Mohon tunggu...
Hasto Suprayogo
Hasto Suprayogo Mohon Tunggu... Konsultan - Hasto Suprayogo

Indonesian creative designer & digital marketing consultant | astayoga@gmail.com | http://www.hastosuprayogo.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kotak Makan Siang, Kesepian dan Roman Metropolitan

30 Maret 2017   17:35 Diperbarui: 1 April 2017   06:34 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

The Lunchbox, sejauh ini film India yang saya tahu tanpa jodeg dan goyang kepala. Hasil kerjasama apik studio film India, Prancis, Jerman dan Amerika Serikat ini dirilis pertama kali pada Cannes Film Festival 2013 dan langsung mendapat sambutan positif kritikus film dunia. Memenangi Critics Week Viewers Choice Award, The Lunchbox kemudian terbukti sukses menjadi box office.

Berkisah tentang hubungan cinta platonik antara Fernandes, seorang duda paruh baya nan gloomy dengan Ila, seorang perempuan muda, yang bermasalah kehidupan perkawinannya. Keduanya dipertemukan secara tak sengaja saat kotak makan siang yang dibuat Ila untuk suaminya lewat layanan dabbawala salah terkirim ke Fernandes.

Fernandes, diperankan apik oleh Irrfan Khan, menandaskan bekal makan tersebut. Mendapati makanan yang dibuatnya bersih tak tersisa, Ila menyangka suaminya puas dengan masakannya, dan berharap kondisi hubungan mereka akan kembali membaik. Sayang harapannya tak terwujud, karena suaminya menyebut masakan lain yang tidak dibuat oleh Ila.

Penasaran dengan siapa yang menikmati masakannya, Ila, dimainkan oleh Nimrat Kaur, menyelipkan tulisan di secarik kertas ke dalam rantang makanan di hari berikutnya. Fernandes membaca surat tersebut dan membalasnya. Dari sini lah hubungan mereka mulai terbangun.

Bersetting Mumbai nan padat, The Lunchbox menampilkan beberapa layer cerita. Fernandes dengan kesendiriannya setelah ditinggal mati istri. Membenamkan diri dalam rutinitas kerja, kemudian berjejalan di kereta pulang ke rumah hanya mendapati dirinya ditemani televisi buram sembari menghembusi asap rokok.

Ila di sisi lain kota menghabiskan hari-harinya mengurus rumah, anak dan suami yang bersikap dingin dan selalu sibuk dengan handphone di tangan. Setelah anaknya berangkat sekolah, Ila lebih banyak melamun sambil menyeruput teh susu atau berbincang dengan Auntie, tetangga atas apartemennya yang tak pernah terlihat sosoknya, hanya suara.

Sementara, muncul karakter ketiga, Shaikh, karyawan baru pengganti Fernandes yang berencara pensiun sebagai akuntan sebulan ke depan. Sosok Shaikh nan optimis, diperankan  Nawazuddin Siddiqui, kontras berkebalikan dengan Fernandes. Meski awalnya Fernandes merasa terganggu dengan kehadiran Shaikh yang mengaku yatim piatu ini, perlahan keduanya menjadi akrab.

Film ini mengalir pelan, berputar pada ‘pembicaraan’ Fernandes dan Ila lewat lembaran surat yang saling diselipkan keduanya di rantang kotak makan siang. Tak ada pembicaraan luar biasa, hanya detail keluh kesan keseharian Ila dengan kebosanannya menunggu suami dan anak pulang, serta respon Fernandes yang kadang singkat namun mengena.

Seperti ketika Ila bercerita tentang saudara lelakinya yang meninggal lantaran bunuh diri akibat gagal masuk perguruan tinggi yang dimaui. Atau bagaimana Fernandes berusaha menenangkan Ila yang terguncang saat mengenatahui suaminya berselingkuh dan berpikir untuk mengakhiri hidupnya dengan meloncat dari flat tempat mereka tinggal.

Saya temukan hal-hal yang ditampilkan di film ini, masalah-masalah yang dihadapi karakternya, suasana kota dengan tekanan hidup di dalamnya amat familiar dengan kehidupan sehari-hari mereka yang hidup di kota besar. Mumbai terasa tak jauh beda dengan Jakarta, London, Singapura atau kota metropolitan manapun kita berada.

Keramaian fisik menyelubungi jiwa-jiwa manusia nan sepi di dalamnya. Ketika hari-hari diburu kerja dan waktu berasa tak ada cukupnya, kekosongan semakin kuat mencengkeram kita. Kesepian yang membelit mereka yang hidup di kota ini nampaknya yang menjadikan film ini mampu menumbuhkan empati bagi pemirsanya. Karena, hampir siapapun kita, bisa mengkorelasikan diri dengan konflik Fernandes, Ila maupun Shaikh.

The Lunchbox adalah sebuah roman metropolitan yang di satu sisi kompleks dengan segala pernak-pernik latar belakang urban tempatnya dipentaskan, namun sederhana di sisi esensi masalah yang dihadapi. Roman tentang manusia dan kemanusiaan. Roman sederhana tentang kesepian dan pencarian untuk mengisinya.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun