Bagian Terakhir dari Dua Tulisan Sebelumnya saya sudah mengulas seputar dunia pendidikan tinggi di negara kita dan fenomena minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia, ditambah dengan rendahnya kualitas SDM lepasan perguruan tinggi. Sebuah persoalan yang seakan tidak kunjung berakhir, dan karenanya diperlukan upaya yang lebih serius dari semua kalangan untuk melakukan 'sesuatu', merubah wajah pendidikan tinggi kita, agar bisa selaras dengan kebutuhan dunia kerja saat ini.
Nah, kali ini saya akan membahas tentang ide mengembangkan jiwa kewirausahaan (enterpreneurship), terutama di kalangan mahasiswa di perguruan tinggi.
[caption id="attachment_183721" align="aligncenter" width="547" caption="Workshop Wirausaha Muda Mandiri di Makassar, 2010"][/caption]
Kewirausahaan Mahasiswa Jiwa kewirausahaan akan sangat efektif jika ditanamkan melalui bangku pendidikan. Hanya, proses penanamannya harus dilakukan secara holistik atau melibatkan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Mata kuliah kewirausahaan sebaiknya diberikan dengan porsi lebih banyak dan dominan jika dibandingkan dengan mata kuliah lainnya yang berorientasi pada kecerdasan kognitif. Supaya mahasiswa tidak bosan, pelajaran kewirausahaan harus dikemas secara menarik, sistematis, dan disesuaikan dengan tingkatan usia anak didik, serta dalam kondisi menyenangkan.
Sebagai praktiknya, pihak kampus perlu mengundang para pelaku bisnis yang sukses. Mereka diminta menerangkan atau menceritakan perjalanan hidup, dan bagaimana kiat-kiat agar usaha bisa sukses. Kisah hidup itu paling tidak akan merangsang para mahasiswa untuk meneladaninya.
Jika memungkinkan, pihak kampus perlu memperbanyak pendirian usaha nyata yang dikelola secara mandiri. Misalnya minimarket, gerai penjual makanan, usaha simpan pinjam, jasa tiket transportasi, perbankan, kursus bahasa asing, dan sebagainya.
Selanjutnya, secara bergantian para mahasiswa mendapat tugas mengelola usaha-usaha tersebut, dengan target-target yang telah ditentukan. Kegiatan ini selain sebagai proses magang kerja, juga akan memperkenalkan mahasiswa pada kondisi usaha riil.
Selain itu, pihak kampus, entah dengan bekerja sama pihak lain atau tidak, diharapkan secara berkesinambungan menyelenggarakan program pendidikan, pelatihan, pendampingan dan pengembangan bisnis dan kewirausahaan bagi seluruh mahasiswanya, sehingga hasilnya dapat diukur dan dievaluasi setiap tahun. Program pendampingan sesungguhnya mesti mendapat porsi yang lebih besar, terutama menyangkut akses bantuan modal usaha.
Pada akhirnya, jika dipandang perlu, seorang mahasiswa baru akan bisa diwisuda sebagai sarjana jika telah mampu melahirkan minimal sebuah usaha berskala kecil, lengkap dengan konsep manajemen yang ‘layak jual’.
Penutup Fenomena ketakselarasan pendidikan tinggi dengan dunia kerja saat ini tidak bisa juga dipandang mutlak sebagai kesalahan pemerintah saja di satu sisi, melainkan harus dimaknai sebagai tanggung jawab bersama semua pihak. Hal ini harus disikapi dengan jeli, kreatif, pantang menyerah dan penuh kearifan. Entah dari calon mahasiswa, orang tua, pengelola PT, entah pemerintah sebagai stakeholder pendidikan.
Khusus bagi mahasiswa, sejak awal memasuki PT harus disiapkan mental bahwa kuliah bukan segala-galanya. Persiapan mental itu selanjutnya dibarengi sikap membuka diri, cerdas menyiasati peluang, dan kreatif mencari ilmu-ilmu praktis yang berguna untuk kehidupan kelak.
Bagi mahasiswa, kuliah memang tidak boleh ditinggalkan, tetapi tidak ada salahnya jika mereka juga mengikuti berbagai training; semisal training sumber daya manusia (SDM), pelatihan memulai usaha kecil-kecilan, training peningkatan kemampuan finansial dan jiwa kewirausahaan.
Hemat saya, proses ini sebaiknya juga diterapkan ketika masa pra-mahasiswa (SMU). Sebelum memasuki dunia mahasiswa, para siswa SMU juga perlu dibekali dengan wawasan kemahasiswaan yang memberikan modal awal bagi mereka untuk mengenali dunia kampus dan harapan di balik semua proses tersebut.
Diharapkan, pihak kampus melalui lembaga-lembaga kemahasiswaan, kembali menggiatkan hal ini. Mungkin sudah saatnya mengalokasikan waktu khusus dalam masa-masa belajar mahasiswa untuk menyelenggarakan pelatihan-pelatihan seperti yang dimaksud.
Mengapa mengikuti pelatihan keterampilan pengembangan diri menjadi penting? Hasil studi Blau dan Duncan (1967) di Amerika Serikat, Mark Blaug (1974) di Inggris, dan Cummings (1980) di Indonesia menunjukkan kecenderungan bahwa tidak semua lulusan PT siap dipekerjakan. Banyak dunia industri yang mengeluh lantaran harus melakukan pelatihan bagi lulusan PT dalam waktu yang lama sebelum dipekerjakan.
Selain itu, para mahasiswa juga harus membekali diri dengan berbagai keterampilan lainnya, misalnya keterampilan bahasa asing, komputer, keahlian berkomunikasi, jaringan kerja (networks), make money blogging, design grafis dan sebagainya.
Di sisi lain, pemerintah sebagai pemegang kebijakan (policy maker) seharusnya menyambut baik dan mendukung para sarjana yang berkiprah sebagai enterpreneur. Dukungan itu amat penting, sekaligus menunjukkan komitmen pemerintah dalam pengentasan pengangguran, terutama pengangguran terdidik.
Dukungan itu bisa diwujudkan dalam bentuk pemberian penghargaan (reward), mempermudah akses pendanaan usaha, pembinaan dan pendampingan bisnis dan sebagainya, dan dilakukan secara konsisten serta tidak berubah-ubah seperti halnya kurikulum pendidikan kita.
Semoga bermanfaat!
- Makalah ini dibawakan oleh Asri Tadda dalam Seminar Nasional Penyelerasan Pendidikan Tinggi dengan Dunia Kerja oleh Kemendiknas di Jakarta, 14-16 Oktober 2010. Makalah ini juga dipublikasikan di sini.
- Asri Tadda adalah Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Saat ini adalah Direktur AstaMedia Group – sebuah perusahaan internet marketing dan blog advertising berbasis di Makassar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H