Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hidup Tanpa Mal, Kenapa Tidak?

27 November 2017   06:14 Diperbarui: 27 November 2017   10:50 3410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Town center. Sumber: Dokumentasi pribadi.

Apa yang dilakukan orang-orang di town center? Kebanyakan mereka berjalan-jalan. Tak sedikit pula yang belanja di toko yang ada, atau menyantap hidangan di restoran. Atau, banyak pula yang hanya duduk-duduk di cafe di salah satu sisi alun-alun sekedar berbincang atau mengamati lalu lalang orang sembari menyeruput secangkir kopi--atau kadang segelas bir.

Yang membuat area publik di town center ini menarik adalah, selalu adanya seniman jalanan yang menghibur keramaian. Penyanyi jalanan dengan gitar paling sering ditemui. Pantomin sering pula beraksi. Terkadang akrobat bola bermain di akhir pekan. 

Satu hal membuat mereka berbeda dibanding pelaku serupa di tanah air adalah, tak ada perilaku memaksa publik untuk memberi uang. Mereka bermain musik, beratraksi, berekspresi seni tanpa mengintimidasi siapapun yang menontonnya. Jika ada yang  melemparkan koin, mereka akan mengangguk singkat atau menyerukan terima kasih untuk kemudian terus bermain.

Saya temukan pula publik di sini tidak memandang sebelah mata kepada para seniman jalanan ini. Tak ada pandangan miring, apalagi ungkapan geram atas keberadaan mereka. Bahkan ketika permainan musik satu dua pengamen terdengar fals. Ada apresiasi terhadap usaha yang coba ditunjukkan mereka, sering dalam bentuk tepuk tangan, terkadang dalam bentuk uang recehan.

Saya pribadi melihat keberadaan taman dan ruang publik di town center sebagai oase yang lebih efektif bagi publik untuk menyegarkan mental. Alih-alih ke mal dan dibombardir dengan berbagai godaan konsumsi, dipaksa menelan jargon-jargon promosi, dibuat seragam lewat barang yang dibeli, taman dan ruang publik menawarkan relaksasi tanpa perlu merogoh kocek  dalam-dalam.

Karenanya, saya menaruh apresisi tinggi kepada, salah satunya, pemimpin publik tanah air macam Ridwan Kamil yang mencoba memberikan alternatif destinasi relaksasi masyarakat urban lewat berbagai taman tematiknya. Tentunya bukan hal mudah dan bisa jadi tidak populer di mata pemilik modal langkah semacam ini. Namun, begitulah tugas seorang pengampu kebijakan, bukanlah semata melayani kepentingan pemilik modal, namun lebih melayani kepentingan publik luas.

Adalah harapan saya, kota-kota lain di Indonesia, mengikuti langkah macam ini. Merevitalisasi taman dan ruang publik yang sudah ada, dan kalau bisa--saya yakin bisa--menambah banyak taman dan ruang publik baru. Untuk kebaikan warganya, untuk kenyamanan publiknya, untuk kemaslahatan semua di dalamnya.

Jika ada waktu dan kesempatan, saya undang Anda semua berkunjung ke kota kecil di ujung selatan Inggris ini. Taman-taman dan ruang publik di town center-nya siap menyambut Anda dan menunjukkan bahwa kita tak butuh mal untuk membuat diri  rileks. 

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun