Saya tahu, ini tema sensitif, sebagaimana judul yang saya pilih. Saya tahu akan banyak yang tidak nyaman, jengkel, atau bahkan marah dengan tulisan ini. Tapi, saya merasa perlu untuk menuliskannya. Biar jadi sentilan, semoga bisa berlanjut jadi diskusi, dan syukur-syukur berujung refleksi serta kontemplasi diri. Untuk saya, Anda, kita dan semua anak bangsa kita.
Awalnya adalah soal ajakan boikot sebuah film anak. Ada pihak yang menyebut di dalam film musikal tadi, terdapat unsur pelecehan agama Islam. Karena karakter penjahatnya disebut-sebut berucap 'astagfirullah'.
Beberapa kawan di grup WA yang saya ikuti pun nampaknya sepaham dengan hal ini. Meski tak sedikit yang kontra. Mereka yang sepaham menyebut tak sepatutnya ucapan tersebut keluar dari mulut penjahat. Sementara yang kontra menyatakan, kalau pun ucapan tadi ada dalam film, itu tak serta merta berarti menistakan agama. Apalagi, hal tersebut kan hanya ada dalam film.
Bukan sekali ini ada polemik soal produk budaya kontemporer macam film, atau produk bisnis dianggap sebagian pihak melecehkan agama. Kasusnya beragam satu sama lain, namun alurnya hampir sama. Ada satu tampilan, ucapan atau tindakan dari produk/orang tersebut, ada penafsiran dari pihak lain yang menganggap telah terjadi penistaan dan boom....ajakan boikot disebarluaskan.
Ketika ada pihak lain yang juga berasal dari umat Islam yang tidak sepaham dengan klaim penistaan, tidak setuju dengan ajakan boikot, tidak mau turut berpartisipasi dalam gerakan politisasi agama macam ini--ya saya sebutnya politisasi--boom lagi, pihak tersebut langsung mendapat cap pembela penista agama, agen yahudi, antek Barat, liberal dan sebagainya.
Saya tidak ingin terjebak polemik apakah film tadi melecehkan atau tidak. Saya tidak akan pula berseteru soal apakah patut memandang produk fiksional macam film layak dijpermasalahkan sebegitunya sampai muncul ajakn boikot. Yang saya tertarik bahas adalah, ada apa dengan orang-orang yang sebegitunya sensitif dengan segala hal, sehingga semuanya musti dilihat dengan kacamata agama dan itupun dibawa ke konteks melecehkan atau tidak?
Saya menyebut orang-orang seperti ini terlalu sensitif memaknai agama. Memaknai dunia dengan perspektif agamanya sendiri. Dengan tafsir ajaran agamnya yang dipercayainya. Akibatnya tadi, ketika ada suatu hal, baik kecil apalagi besar, yang menurut pandangan agama yang dianutnya tidak tepat, boomm...penistaan langsung dilabelinya.
Fenomena macam apa ini? Gejala apakah ini? Sindrom apa yang menjangkiti sebagian saudara kita seperti ini?
Ada yang bilang ini adalah mabuk beragama. Mengenal agama, merasa menemukan kebenaran di dalamnya, bersemangat menyebarluaskan kebenaran itu, namun lupa satu dua hal. Lupa bahwa 'kebenaran' yang ditemukannya bisa jadi hanya satu sisi kebenaran yang sesungguhnya. Bahwa ada sisi, dimensi, wajah, wujud dan layer lain yang tak kalah mengandung kebenaran.
Ibarat seberkas sinar, ketika dilewatkan prima terpecahlah ia menjadi beragam warna. Begitupula kebenaran agama. Pelbagai warna ini berasal dari satu sinar yang sama. Namun karena keterbatasan kita masing-masing, mungkin kita hanya bisa menangkap, melihat, menyimak satu atau dua di antaranya. Dan apakah satu dua warna ini bisa kita klaim sebagai kebenaran utuh?
Ada pula yang secara agak nyelekit menyebut sensitifitas berlebih ini sebagai wujud ketidakpercayaan diri sebagian kelompok umat Islam tanah air. Di mana karena inferioritas yang dirasakan terhadap yang lain, karena kekalahan di berbagai bidang lain dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya, maka satu-satunya hal yang bisa digunakan untuk menambal itu semua adalah agama.
Ketika tak bisa mengalahkan dengan prestasi, seranglah dengan klaim kebenaran agama. Ketika tak bisa meninggikan diri dengan pencapaian riil di kancah publik, rendahkanlah musuh dengan pelecehan agama.
Menyedihkan. Jujur saya trenyuh dengan trend semacam ini semakin marak belakangan. Saya khawatir seperti apa wajah bangsa kita jika hal-hal semacam ini terus dibiarkan.
Saya akan lebih dukung jika mereka yang tidak setuju dengan suatu hal tentang agama atau kepentingan publik menyuarakan kritiknya lewat tulisan. Untuk kemudian mewacanakan diskusi. Bertemu, berdebat, saling mengklarifikasi maksud, bertabayyun. Bukan dengan demo, bukan dengan walk out, apalagi dengan boikot.
Kita adalah bangsa yang beragam. Ada lebih dari 280 juta orang di negeri bernama Indonesia. Artinya, ada 280 juta lebih tafsir akan kebenaran. Mulailah belajar menghargai perbedaan ini. Caranya, mulailah dengan tidak terlalu sensitif akan semua hal dan selalu mengaitkannya dengan agama.
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H