganti bulan berikutnya seri lebih baru dengan berbagai fitur dan 'nilai' baru ditawarkan. Ketika kita baru saja membayar cicilan mobil bulan ini, kabar tetangga atau kawan membeli mobil baru datang mendera. Ketika baju di lemari belum semua sempat dipakai, rayuan diskon di mall gencar menerpa.
Kita pergi ke mall tak hanya untuk membei barang, tak hanya untuk mendinginkan badan saat terik ibukota menyegat batok kepala, tak hanya bertemu kawan dan kolega. Kita ke mall juga untuk menegaskan diri bagian dari masyarakat modern urban. Kita ke mall untuk selebrasi pencapaian hidup materiil.
Media massa, Â khususnya televisi dan belakangan media sosial semakin menegaskan pentingnya menjadi kaya. Tontonan tak mendidik yang hanya berisi pameran kekayaan dalam wujud film, musik, sinetron, reality show hingga pamer gaya hidup wah dari selebriti--baik beneran maupun endorsement brand membombardir setiap jengkal kesadaran kita. Coba cek Instagram Anda, figur siapa yang banyak Anda follow dan apa saja yang mereka pamerkan di sana?
Salahkah kita tergoda? Tentunya tidak. Namun, memenuhi godaan itu dengan jalan penipuan, korupsi, kejahatan itu baru salah.
Nenek moyang kita bangsa jawa mengajarkan, urip iku kudu tansah eling lan waspada. Hidup musti senantiasa ingat dan waspada. Ingat apa, waspada akan apa?
Ingat akan tujuan sebenarnya hidup. Dari mana kita berasal dan ke mana kita menuju. Filsafat hidup macam ini yang terkadang terlupakan di tengah kesibukan sehari-hari kita mengais penghidupan di kota besar.Â
Waspada akan godaan hidup, karena dalam pandangan kosmologi jawa, semua hal di dunia adalah godaan semata. Semua pencapaian materiil adalah fana semata. Karenanya manusia jawa dianjurkan untuk mencari kasunyatan dalam ruang suwung jiwanya. Demi apa? Demi menentramkan diri dari semua godaan hidup.
So, terakhir kali, coba kita tanyakan pada diri kita masing-masing. Apakah yang kita jadikan panglima dalam hidup. Khususnya kita yang mengaku beragama. Sudahkan kita jadikan tuhan sebagai panglima dan tujuan akhir setiap langkah kita, atau jangan-jangan kita sebenarnya tak jauh beda dengan kedua pemilik First Travel yang alpa dan menjadikan kaya sebagai panglima.
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H