"Sepuluh Ribu, Pulang Pergi untuk Beli Susu Anak Saya, Bu"

Intinya beli produk Dagadu tidak ada dalam rencana perjalanan wisata window shopping kami. 

"Pak boleh kita ganti tujuan?" Kami berencana ganti tujuan dengan memperhitungkan apakah perubahan ini akan mempengaruhi tarif becaknya. Ternyata kami boleh pindah. Kami cancel ke rumah batik, diganti ke penjualan kaos khas Yogyakarta. Baiklah, kami ikuti.

Diperjalanan tukang becak bercerita kalau ia tiap bulan akan mendapat sembako berupa beras 5 kg, minyak dan gula dari pelaku UMKM yang ia antar. Jika orang yang diantar belanja di tempat tersebut melebihi target, ia akan mendapatkan 10 kg beras, minyak, dan gula. 

Nah, akhirnya saya "ngeh" paham dan cocok dengan tebakan saya, tukang becak ini bekerja sama dengan pelaku UMKM setempat. 

Cerita soal kartu anggota dan pusat pengaduan yang dituturkan dalam awal perjalanan naik bentornya (becak motor) yang dimaksud adalah soal kerja sama tersebut. 

"Pak, kalau kita belanja sedikit atau tidak belanja, apakah Njenengan dapat sembako?"

Selain ingin tahu model kerja samanya, saya juga ingin tahu dampak manfaatnya kami berdua menjadi penumpang bentornya. Rupanya, ia tidak merasa rugi, jika penumpangnya tidak membeli. 

Namun, ada pula UMKM yang menyaratkan nota pembelian penumpang sebagai bukti komitmen kerja sama telah dilaksanakan, ia pun akan dapat sembako.

Cerita gaya kolaborasi tukang becak dan pelaku UMKM ini mengubah rencana kami. Awalnya kami window shopping saja, akhirnya kami benar-benar shopping. 

Kami ingat alasannya bekerja untuk membeli susu anaknya. Rupanya yang ia kejar adalah perolehan sembako tiap bulan dari para pelaku UMKM yang mengikat kerja sama dengannya melalui kartu anggota komunitas. 

Ia bertutur, bahwa Yogyakarta ada kelompok usaha pariwisata yang menangani model kolaborasi sesama pelaku usaha pariwisata seperti yang ia ikuti.