Jos Rizal terkenal dengan karangan dua novel, Noli Me Tangere (1887) dan El Filibusterismo (1891), keduanya merupakan kritik mengenai penjajahan Spanyol atas Filipina. (Buku-buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia - "Noli Me Tangere" pada 1975 dengan judul Jangan Sentuh Aku dan "El Filibusterismo" pada 1994 dengan judul Merajalelanya Keserakahan, oleh Tjetje Jusuf dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya).
Buku-buku ini, yang diilhami oleh gagasan-gagasan dalam Cervantes, Uncle Tom's Cabin, Don Quixote dan Pangeran Monte Cristo, membangkitkan kemarahan orang-orang Spanyol dan orang-orang Filipina yang terpengaruh Spanyol, karena simbolismenya yang terus-terang dan menghina di dalam buku-buku itu. Hal ini akhirnya menyebabkan ia dituntut sebagai penghasut revolusi, lalu diajukan ke pengadilan militer dan dihukum mati. Revolusi Filipina tahun 1896 terjadi tak lama sesudah itu. Pengadilan Rizal dianggap sebagai lelucon bahkan oleh tokoh-tokoh Spanyol pada zamannya. Tak lama sesudah hukuman matinya, filsuf Miguel de Unamuno, dalam suatu ungkapan yang penuh perasaan dan tidak terlupakan, mengakui Rizal sebagai seorang Spanyol, yang dibesarkan dalam tradisi-tradisi yang terbaik dari negeri itu, "...lebih Spanyol daripada jiwa-jiwa malang yang, di atas jenazahnya yang masih hangat, melontarkan seruan hujatan ke langit yang bagaikan penghinaan itu, 'Viva Espaa' (Hidup Spanyol!).
Bahkan di dalam kematian, kata-kata Rizal masih membangkitkan inspirasi. Ketika Undang-undang Organik Filipina diperdebatkan di Kongres, keraguan tentang kemampuan bangsa Filipina untuk memerintah dirinya sendiri dihapuskan oleh pidato yang penuh perasaan oleh Anggota Kongres Henry Cooper dari Wisconsin yang mengandung kutipan dari terjemahan bahasa Inggris puisi kehormatannya, "Mi Ultimo Adios," lalu menutupnya dengan pertanyaan yang menggugah, "Di bawah suasana atau langit apakah tirani ini boleh mengklaim korban yang lebih agung?"
Keberanian
Setelah menulis Noli me Tangere, di antara berbagai puisi, drama, dan traktat yang masih ditulisnya, Rizal kembali memperoleh cap negatif di antara orang-orang spanyol. Berlawanan dengan nasihat keluarga dan sahabat-sahabatnya, ia kembali ke Filipina untuk menolong keluarganya, yang saat itu masih mengalami masalah dengan para tuan tanah Dominikan. Ia mengajukan permohonan kepada masyarakat Calamba untuk berbicara melawan para rahib itu. Sebagai balasan, para rahib Dominikan menghukum para petani Calamba dengan lebih hebat lagi, hingga bahkan mengusir mereka dari rumah-rumah mereka karena menolak membayar harga sewa tanah yang selangit. Rizal belakangan kembali meninggalkan negerinya.
Wenceslao Retana menghina Rizal dengan Referensi yang sembrono kepada orangtuanya, dan segera meminta maaf setelah ditantang untuk berduel. Ia selamat setelah mengeluarkan permintaan maaf, dan bahkan kemudian menjadi pengagumnya dan menulis biografi Rizal yang pertama di Eropa.
Beberapa saat sebelum ia ditembak mati oleh pasukan infantri yang terdiri dari bangsa Filipina asli, yang didukung oleh pasukan yang menjaminnya yang terdiri dari pasukan infantri Spanyol, si kepala Departemen Kesehatan Filipina, seorang Spanyol, meminta untuk memeriksa denyut nadinya. Normal. Mengetahui hal ini, si sersan Spanyol yang bertugas memimpin pasukan pendukung menyuruh pasukannya untuk diam ketika mereka mulai menyerukan "viva" dengan kerumunan partisan.
Peninggalan
Rizal lebih merupakan pelopor sebuah masyarakat yang terbuka, daripada seorang pejuang revolusioner yang menuntut kemerdekaan politik. Ia menganjurkan sistem perwakilan rakyat untuk menghasilkan pembaruan institusional dengan cara-cara damai, dan bukan melalui revolusi kekerasan. Dalam hal ini ia adalah penganjur pembaruan politik anti-kekerasan pertama di Asia.
Sebagai ketua gerakan Gerakan Propaganda mahasiswa Filipina di Spanyol, ia menyumbangkan beberapa artikel kepada surat kabar La Solidaridad di Barcelona dengan agenda-agenda yang berikut:
- Bahwa Filipina menjadi salah satu provinsi Spanyol
- Perwakilan bagi orang Filipina di Cortes (Parlemen)
- Gereja-gereja Filipina dipimpin oleh imam-imam Filipina dan bukan para imam Augustinian Spanyol
- Kebebasan berserikat dan bersuara
- Hak yang sama di hadapan undang-undang (untuk orang Filipina maupun Spanyol yang mengadu ke pengadilan)
Pemerintah kolonial di Filipina tidak menyukai pembaruan-pembaruan ini, meskipun misalnya usul-usul itu didukung secara terbuka oleh para intelektual Spanyol seperti Morayta, Unamuno, Pi y Margal dll. Sekembalinya ke Manila pada 1892, ia membentuk sebuah gerakan masyarakat yang dinamai La Liga Filipina. Liga ini menganjurkan pembaruan-pembaruan sosial yang moderat ini melaui cara-cara yang legal, tetapi kemudian dibubarkan oleh pemerintah. Pada saat itu, ia sudah dinyatakan sebagai musuh negara oleh penguasa Spanyol karena novel-novelnya yang menghasut. Noli me Tangere, khususnya, menampilkan para rahib dalam gambaran yang sangat buruk, dengan sedikit sekali atau bahkan tidak ada harapan untuk diperbaiki.
Sebagai seorang pembaru politik, ia setara dengan Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, dan Sun Yat Sen sebagai perintis yang mengubah cara berpikir di benua Asia, tetapi sebagai seorang modernis yang mendapatkan yang terbaik dari apa yang dapat diberikan oleh peradaban Eropa, ia melampaui negara maupun benua, seorang visioner yang berpandangan jauh ke depan, dengan pesan yang relevan untuk masa kini.
Begitu pula dikarenakan jiwa sosialnya yang tinggi tanpa memandang ras dan bangsa, maka pemerintahan Kota Medan, Indonesia, mengabadikan nama Jose Rizal menjadi salah satu nama jalan di Kota Medan.