Kemudahan berbelanja secara online telah menjadi gaya hidup bagi banyak orang di era digital ini. Dengan hanya beberapa klik, konsumen dapat membeli berbagai macam produk dari rumah tanpa harus pergi ke toko fisik. Namun, di balik kenyamanan dan kepraktisan tersebut, terdapat risiko penipuan yang semakin marak terjadi. Modus penipuan dalam jual beli online terus berkembang, merugikan banyak konsumen dan membuat mereka kehilangan uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Fenomena ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang sering berbelanja secara daring.
Pelaku penipuan online biasanya menawarkan produk dengan harga yang jauh di bawah harga pasaran. Taktik ini digunakan untuk menarik perhatian calon korban, terutama mereka yang mudah tergiur dengan harga murah. Selain itu, para pelaku sering membuat akun palsu di berbagai platform jual beli online. Mereka menggunakan foto produk yang menarik dan memberikan janji pengiriman yang cepat untuk meyakinkan calon pembeli. Namun, setelah korban melakukan pembayaran, pelaku biasanya langsung menghilang tanpa memberikan barang yang dijanjikan. Korban seringkali merasa bingung dan tidak tahu harus melakukan apa, karena akun pelaku sering kali sudah tidak bisa dihubungi atau bahkan dihapus.
Dampak dari penipuan online tidak hanya dirasakan secara materi, tetapi juga secara psikologis. Banyak korban yang merasa kecewa, marah, bahkan malu karena merasa telah tertipu. Selain itu, proses pelaporan penipuan ini juga tidak selalu berjalan dengan mudah. Sejauh ini, belum banyak kasus penipuan jual beli online yang berhasil diungkap oleh pihak berwenang, apalagi pelakunya diadili. Hal ini membuat para penipu semakin berani dalam menjalankan aksinya, karena merasa sulit untuk dilacak atau ditindak secara hukum. Masyarakat pun merasa perlu lebih waspada dan berhati-hati agar tidak menjadi korban berikutnya.
Saya berkesempatan untuk mewawancarai seorang korban berinisial C.T yang mengalami penipuan jual beli online. Dalam wawancara tersebut, ibu C.T menceritakan bahwa ia membeli dua tas branded secara online yang ditawarkan dengan harga jauh di bawah harga pasar. Tergiur dengan penawaran tersebut, ibu C.T memutuskan untuk membeli tas-tas tersebut melalui sebuah aplikasi online. Total nominal pembayaran yang ia transfer adalah sebesar 85 juta rupiah. Penjual menjanjikan bahwa barang akan segera dikirim setelah pembayaran diterima, sehingga ibu C.T segera melakukan transfer sesuai dengan jumlah yang diminta.
Namun, setelah transfer dilakukan, ibu C.T mulai curiga karena penjual tidak kunjung mengirimkan nomor resi pengiriman seperti yang dijanjikan. Ia mencoba menghubungi penjual untuk menanyakan kejelasan barang pesanannya, tetapi tidak mendapatkan balasan. Selang beberapa hari, ibu C.T kembali mengirim pesan untuk meminta nomor resi, namun kali ini penjual justru memblokir kontaknya. Dengan nada kecewa, ibu C.T mengungkapkan bahwa ia merasa sangat terpukul, bukan hanya karena kerugian materi yang ia alami, tetapi juga karena ia merasa telah ditipu dengan sangat mudah.
Kasus ini mencerminkan betapa rentannya masyarakat terhadap penipuan online, terutama mereka yang kurang berhati-hati atau mudah tergiur dengan penawaran harga murah. Untuk mencegah hal serupa terjadi, penting bagi masyarakat untuk selalu memeriksa reputasi penjual, membaca ulasan dari pembeli lain, dan menggunakan platform yang terpercaya. Selain itu, pemerintah dan pihak berwenang juga perlu meningkatkan upaya dalam melacak dan menindak para pelaku penipuan online agar kepercayaan masyarakat terhadap transaksi daring tetap terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H