"Bagus ya boot ini, Bi?" kutampakkan ketertarikanku pada boot perempuan kepada suamiku. Beliau tersenyum menggeleng.
"Sampeyan pantas kalau pakai ini," beliau menunjukkan sepatu high heels yang melemparkan kesan anggun. Â Aku tersenyum kecut. Pupus sudah ingin tampil layaknya wonder woman dalam balutan busana muslimah. Suamiku tak mengizinkan.
Dari sini aku bisa ambil pelajaran bagaimana cara beliau menolak keinginanku tanpa menyakiti. Memberi alternatif disertai memberi sanjungan. Noted.
Tiga tahun sudah keinginanku memakai boot gagal total. Harganya terjangkau, tapi kalau orang terdekat tak merestui, rasanya bakal hilang rasa percaya diriku.
Namun demikian, aku masih bisa menikmati daya tariknya ketika aku berkunjung ke  home industry keponakan suamiku ini.
Suatu hari, aku iseng mencoba boot . Dulu tidak sempat mencoba, karena suami tidak berkenaan. Kali ini, aku diantar bujang mbarep . Dia tidak mungkin melarang uminya yang sedang menggilai boot.
"Kak, tolong umi difoto!" aku enjoy saja bertingkah demikian. Mengambil gambar di manapun sudah trend era digital.
Bujangku mengirimkan hasilnya di pesan pribadi aplikasi digitalnya.
Setibanya di rumah, aku posting di Facebook hasil jepretan bujang mbarep ini. Kutuliskan caption dalam foto itu antara lain larangan suami agar tidak memakai boot.
Dhilalah kersane Gusti Allah ada salah satu teman Facebook yang menuliskan
"Ayo aku traktir, belinya di mana?" Ia sahabat sosial media penyelenggara homeschooling di Surabaya.
Saya tanggapi dengan gurauan. Ia malah sudah siap transfer uang. Rupanya ia juga penyuka boot. Dalam komentarnya yang berlanjut ke chat pribadi, ia menunjukkan koleksi bootnya.