Tulisan ini adalah terjemahan dari bagian awal buku 1001 Inventions: Muslim Heritage in Our World. Buku ini sangat menarik, karena membahas beraneka ragam kontribusi kaum muslim, terutama ilmuwan, pada masa keemasan Islam, abad 8-17, di mana pada saat bersamaan, Eropa terjerembab dalam periode yang disebut Masa Kegelapan (Dark Age). Begitu banyak kontribusi kaum muslim terhadap peradaban dunia, yang sepertinya hilang, atau sengaja dihilangkan dari sejarah ‘resmi’ dunia. Ada gap antara kebudayaan awal, seperti Yunani-Rowami, dengan kebangkitan peradaban Barat (Renaissance) yang sebenarnya diisi oleh peradaban Islam yang luar biasa. Kaum muslim di berbagai pusat peradaban Islam, mulai dari Dinasti Umayyah di Damaskus, Abassiyah di Baghdad, Ummayah-Andalusia di Spanyol, Fatimiyah di Mesir dan berbagai penjuru dunia lain, berkontribusi besar tidak hanya dalam melestarikan warisan budaya, pengetahuan & teknologi dari peradaban silam, Yunani, Romawi, India, Mesir, Mesopotamia, Persia dan sebagainya, namun juga mengembangkannya ke level yang tidak terbayangkan sebelumnya. Kontribusi kaum muslim di pusat-pusat peradaban tersebut melahirkan kemajuan yang masih kita bisa rasakan manfaatnya hingga saat ini, mulai dari ilmu pengetahuan (aljabar-matematika, astronomi, kedokteran, kimia), arsitektur dan rancang bangun, seni musik & sastra, hukum & filsafat, hingga kebudayaan & kenyamanan sehari-hari, seperti kuliner, fashion, minuman kopi, karpet, sabun & parfum dan masih banyak lagi. Terjemahan ini membahas kontribusi kaum muslim khususnya dalam mempopulerkan minuman kopi. Silahkan disimak, semoga bermanfaat. ———————————————————————————-
01 RUMAH
‘Orang yang paling berbahagia, baik itu Raja atau Petani, adalah dia yang menemukan ketenangan di rumahnya.’ – Johann von Goethe
Rumah adalah tempat pribadi kita, di mana kita bisa menjadi diri sendiri, di mana dunia luar berhenti persis di depan pintu masuk. Rumah mewakili diri kita, menyampaikan bahasa kita. Di dapur, mungkin terdapat ceret kopi fovorit kita, terjerang di atas kompor, persis di bawah jam yang bersandingan dengan sebuah foto liburan yang diambil tahun lalu. Aroma wangi sabun dan parfum meruap dari kamar mandi, sementara alunan musik sayup terdengar dari atas tangga yang dilapisi karpet nan mewah. Teruslah membaca dan Anda akan terkejut saat menemukan bahwa berbagai barang tersebut di atas berasal atau dikembangkan lebih dari seribu tahun lalu oleh kaum muslim industrialis yang berusaha menciptakan kenyamanan hidup di dunia. Awal dari kamera yang biasa Anda gunakan bisa dirunut balik ke ruang gelap di Mesir pada abad ke 10 Masehi, dan jika Anda telat dan tergesa-gesa menengok jam, maka pikirkan tentang jam setinggi 7 meter yang diciptakan di Turki pada abad ke 13 Masehi dengan kecanggihan teknologinya saat itu. Seorang laki-laki dengan panggilan “Blackbird’ di abad ke 8 Masehi datang dari Baghdad ke wilayah Spanyol Islam (Andalusia-penj) sambil membawa kebiasaan makan 3 kali sehari dan busana yang disesuikan musim. Sementara para ahli kimia mengembangkan pembuatan parfum dan catur berkembang dari permainan perang menjadi hiburan rumahan.
Menyusuri Jejak Kopi
‘Kopi menjadikan kita keras, serius dan filosofis.’ – Jonathan Swift
Adalah seorang Turki bernama Pasqua Rosee, seorang pedagang, yang pada tahun 1650, pertama kali membawa kopi ke Inggris dan menjualnya di kedai kopi di Georgeyard, Lombard Street, London. Delapan tahun kemudian, sebuah kedai lain, bernama ‘Kepala Sultan (Sultaness Head)’ dibuka di Cornhill. Lloyds of London, yangs saat ini terkenal sebagai perusahaan asuransi, awalnya merupakan sebuah kedai kopi bernama ‘Edward Lloyds Coffee House’. Di tahun 1700, terdapat hampir lima ratus kedai kopi di London, dan hampir tiga ribu di seluruh Inggris. Saat itu, kedai kopi dikenal sebagai ‘universitas sen (penny universities)’ dikarenakan Anda bisa mendengarkan dan berbincang seharian dengan para pemikir hebat masa tersebut hanya seharga secangkir kopi, yaitu satu sen, yang pada masa itu bernilai 1/240 pound.
Konsumsi kopi di Eropa secara umum mengikuti tata cara penyajian minum kaum Muslim. Terdiri dari perebusan campuran bubuk kopi, gula dan air secara bersamaan, yang akan meninggalkan sisa kopi di dasar cangkir karena tidak disaring. Namun, pada tahun 1683 sebuah teknik baru penyajikan kopi ditemukan, dan sejak saat itu menjadi teknik favorit di kedai-kedai kopi.
Kopi cappuccino terinspirasi oleh Marco d’Aviano, seorang pendeta dari sekte Capuchin, yang ikut berperang melawan pasukan Turki saat pengepungan kota Wina di tahun 1683. Menyusul mundurnya pasukan Turki, orang-orang Wina membuat kopi dari karung-karung kopi Turki yang tertinggal. Mereka merasa kopi tersebut terlalu kuat rasa dan aromanya, kemudian mereka menambahkan krim dan madu. Ini menjadikan kopi berubah warna menjadi kecoklatan, mirip dengan warna jubah yang dikenakan para pendeta Capuchin. Sehingga, orang-orang Wina kemudian menamai minuman tersebut cappuccino guna menghormati jasa Marco d’Aviano dan sektenya. Sejak saat itu, cappuccino diminum karena rasanya yang nikmat dan lembut. ‘Kopi bagaikan emas bagi orang biasa, dan layaknya emas, kopi memberikan perasaan mewah dan kehormatan.’ – Sheikh ‘Abd-al-Kadir, yang menulis manuskrip tertua tentang kopi di tahun 1588. Sumber buku 1001 Inventions Muslim Heritage in Our World Tulisan asli
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI