Mohon tunggu...
ASSYIFA SYAUQIYAH
ASSYIFA SYAUQIYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi - Psikologi Universitas Syiah Kuala

Mahasiswi Psikologi Universitas Syiah Kuala

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perceraian Orang Tua dan Dampaknya pada Psikologis Remaja

28 Februari 2023   20:21 Diperbarui: 28 Februari 2023   20:36 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perceraian dapat diartikan sebagai berakhirnya suatu hubungan suami dan istri yang diputuskan oleh hukum atau agama (talak) karena sudah tidak ada saling ketertarikan, saling percaya, dan juga sudah tidak ada kecocokan satu sama lain sehingga menyebabkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga (Untari, dkk, 2018).

Perceraian yang dialami sebuah pasangan dapat dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya karena ketidaksiapan mental disebabkan menikah pada usia dini, kurangnya rasa hormat di antara pasangan, faktor ekonomi, campur tangan orang tua, perselingkuhan, hingga Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Jika dilihat dari permasalahan yang ada, memang perceraian merupakan salah satu jalan yang dapat dilalui. Namun satu hal yang sering tidak dipikirkan sebuah pasangan saat mengambil keputusan untuk berpisah adalah korban yang terkena dampak perceraian tersebut. Contohnya, keluarga dari kedua belah pihak dan yang paling utama yaitu anak-anak mereka. Apalagi jika sang anak yang menyaksikan perpisahan orang tuanya sedang berada di masa remaja.

Masa remaja sampai dewasa adalah masa yang sensitif, mengingat bahwa pada masa ini pula psikologis anak paling mudah terpengaruhi hal positif maupun negatif. Tentunya hal ini bergantung pada antisipasi dari orang tua atau pengasuh, di mana atensi dan afeksi orang tua sangat berpengaruh dalam menuntun anak untuk mendekati yang positif dan menjauhi hal negatif.

Keluarga memegang peranan yang sangat penting bagi anak. Keluarga merupakan tempatnya pertama kali mengenal berbagai macam emosi, merasakan afeksi dan atensi yang diberikan pengasuh, belajar bersosialisasi dan berbahasa, serta hal-hal lainnya. Kunci pendidikan dasar terutama penanaman nilai moral juga berpegang pada keluarga. Oleh karena  itu, adanya perceraian dapat berdampak sangat buruk bagi anak mengingat bahwa faktanya perceraian membuat interaksi salah satu bahkan kedua orang tua dengan anak akan berkurang.

Beberapa dampak negatif perceraian terhadap psikologis remaja, yaitu:

  • Rasa malu berlebihan dan menurunnya minat bersosialisasi

Bagi sebagian anak, perceraian orang tua dianggap sebagai momen tragis yang mengubah hidupnya secara drastis. Hal tersebut meruntuhkan kenyamanannya selama ini dan membuatnya malu untuk bersosialisasi dengan orang banyak.

  • Loss of confidence (Hilangnya rasa percaya diri)

Rasa malu yang berlebihan akibat perceraian tersebut pun kemudian akan menghancurkan rasa percaya diri sang anak, yang mana anak mulai menganggap terjadinya perceraian tersebut dikarenakan dirinya dan mulai menyalahkan diri sendiri.

  • Timbulnya perilaku dan kebiasaan buruk

Perceraian orang tua juga dapat berdampak pada perilaku dan kebiasaan sehari-hari. Anak korban perceraian akan menunjukkan emosinya dengan cara berperilaku kasar dan tidak sopan. Mereka juga lebih mudah untuk kehilangan arah dan terpengaruh hal-hal negatif karena kurangnya afeksi dan atensi yang diberikan oleh orang tua. Hal ini juga akan berpengaruh pada interaksi sosialnya yang cenderung terganggu.

  • Penurunan nilai akademik dan prestasi lainnya

Konsentrasi anak korban perceraian umumnya akan menurun drastis. Anak akan lebih sering termenung dan enggan melakukan apapun, bahkan belajar sekalipun. Akibatnya, prestasi anak di sekolah akan menurun, mau itu prestasi dalam kelas ataupun di luar kelas. Kepatuhan anak juga ikut menurun dan lebih mudah tersulut emosinya karena pemikiran tentang keluarganya yang terpecah mendistraksi konsentrasinya.

  • Ketakutan akan kehidupan pernikahan

Saat dua orang dewasa yang dikagumi dan dipercaya oleh anak berakhir dengan perpisahan, kepercayaan terhadap kehidupan ‘happily ever after’ pun mendadak sirna. Anak akan merasa bahwa kehidupan pernikahan akan membawa mereka ke kehidupan yang buruk dan penuh siksaan. Mereka akan skeptis dengan janji-janji dan impian manis. Hal ini akan menimbulkan trauma pada anak dan ketakutan untuk memulai hubungan jangka panjang yang sehat dan serius.

  • Masalah kesehatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun