Mohon tunggu...
assyifa khoirul haqiqi
assyifa khoirul haqiqi Mohon Tunggu... Operator - karyawan

menonton drakor

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dr jose rizal seorang pahlawan dan penulis asal filipina

11 Desember 2024   09:30 Diperbarui: 11 Desember 2024   09:33 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 

Jos Protacio Rizal Mercado y Alonso Realonda,19 Juni 1861 -- 30 Desember 1896) adalah seorang tokoh bangsa, penulis, dan polimatik asal filipina yang aktif di akhir masa kolonial spanyol. Dia di anggap sebagai pahlawan nasional (pembansang bayan) . Berprofesi sebagai dokter oftalmologi,rizal juga seorang penulis dan anggota kunci dari gerakan propaganda filipina,yang mengadvokasi reformasi politik untuk koloni di bawah spanyol.

Dia dieksekusi oleh pemerintah kolonial Spanyol atas kejahatan pemberontakan setelah revolusi filipina  ; itu terinspirasi dari tulisannya. Meskipun dia tidak terlibat aktif dalam perencanaan atau pelaksanaannya, dia akhirnya menyetujui tujuannya yang akhirnya menghasilkan kemerdekaan untuk Filipina.

Dia diberikan bermacam-macam gelar: "Kebanggaan Ras Melayu," "Tokoh Besar Malaya," "Tokoh Utama Filipino," "Mesias Revolusi," "Pahlawan Universal," "Mesias Penebusan." Hari peringatan kematian Jos Rizal adalah 30 desember dan merupakan hari libur di Filipina. Ia adalah seorang yang berbakat. Selain dari menjadi seorang dokter, ia juga seorang arsitek , seniman,pendidik,ekonom,etnolog,ahli pertanian, sejahrawan, jurnalis, pemusik, mitologiwan, internasionalis, naturalis, dokter mata.sosiolog,pematung,penyair,penulis drama dan novelis.

Dia menguasai 22 bahasa, di antaranya: Tagalog, Cebuano, Melayu, Tionghoa, Arab, Ibrani, Inggris, Jepang, Spanyol, Catalan, Italia, Portugis, Latin, Prancis, Jerman, Yunani, Rusia, Sanskerta dan dialek-dialek Filipina yang lain.

Keluarga

Jos Rizal merupakan anak yang ketujuh dari 12 bersaudara dari keluarga francisco rizal mercado dan Teodora alonzo dan dilahirkan di dalam sebuah keluarga kelas menengah Tionghoa - mestizo yang kaya di Calamba, Provinsi Laguna, Filipina.

Para rahib Dominikan memberikan kepada keluarganya hak untuk menyewa sebuah hacienda dan sawah yang ada di situ, tetapi kemudian terjadilah tuntutan. Belakangan Jenderal Valeriano weyler memerintahkan bangunan di tanah pertanian itu dibongkar.

Ketika mendaftar di Ateneo, Rizal mengganti nama keluarganya menjadi "Rizal" agar ia tidak terkena akibat buruk dari nama "Mercado". Abangnya, Paciano Mercado, terkait dengan sejumlah pastor Filipina, Mariano gomez, jose burgos dan jacinto zamora yang dinyatakan subversif, sehingga mereka dihukum mati dengan "garrote" (teknik hukuman mati dengan cekikan).

Rizal merupakan keturunan kelima Domingo Lam-co, seorang imigran Tiongkok yang telah berhijrah ke Filipina dari Amoy, Tiongkok pada pertengahan abad ke-17 (lihat Tionghoa filipina). Lam-co berumah tangga dengan seorang perempuan Sangley, kelahiran Luzon, Inez de la Rosa. Untuk menghindari keturunannya dari kebijakan rasialis yang diberlakukan atas penduduk Tionghoa oleh pemerintah Spanyol yang menjajah Filipina pada masa itu, Lam-co mengganti nama keluarganya menjadi "Mercado" (pasar) untuk menunjukkan akar mereka sebagai pedagang. Nama Rizal, aslinya Ricial, atau pucuk hijau, diciptakan oleh Paciano untuk memungkinkan Jos bebas bepergian, karena keluarga Mercado telah dicap negatif karena kecerdasan intelektual anak mereka. Perlu dicatat bahwa sejak masa kanak-kanak Rizal telah mengajukan gagasan-gagasan politik yang asing pada masa itu, berupa kebebasan dan hak-hak individu yang tentu telah membangkitkan amarah penguasa.

Selain garis keturunan Melayu dan Tionghoa, penelitian silsilah baru-baru ini menemukan bahwa Jos juga memiliki darah Spanyol, jepang dan Negrito. Kakek buyutnya dari pihak ibunya (buyut Teogodra) adalah Eugenio Ursua, seorang keturunan dari para pemukim Jepang, yang menikahi seorang perempuan Filipa yang bernama Benigna (nama keluarganya tidak diketahui). Keduanya ini melahirkan Regina Ursua yang menikahi seorang mestizo Sangley dari Pangasinn, seorang hakim yang bernama Manuel de Quintos, kakek Teodora. Anak perempuan mereka, Brgida de Quintos, menikah dengan seorang mestizo (campuran Spanyol) yang bernama Lorenzo Alberto Alonzo, ayah dari Teodora.

Pendidikan

Jos Rizal mulai belajar dengan Justiniano Cruz di Bian, Laguna. Ia kemudian pergi ke Manila untuk belajar di Ateneo Municipal de Manila dan di sana ia meraih ijazah S1-nya pada 1877 dan lulus sebagai mahasiswa terbaik di kelasnya. Ia meneruskan pelajarannya di Ateneo Municipal untuk meraih ijazah dalah bidang pengukuran dan pemetaan tanah dan pada masa yang sama, belajar di Universitas Santo Tomas dalam bidang sastra dan filsafat. Ketika ia mengetahui bahwa ibunya akan menjadi buta, ia berencana untuk mengambil bidang kedokteran (mata) di Universitas Santo Tomas tetapi tidak menamatkan kuliahnya karena merasa orang Filipina didiskriminasi oleh paderi-paderi Dominikan yang mengurus universitas tersebut.

Tanpa sepengetahuan dan persetujuan keluarganya, tetapi dengan dukungan penuh dan rahasia dari abangnya Paciano, ia kemudian pergi ke Madrid, Spanyol dan belajar kedokteran di Universidad Central de Madrid. Dari situ ia mendapatkan gelar sarjana kedokteran. Pendidikannya dilanjutkannya di Universitas Paris dan Universias Heidelberg di Jerman dan di sana ia mendapatkan gelar doktornya yang kedua.

Karya

Jos Rizal terkenal dengan karangan dua novel, Noli Me Tangere (1887) dan El Filibusterismo (1891), keduanya merupakan kritik mengenai penjajahan Spanyol atas Filipina. (Buku-buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia - "Noli Me Tangere" pada 1975 dengan judul Jangan Sentuh Aku dan "El Filibusterismo" pada 1994 dengan judul Merajalelanya Keserakahan, oleh Tjetje Jusuf dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya).

Noli Me Tngere (Jangan Sentuh Aku) adalah sebuah novel realis yang menceritakan kisah Crisostomo Ibarra, seorang pemuda berpendidikan Eropa yang kembali ke tanah airnya setelah tujuh tahun berada di luar negeri. Ia berencana untuk menikahi Maria Clara, putri dari teman ayahnya Don Rafael Ibarra. Namun, rencananya terhalang oleh intrik-intrik dari para biarawan Dominikan yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Ayahnya meninggal dalam penjara karena dituduh sebagai seorang subversif oleh Padre Damaso, seorang frater Franciscan yang juga mantan pengasuh Maria Clara. Ibarra sendiri juga menjadi sasaran fitnah dan pembunuhan oleh para musuhnya. Ia akhirnya berhasil lolos dari jerat hukum dengan bantuan seorang pendeta bernama Padre Florentino, yang memberinya nasihat untuk tidak membenci musuh-musuhnya, tetapi untuk mencintai tanah airnya.

El filibusterismo (Penghasut) adalah sebuah novel politik yang merupakan sekuel dari Noli Me Tngere. Novel ini mengisahkan kehidupan Ibarra yang kembali ke Filipina setelah 13 tahun berada di luar negeri dengan identitas baru sebagai Simoun, seorang pedagang permata kaya yang menjadi penasihat dekat dari Kapten Jenderal, gubernur kolonial Spanyol. Simoun memiliki rencana rahasia untuk memicu sebuah revolusi melawan pemerintah Spanyol dengan cara menyebarkan senjata dan uang kepada para pemberontak. Ia juga berusaha untuk membalas dendam kepada para biarawan yang telah merusak hidupnya dan Maria Clara, yang telah meninggal di biara setelah dipaksa menjadi seorang biarawati oleh Padre Damaso. Namun, rencana Simoun gagal karena pengkhianatan, kesalahpahaman, dan ketidakberanian dari para sekutunya. Ia akhirnya terluka parah oleh penjaga setelah mencoba meledakkan sebuah pesta dengan bom yang tersembunyi di dalam sebuah lampu. Sebelum meninggal, ia mengaku identitas aslinya kepada Padre Florentino, yang kemudian melemparkan permata-permatanya ke laut sebagai lambang dari harapan yang hilang.

Karya-karya Rizal mendapat sambutan yang beragam dari berbagai kalangan. Di Eropa, ia mendapat pujian dan penghargaan dari para intelektual dan sastrawan terkemuka, seperti Marcelo H. del Pilar, Ferdinand Blumentritt, dan Miguel de Unamuno. Di Filipina, ia mendapat dukungan dan simpati dari para ilustrado (orang-orang terpelajar) dan rakyat jelata, yang merasa tergugah oleh pesan-pesannya. Namun, ia juga mendapat kecaman dan kebencian dari pemerintah kolonial dan gereja Katolik, yang menganggap karya-karyanya sebagai ancaman bagi kekuasaan dan otoritas mereka. Novel-novelnya dilarang beredar di Filipina dan ia sendiri dituduh sebagai seorang penghasut dan pengkhianat

Keberanian

Setelah menulis Noli me Tangere, di antara berbagai puisi, drama, dan traktat yang masih ditulisnya, Rizal kembali memperoleh cap negatif di antara orang-orang spanyol. Berlawanan dengan nasihat keluarga dan sahabat-sahabatnya, ia kembali ke Filipina untuk menolong keluarganya, yang saat itu masih mengalami masalah dengan para tuan tanah Dominikan. Ia mengajukan permohonan kepada masyarakat Calamba untuk berbicara melawan para rahib itu. Sebagai balasan, para rahib Dominikan menghukum para petani Calamba dengan lebih hebat lagi, hingga bahkan mengusir mereka dari rumah-rumah mereka karena menolak membayar harga sewa tanah yang selangit. Rizal belakangan kembali meninggalkan negerinya.

Wenceslao Retana menghina Rizal dengan Referensi yang sembrono kepada orangtuanya, dan segera meminta maaf setelah ditantang untuk berduel. Ia selamat setelah mengeluarkan permintaan maaf, dan bahkan kemudian menjadi pengagumnya dan menulis biografi Rizal yang pertama di Eropa.

Beberapa saat sebelum ia ditembak mati oleh pasukan infantri yang terdiri dari bangsa Filipina asli, yang didukung oleh pasukan yang menjaminnya yang terdiri dari pasukan infantri Spanyol, si kepala Departemen Kesehatan Filipina, seorang Spanyol, meminta untuk memeriksa denyut nadinya. Normal. Mengetahui hal ini, si sersan Spanyol yang bertugas memimpin pasukan pendukung menyuruh pasukannya untuk diam ketika mereka mulai menyerukan "viva" dengan kerumunan partisan.

Peninggalan

Rizal lebih merupakan pelopor sebuah masyarakat yang terbuka, daripada seorang pejuang revolusioner yang menuntut kemerdekaan politik. Ia menganjurkan sistem perwakilan rakyat untuk menghasilkan pembaruan institusional dengan cara-cara damai, dan bukan melalui revolusi kekerasan. Dalam hal ini ia adalah penganjur pembaruan politik anti-kekerasan pertama di Asia.

Sebagai ketua gerakan Gerakan Propaganda mahasiswa Filipina di Spanyol, ia menyumbangkan beberapa artikel kepada surat kabar La Solidaridad di Barcelona dengan agenda-agenda yang berikut:

  • Bahwa Filipina menjadi salah satu provinsi Spanyol
  • Perwakilan bagi orang Filipina di Cortes (Parlemen)
  • Gereja-gereja Filipina dipimpin oleh imam-imam Filipina dan bukan para imam Augustinian Spanyol
  • Kebebasan berserikat dan bersuara
  • Hak yang sama di hadapan undang-undang (untuk orang Filipina maupun Spanyol yang mengadu ke pengadilan)

Pemerintah kolonial di Filipina tidak menyukai pembaruan-pembaruan ini, meskipun misalnya usul-usul itu didukung secara terbuka oleh para intelektual Spanyol seperti Morayta, Unamuno, Pi y Margal dll. Sekembalinya ke Manila pada 1892, ia membentuk sebuah gerakan masyarakat yang dinamai La Liga Filipina. Liga ini menganjurkan pembaruan-pembaruan sosial yang moderat ini melaui cara-cara yang legal, tetapi kemudian dibubarkan oleh pemerintah. Pada saat itu, ia sudah dinyatakan sebagai musuh negara oleh penguasa Spanyol karena novel-novelnya yang menghasut. Noli me Tangere, khususnya, menampilkan para rahib dalam gambaran yang sangat buruk, dengan sedikit sekali atau bahkan tidak ada harapan untuk diperbaiki.

Sebagai seorang pembaru politik, ia setara dengan Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, dan Sun Yat Sen sebagai perintis yang mengubah cara berpikir di benua Asia, tetapi sebagai seorang modernis yang mendapatkan yang terbaik dari apa yang dapat diberikan oleh peradaban Eropa, ia melampaui negara maupun benua, seorang visioner yang berpandangan jauh ke depan, dengan pesan yang relevan untuk masa kini.

Begitu pula dikarenakan jiwa sosialnya yang tinggi tanpa memandang ras dan bangsa, maka pemerintahan Kota Medan, Indonesia, mengabadikan nama Jose Rizal menjadi salah satu nama jalan di Kota Medan.

Hari hari terakhir

Rizal dianggap terlibat dalam kegiatan-kegiatan pemberontakan yang sedang berkembang dan pada Juli 1892 ia dibuang ke Dapitan di provinsi Zamboanga (Mindanao). Di sana ia mendirikan sebuah sekolah dan rumah sakit. Selain itu ia merancang sebuah sistem saluran air untuk rakyat. Ia bertemu dan berpacaran dengan anak tiri dari seorang pasien, seorang perempuan Irlandia bernama Josephine Bracken, tetapi ia tidak dapat melangsungkan pernikahan secara gerejawi, karena ia tidak mau kembali ke agama masa mudanya. Selain itu, ia juga dianggap pro revolusi. Untuk menghilangkan kaitan antara dirinya dengan revolusi berdarah, Rizal menjadi relawan dan diberikan izin oleh Gubernur Jenderal Spanyol Ramon Blanco y Erenas untuk pergi dan melayani para korban demam kuning di Kuba.

Pada 1896, pemberontakan yang dirancang oleh Katipunan, sebuah perhimpunan rahasia nasionalis, berkembang menjadi suatu revolusi besar-besaran, sebagai sebuah pemberontakan nasionalis sejati dan menyebabkan diproklamasikannya republik pertama yang benar-benar demokratis di Asia. Rizal ditahan di tengah perjalanan, dipenjarakan di Barcelona, dan diajukan ke pengadilan. Ia dinyatakan terlibat dalam revolusi melalui hubungannya dengan para anggota Katipunan dan diadili di pengadilan militer dengan tuduhan pemberontakan, pengkhianatan, dan permufakatan. Selama dalam perjalanan, ia tidak dirantai dan mempunyai banyak kesempatan untuk melarikan diri, tetapi ia menolaknya. Itu adalah lambang wataknya bahwa tak seorang Spanyol pun yang dapat menyentuhnya. Rizal dinyatakan terbukti bersalah atas ketiga tuduhan dan dijatuhi hukuman mati.

Sementara hukumannya semakin mendekat, Rizal menulis puisinya yang terakhir, yang, meskipun tidak berjudul, akhirnya dikenal sebagai "Mi ltimo Adis" (Selamat Tinggalku yang Terakhir). Puisi ini lebih tepat diberi judul, "Adios, Patria Adorada" (harafiah: "Selamat Tinggal, Tanah Air Tercinta"), dari logika dan tradisi sastranya: kata-kata yang muncul pada baris pertama puisi itu sendiri.

Dalam suratnya yang terakhir, dari rangkaian surat-menyurat yang sangat tebal dan tidak ada tandingannya dalam tradisi Asia, kepada Profesor Fernando Blumentritt dari Sudeten, Jerman - Saudaraku tercinta, saat engkau menerima surat ini, aku sudah tiada. Esok pada pk. 7, aku akan ditembak; namun aku tidak bersalah atas tuduhan melakukan pemberontakan... Ia harus meyakinkan sahabatnya bahwa ia tidak pernah berubah menjadi seorang revolusioner, seperti yang pernah dipertimbangkannya, bahwa cita-cita yang diperjuangkan oleh keduanya tetap dipegangnya hingga akhir. Ia pun menyerahkan sebuah buku yang secara pribadi dijilidnya di Dapitan untuk 'sahabat terbaik dan tercintanya'. Ketika orang Austria itu menerimanya, ia menangis dan meratap.

Setelah Rizal dijatuhi hukuman mati, muncul banyak keraguan mengenai kejadian-kejadian di sekitar kematiannya. Banyak orang yang tetap percaya bahwa Rizal tidak menikahi kekasihnya tercinta Josephine Bracken sesuai tradisi Katolik Roma beberapa jam sebelum hukuman matinya, ataupun mencabut bagian-bagian tulisannya yang bernada anti Katolik, sebuah pertikaian yang tidak kunjung berkurang. Firasat Rizal sendiri adalah pembelaannya setelah kematiannya. Tersisip dalam 'Mi Ultimo Adios' sebuah kunci yang mungkin menyingkapkan isi hatinya, "Aku pergi ke tempat di mana tidak ada budak, tidak ada algojo atau penindas, di mana iman tidak membunuh..." Ini adalah komentarnya yang terakhir tentang Gereja Katolik pada masanya. Karena kecerdasannya yang luar biasa, teladannya terhadap para sahabat dan musuhnya, perjuangannya yang baik dan tidakannya yang berani atas nama perdamaian, ia menjulang melampaui semua pahlawan Filipina.

Di tempat ia gugur kini berdiri sebuah patung, yang dirancang oleh pematung Swiss, Richard Kissling yang terkenal karena patungnya, "William Tell". Patung itu memuat tulisan: "Aku ingin memperlihatkan kepada orang-orang yang mencabut hak mereka untuk mencintai negaranya, bahwa ketika kita tahu bagaimana mengorbankan diri kita demi tugas dan keyakinan kita, maut tidaklah menjadi masalah bila seseorang mati untuk mereka yang dicintainya-- untuk negaranya dan untuk mereka yang dicintainya".-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun