Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Sekilas Brexit dan Dampaknya untuk Indonesia

31 Maret 2017   00:11 Diperbarui: 1 April 2017   06:29 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Namun, para pendukung Brexit menyebut semua privileges itu tidak cukup layak untuk dijadikan alasan bertahan dalam EU. Mereka menyebut angka £13.1 milyar dikontibusikan Inggris sebagai anggota Uni Eropa, sementara EU menghabiskan £4.5 milyar untuk Inggris, sehingga terdapat selisih £8.6 milyar pada tahun 2016. Angka ini, menurut para Brexiter semestinya digunakan untuk kepentingan dalam negeri, khususnya untuk kesejahteraan warga negara Inggris.

Di sisi lain, Inggris sebenarnya mendapatkan lebih banyak lagi dari Uni Eropa dalam berbagai bentuk, seperti bantuan sektor publik dan wilayah miskin, seperti Wales dan Cornwall yang pada 2016 mencapai angka £4.5 milyar. Untuk penjelasan  lebih detail, sila baca ini.

  • Isu Politik

Politik memainkan peran besar dalam kasus Brexit. Dalam sejarahnya, keinginan untuk keluar dari Uni Eropa bukan hal yang baru di kancah politik Inggris. Sejak bergabung dengan EU, saat itu bernama European Communities, pada 1973, pro kontra apakah bergabung atau terpisah dengan negara-negara Eropa lain dalam sebuah wadah pilihan terbaik untuk Inggris.

Tercatat sebanyak 3 titik penting, dalam penentuan sikap UK atas keanggotaannya di EU. Pertama di tahun 1975, di mana dalam referendum sebanyak 2/3 warga Inggris memilih bertahan di EU. Lalu di tahun 1980, di bawah pemerintahan Iron Lady,  Margaret Thatcher, di mana 65% warga Inggris tidak setuju bergabung dengan EU, namun setelah sang Perdana Menteri berhasil melakukan negosiasi dalam bentuk rebate biaya keanggotaan, isu keluar dari EU relatif mereda.

Terakhir referendum kembali digelar pada 23 Juni 2016 atas usulan PM Inggris saat itu, David Cameron, di mana hasilnya sebanyak 17,410,742 warga Inggris atau 51.89% memilih untuk keluar dari EU dibandingkan 16,141,241 (48.11%) lainnya yang memilih untuk tetap menjadi bagian Uni Eropa.

David Cameron yang awalnya percaya publik Inggris akan bertahan di EU pun mengumumkan akan mengundurkan diri dari posisinya sebagai Perdana Menteri beberapa jam setelah hasil referendum keluar. Lalu pada 13 Juli 2016 David Cameron mengembalikan mandat kepada Ratu Inggris. Penggantinya adalah Theresa May yang sebelumnya menjabat sebagai Home Secretary.

Sebagai hasil referendum ini, pemerintah Inggris mengajukan surat pernyataan pengunduran diri sebagai anggota EU yang ditandatangi PM Theresa May pada 28 Maret 2017 dan diserahkan oleh Dubes Inggris untuk Uni Eropa, Tim Barrow, kepada Presiden Uni Eropa, Donald Tusk, pada 29 Maret 2017. Dimulailah hitung mundur 2 tahun proses negosiasi keluarnya Inggris dari Uni Eropa, yang akan difinalisasi pada April 2019.

Jika disimak, referendum Brexit ini tak lepas dari naiknya popularitas UKIP (UK Independence Party), sebuah partai politik berhaluan ultranasionalis yang didirikan Alan Sked pada 3 September 1993. Mengusung platform nasionalisme garis keras dengan orientasi anti Uni Eropa dan anti imigrasi, UKIP yang awalnya partai gurem mendapatkan momentum kuat beberapa tahun belakangan dengan maraknya isu imigrasi, terorisme dan ras. Bahkan, bisa disebut, inisiator Brexit hingga akhirnya berlangsung referendum adalah mantan pemimpin UKIP, Nigel Farage.

Suksesnya politik berbasis populisme yang diusung UKIP merupakan hantaman telak bagi dua partai besar yang selama ini bergantian menguasai jagad politik Inggris, yaitu Partai Konservatif (Conservative Party) dan Partai Buruh (Labour Party). Fenomena UKIP serupa dengan bangkitnya partai-partai ultranasionalis di Eropa kontinental, seperti National Front-nya Marine Le Pen di Prancis, Party For Freedom-nya Geert Wilders di Belanda, dan Freedom Party of Austria-nya Heinz-Christian Strache di Austria.

Dampak Brexit Untuk Indonesia

Brexit mungkin tidak secara langsung dirasakan dampaknya di Indonesia, setidaknya tidak saat ini. Hal ini tentunya karena keluarnya Inggris dari Uni Eropa masih menyisakan proses 2 tahun ke depan untuk benar-benar aktif. Namun, sembari proses negosiasi Inggris dan EU berlangsung, akan ada hal-hal yang patut diperhatikan dari perspektif kepentingan Indonesia.

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, Inggris menduduki peringkat kedua dalam penanaman modal asing di Indonesia, di bawah Jepang. Dengan nilai investasi tak kurang dari $35 milyar, Inggris memainkan peran signifikan dalam pengembangan perekonomian kita. Investasi Inggris yang telah berlangsung sejak tahun 1967 ini mencakup berbagai bidang, antara lain teknologi, pertambangan batubara hingga perkebunan dan pengolahan kelapa sawit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun