Bagi banyak dari kita, masyarakat Indonesia, keluarga adalah bagian tak terpisahkan. Tak peduli berapa umur kita, atau sejauh apa kita merantau, kita selalu percaya ada tempat untuk kembali, bernama keluarga. Tak sedikit dari kita yang menganggap keberadaan keluarga sebagai sesuatu yang 'taken for granted'. Sehingga sering kita lupa untuk mensyukurinya.
Tahukah Anda, berkebalikan dengan kita di Indonesia, masyarakat di Inggris sebagian besar tak lagi peduli yang namanya keluarga. Mungkin saya terdengar berlebihan atau mengeneralisir, namun sejauh yang saya temui, saya baca, saya dengar dari pengakuan banyak kenalan warga lokal, begitulah adanya.
Di sini, adalah umum ditemui seorang anak remaja, ketika menginjak usia 16-17 tahun, untuk keluar dari rumah orang tuanya. Literally ke luar, mencari tempat tinggal sendiri, kehidupan sendiri, jalan hidupnya sendiri.Â
Mungkin Anda akan bilang, masa sih? 16-17 tahun kan masih kecil? Well, bagi kebanyakan kita usia segitu boro-boro tingal sendiri, makan aja mungkin masih banyak yang musti disiapkan orang tuanya. Bahkan kalaupun di usia tersebut, anak remaja kuliah di lain kota dan harus ngekost, bisa dipastikan orang tuanya masih mengurusi dalam bentuk bayaran kost, makan, biaya kuliah dan pastinya secara rutin menengok.
Namun, beda di sini. Usia 16-17, atau saat anak remaja lulus sekolah menangah, dipandang banyak orang tua di Inggris sebagai saat anak remaja beranjak dewasa. Dan sebagai manusia dewasa, mereka berhak menentukan hidupnya sendiri serta bertanggungjawab menghidupi diri sendiri. Â
Hal serupa terjadi pada mereka yang sudah tua. Adalah pemandangan umum di sini, orang-orang lanjut usia, bahkan renta, hidup sendiri. Kebanyakan mereka tinggal di kompleks panti jompo, baik yang dikelola negara maupun swasta. Tak jarang mereka tidak berhubungan atau dikunjungi oleh anak cucunya. Seakan kehidupan mereka tak punya cukup makna bagi keluarga bahkan cenderung dipandang sebagai beban.
Kalau saya amati, hal ini tak lepas dari pandangan hidup masyarakat Inggris yang mayoritas mengusung nilai individualisme. Di mana seorang individu dipandang memiliki hak sepenuhnya akan kehidupannya, di saat bersamaan wajib menanggung hidupnya sendiri ketika sudah dewasa.
Nilai sosial, posisi keluarga, sisi komunal direduksi sampai titik di mana tak membebani individu. Di satu sisi hal ini mendorong manusia di sini berani, independen, terpacu bekerja keras dan konsisten dalam bersaing meraih apa yang dicita-citakannya. Namun, di sisi lain, ada yang hilang dalam kehidupan mereka, khususnya terkait dengan rasa kebersamaan, kehangatan keluarga, dukungan moral atau materiil saat terpuruk dan sebagainya.
Ada juga problem besar yang belakangan dihadapi publik Inggris akibat pola pandang macam ini. Di mana jumlah remaja dan kaum muda yang ke luar dari rumah dan berakhir di jalan, baik menjadi gelandangan, maupun terpapar pergaulan beresiko terlibat kriminalitas dan narkoba semakin meningkat.
Saya pribadi menyebutnya sebagai broken society. Karena dalam pandangan saya, keluarga adalah pondasi dasar, sekaligus building block utama dan pertama masyarakat. Penekanan terlalu kuat pada individualisme, ternafikannya keluarga dan nilai kebersamaan di dalamnya, hanya akan menyisakan kerapuhan masyarakat yang menganutnya.
Tapi ya mau bagaimana. Lain ladang lain belalang. Lain negeri lain nilai dianuti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H