Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hidup Tanpa Mal, Kenapa Tidak?

27 November 2017   06:14 Diperbarui: 27 November 2017   10:50 3410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bukan penggemar pergi ke mal. Sejak dulu tidak pernah suka atau nyaman berlama-lama di mal. Terlebih lagi saat tinggal di Jakarta, di mana kita dikepung tak kurang dari 200an mal berbagai ukuran di berbagai sudut ibu kota tersebut.

Saya selalu merasa mal di Indonesia sebagai puncak kesiasiaan hidup modern kita. Mal adalah oase bagi sebagian besar kita yang tak tahu mau ke mana lagi menghabiskan waktu di luar rumah atau kantor. 

Mal bagi banyak dari kita, bukan pasar semata, di mana kita bisa menjual beli barang atau jasa, melainkan menjadi tempat kita mematut diri, mengaca atas tren dan tata cara hidup 'semestinya' di zaman sekarang dan mungkin menegaskan diri sebagai bagian komunitas masa kini.

Dan saya tidak nyaman dengan itu semua, tidak pernah nyaman olehnya, apalagi berlama-lama di dalamnya. Bahkan jika dinginnya AC mal menggoda di tengah terik dan pengapnya udara berpolusi Jakarta.

Taman kota. Sumber: Dokumentasi pribadi
Taman kota. Sumber: Dokumentasi pribadi
Fast forward, sekarang tinggal di sebuah kota kecil tanpa mal adalah pengalaman baru yang amat berbeda. Literally, saya sebut tak ada mal di kota ini. Satu-satunya komplek perbelanjaan yang mendekati apa yang disebut mal di Indonesia hanya berisi sebuah bioskop bertajuk Odeon, sebuah gerai Nando's, beberapa resto Italia serta gerai fastfood macam Five Guys. 

Lalu ke mana kami sekeluarga menghabiskan waktu saat libur atau relaksasi? Mungkin demikian tanya Anda.

Well, ada beberapa opsi yang menarik, meski mungkin terdengar sedikit menggelikan bagi sebagian orang. Kami pergi ke taman kota, town center alias alun-alun, atau ke pantai. Ketiga tempat itu adalah pilihan favorit saya, istri dan kedua anak kami. 

Atau, kalau bosan dengan ketiganya, ada sebuah public library yang relatif lengkap koleksinya. Terkadang di kala cuaca cerah, kami akan naik bus dan pergi ke beberapa lokasi wisata alam di sepanjang wilayah Dorset yang terkenal dengan garis pantai nya nan indah sekaligus bersejarah. Alam, bangunan arsitektural, peninggalan sejarah atau event budaya berlimpah di sini, sehingga jujur kebutuhan untuk nge-mal sebagaimana di tanah air jarang menyeruak.

Ohya, saya mau bercerita sedikit lagi soal taman kota dan town center di sini. Bournemouth mempunyai tak kurang dari 10 taman  kota, dengan total luas mencapai 2000 acre, atau sekitar 3 km persegi. Di tengah kota sendiri, terdapat 3 taman sambung menyambung. Ketiganya bergaya Victorian dengan jalur pejalan kaki sepanjang 1,5 mil, sekitar  2,4 km dengan koleksi berbagai flora di sekelilingnya. 

Pengunjung, baik warga lokal maupun turis, bisa menghabiskan waktu dengan berjalan kaki, jogging, bersepeda, mengajak jalan hewan peliharaan, atau bahkan hanya duduk-duduk sambil bercengkrama. Menggelar tikar piknik sambil menikmati makan siang bersama adalah pemandangan biasa. Keluarga dengan anak kecil umum pula menghabiskan waktu di atas rumputnya sambil bercanda ria.

Kondisi taman yang bersih, rapi, terawat dengan berbagai fasiitas penunjang seperti bangku-bangku kayu  nan nyaman setiap 20 meter menjadikan pengunjung tak payah jika ingin beristirahat sejenak. Toilet dan tempat sampah menjadikan acara piknik Anda pun nyaman. Belum lagi rindangnya tanaman, tak sedikit di antaranya yang berusian puluhan hingga ratusan tahun, plus aneka satwa liar yang hidup bebas, macam tupai, aneka burung siap menyegarkan pikiran dan hati Anda.

Town center. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Town center. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Sementara, town center di kota kecil ini tepat berada di tengah-tengah kota. Berupa area publik terbuka relatif luas yang dikelilingi deretan toko, restauran, layanan publik macam bank dan city council serta gampang diakses dari berbagai sisi kota lewat moda transportasi umum yang nyaman dan tepat waktu. 

Apa yang dilakukan orang-orang di town center? Kebanyakan mereka berjalan-jalan. Tak sedikit pula yang belanja di toko yang ada, atau menyantap hidangan di restoran. Atau, banyak pula yang hanya duduk-duduk di cafe di salah satu sisi alun-alun sekedar berbincang atau mengamati lalu lalang orang sembari menyeruput secangkir kopi--atau kadang segelas bir.

Yang membuat area publik di town center ini menarik adalah, selalu adanya seniman jalanan yang menghibur keramaian. Penyanyi jalanan dengan gitar paling sering ditemui. Pantomin sering pula beraksi. Terkadang akrobat bola bermain di akhir pekan. 

Satu hal membuat mereka berbeda dibanding pelaku serupa di tanah air adalah, tak ada perilaku memaksa publik untuk memberi uang. Mereka bermain musik, beratraksi, berekspresi seni tanpa mengintimidasi siapapun yang menontonnya. Jika ada yang  melemparkan koin, mereka akan mengangguk singkat atau menyerukan terima kasih untuk kemudian terus bermain.

Saya temukan pula publik di sini tidak memandang sebelah mata kepada para seniman jalanan ini. Tak ada pandangan miring, apalagi ungkapan geram atas keberadaan mereka. Bahkan ketika permainan musik satu dua pengamen terdengar fals. Ada apresiasi terhadap usaha yang coba ditunjukkan mereka, sering dalam bentuk tepuk tangan, terkadang dalam bentuk uang recehan.

Saya pribadi melihat keberadaan taman dan ruang publik di town center sebagai oase yang lebih efektif bagi publik untuk menyegarkan mental. Alih-alih ke mal dan dibombardir dengan berbagai godaan konsumsi, dipaksa menelan jargon-jargon promosi, dibuat seragam lewat barang yang dibeli, taman dan ruang publik menawarkan relaksasi tanpa perlu merogoh kocek  dalam-dalam.

Karenanya, saya menaruh apresisi tinggi kepada, salah satunya, pemimpin publik tanah air macam Ridwan Kamil yang mencoba memberikan alternatif destinasi relaksasi masyarakat urban lewat berbagai taman tematiknya. Tentunya bukan hal mudah dan bisa jadi tidak populer di mata pemilik modal langkah semacam ini. Namun, begitulah tugas seorang pengampu kebijakan, bukanlah semata melayani kepentingan pemilik modal, namun lebih melayani kepentingan publik luas.

Adalah harapan saya, kota-kota lain di Indonesia, mengikuti langkah macam ini. Merevitalisasi taman dan ruang publik yang sudah ada, dan kalau bisa--saya yakin bisa--menambah banyak taman dan ruang publik baru. Untuk kebaikan warganya, untuk kenyamanan publiknya, untuk kemaslahatan semua di dalamnya.

Jika ada waktu dan kesempatan, saya undang Anda semua berkunjung ke kota kecil di ujung selatan Inggris ini. Taman-taman dan ruang publik di town center-nya siap menyambut Anda dan menunjukkan bahwa kita tak butuh mal untuk membuat diri  rileks. 

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun