Antara Ada Dan Tiada
"Mah, kira-kira kapan Bapak pulang?"
"Mor, jangan tanya pertanyaan yang kamu tahu mama gak bisa jawab pertanyaan itu." Moris menelan ludah, dia rasa pertanyaannya menyakiti hati ibunya.
"Maaf Mah. Iya aku ngerti."
"Ada apa Mor? Kalo Mama biasa bantu, pasti Mama bantu."
"Gak Mah, besok ada rapat di sekolah. Moris pengen Bapak yang datang."
"Kenapa tanya Bapakmu? Bukannya dari dulu juga Mama yang suka datang?"
"Iya Mah, besok acaranya. Kebetulan di sekolah libur. Biar Moris yang beres-beres rumah sama jagain dagangan Mama."
Dalam kesendirian Moris, saat lengah dari ibunya, dia menangis, bertanya dalam dirinya. "Sebenarnya hakikat seorang ayah itu apa sih?" Moris memang bukan anak kecil lagi, sudah mulai berfikir. "Apa hanya untuk mencintai, membuahkan anak, lalu ditinggalkan?"
Tapi itulah yang Moris dan keempat adiknya rasakan.
"Kak?" Sapa Dodo adik terakhir Moris berumur lima tahun, menyadarkan khayalan Moris.
"kenapa Do?"
"Kok kak Moyis gak sekolah?" Tanyanya dengan bahasa yang cadel.
"Libur, Do. Mama yang pergi ke sekolah, ada rapat orang tua."
"Tuh kan, Mama gak ajak Dodo." Rengeknya.
"Sebentar lagi juga mama pulang, Do."
Moris sebagai anak pertama dan satu-satunyanya perempuan, harus bisa berdiri menggantikan ibunya. Di kala ibunya berperan sebagai ayahnya mencari nafkah di luar. Maka mengurus rumah, adik-adik, dan tak lupa membagi waktunya dengan belajar, adalah pekerjaan sehari-hari Moris.
Sejak kepergian ayahnya yang hampir lima bulan entah kemana, tanpa kabar dan berita, ekonomi keluarga semakin sempit. Keadaan ini memaksa ibu Moris berjuang menafkahi anak-anak. Sebenarnya, ini bukan kepergian yang pertama. Ini terjadi sejak kehamilan adik Moris yang ketiga.Tapi ayah Moris tanpa rasa malu, datang kembali memohon-mohon, meminta maaf agar diterima kembali di keluarga.
"Kemana suami mu Jeng? Sudah lama gak kelihatan. Hati-hati loh Jeng dengan supir, mereka sukanya jajan di waraung-warung pinggir jalan gelap."
Ocehan tetangga menjadi makanan sehari-hari ibu Moris.Tak peduli kata-kata mereka, mencoba berbaik sangka. Tapi memang kata-kata mereka benar. Bukti-bukti pun jelas, pergi bekerja berbulan-bulan tanpa kabar dan nafkah keluarga, lalu pulang tak membawa apa-apa kecuali sepeser dua peser.
Ibu Moris sebenarnya sudah tak butuh seorang suami. Bukan tanggung jawab yang diterima, tapi sakit dan kepedihhan yang didapat.Dua tolak pun terjatuh, bukan karena kasih sayang membuat dia kembali menerima ayah Moris, tapi nasib anak-anak yang membuat dia siap kuat menerima sakit itu kembali.
****
"Dua bulan lagi aku lulus SMA, diterusin kemana yah, Ma?" Tanya Moris, cari pendapat.
"Cari kuliah gratis! Walaupun kita miskin harta, tapi harus kaya ilmu angkat derajat ibumu!"
Moris berkata dalam hatinya. "Apa mungkin kuliah dengan keadaanku seperti ini? Tapi tak apalah, Insya Allah dengan do'a dan ridho ibu. apa yang gak mungkin?"
"Baiklah Ma, aku akan cari. Do'ain Moris ya!" Jawab Moris setelah berfikir lama.
Mencari pendidikan gratis saat ini tak sulit. Tapi ia punya keinginan kuat, mau berusaha, do'a dan keyakinan. Mudah saja bagi Moris untuk mendapatkan beasiswa. Dia cerdas, penuh semangat. Moris mengikuti tes di berbagai perguruan tinggi. Dan ternyata, lima universitas menerima Moris untuk kuliah dengan beasiswa penuh.
Moris bingung, mana yang harus dia pilih. Tapi keinginan Moris dulu, belajar di pesantren. Tidak hanya bersandar pada keinginan, Moris butuh istikharah untuk menambah keyakinan. Karena ketentuan Allah akan menjadi yang lebih indah.
"Siapa yang berjalan di jalan Allah, Allah mudahkan perjalanannya." Moris yakin dengan kata-kata ini. Dan ternyata benar, Allah setujui keinginan Moris. Moris memilih STIBA Ar-Raayah kuliah berbasis pesantren.
"Ma, Moris dapat tempat, di mana Moris harus belajar!."
"Alhamdulillah, bagus Nak! Di mana?" Tanya Mama semangat.
"Tapi Ma, apa Mama bakal sutuju dengan pilihan Moris?."
"Insya Allah, Mama setuju kalau itu yang terbaik buat kamu. Memangnya ada apa, sepertinya kamu ragu?"
"Kuliah yang aku pilih berbasis pesantren dan wajib tinggal di pesantren. Kalau begitu aku gak bisa bantu Mama cari uang buat adik-adik."
"Ya Allah Nak! Mama gak pernah harap itu, kejar akhirat Nak! Dunia pasti mengikutimu."
Moris memeluk ibunya, menangis, terharu mendengar nasihatnya. Ibunya mengingatkan Moris bagaimana ibu seorang imam madzhab, Ahmad bin Hanbal, begitu besar dukungan mencari ilmu dari seorang ibu terhadap anaknya.
Hari keberangakatan kuliah tiba, kesedihan bertambah saat Moris akan pergi dengan keadaan ibunya yang sakit. Tapi mau bagaimana lagi, jika Moris tak pergi hari itu pasti akan telat dan gak akan diterima.
"Gak apa-apa. Pergilah sana, Mor. Mama baik-baik aja.Maafkan Mama Mor,kamu harus pergi sendiri,jangan lupa niat cari ilmu yang ikhlas." Terserat senyuman di wajah ibu Moris.
"Iya Mah,aku pergi".
"Kamu yang sabar ya di sana, Nak! Dengan bekal yang kamu punya sekarang, jangan ngarepin Mama banyak datang ke sana".
"Do'a mama cukup buat Moris, Ma." Moris mengecup tangan dan kening ibunya. Adik-adik ikut mengantar Moris naik angkutan umum. Tak tega melihat kepergian Moris, mereka langsung pergi, tak ada yang menoleh.
****
Setelah sampai di pesantren, Moris bingung. Mungkin hanya dia yang turun dari angkutan umum, membawa koper tanpa seorang pun bersamanya.
"Eh Moris! Aku tungguin dari tadi, akhirnya kamu datang juga".Sapa kakak kelas Moris yang sudah dua tahun belajar di kuliah ini.
"Maaf Ukhti, tadi macet di jalan. Apa yang harus kita lakuin sekarang, Ukhti?"
"Ayo ana antar anti ke pendaftaran. Biar teman-teman ana yang bawain koper anti sekalian diperiksa juga."
"Iya, Ukhti."
Setelah pendaftaran selesai, Moris diantar ke tempat pemeriksaan barang-barang di koper .
"Ukhti Moris, mari kami antar ke kamar kamu. Coba lihat di name tag apa nama kamarnya?"
"kok gak ada nama kamarnya ya, Ukhti?" Moris melepas name tag, memperlihatkannya ke kakak-kakak kelasnya itu.
"Iya ya, kok gak ada. Coba kami tanya ustadzah dulu. Kamu tunggu saja di sini." Ujar seorang kakak kelas lesung pipit manis di pipi kanannya.
Dia kembali dengan senyuman lebar, sambil membawa berita. "Akhwati, kata ustadzah pelajar yang gak punya nama kamar, berarti dia istri ustaz." Semua yang mendengar tak ada yang tak tertawa.
"Tapi Ukhti, aku belum nikah, aku baru keluar sekolah kemarin." Bantah Moris, kaget.
"Biar aku panggil ustadzahnya ke sini ya!"
Seorang ustazah datang dengan kerudungnya yang lebar dan berkacamata. "Ada apa ya?"
"Maaf ustazah, ana gak punya nama kamar, tapi ana belum nikah juga, ini KTP ana."
Moris keluarkan KTP yang tertulis di dalamnya, 'belum kawin'.
"Tholibat, antar dia ke lantai tiga, kamar Khodijah!"
"Baik ustadzah."
***
Enam bulan perjalanan belajar Moris di Ar-Raayah berlalu. Moris yang semangat, pekerja keras, tak ada kendala baginya dalam belajar. Karakternya yang bersolidaritas tinggi membuat dia disukai teman-temannya.
Hari jum'at, hari libur belajar, hari bersih-bersih, hari memperbanyak ibadah, juga hari kumpul keluarga satu kamar.
"Panggilan untuk Moris Maura, dari Sukabumi. Ditunggu di ruang tamu sekarang!"
Panggilan satpam terdengar dari speaker membuyarkan konsentrasi Moris saat mengerjakan tugas di kamar. Suara sorak teman-teman satu kamar tak Moris hiraukan. Moris segera memakai pakaian lengkap, kaos kaki juga cadarnya. Tapi seketika Moris terdiam, berkata dalam hatinya. "Siapa yang datang? Mama? Ah gak mungkin."Moris berlari keras menuju ruang tamu.
"Mama!" Moris terkejut melihat ibunya yang berdiri depan ruang tamu.
"Moris!" Mama memeluk erat Moris sambil meneteskan air mata.
"Ayo, Nak. Masuk! Ada yang mau Mama perlihatkan ke kamu".
"Ada siapa di dalam Ma, kok ada sepatu laki-laki?"
Moris buka pintu ruangan. Lagi-lagi Moris terkejut, sangat terkejut, melihat ayahnya yang duduk bersila di samping kipas angin.
"Bapak?" Entah apa yang harus Moris lakukan pada ayahnya. Marah kah? Tapi itu tak boleh di hak orang tua. Moris hanya membungkam, menahan air mata.
Moris mendekat, duduk di samping ayahnya.
Moris kecup tangan ayahnya, berkata dengan lembut. "Pak, gimana kabar Bapak?"
"Alhamdulillah, Bapak sehat. Gimana kamu Mor?"
"Aku baik, selama aku lihat Bapak baik. Bapak dari mana hampir satu tahun ini?"
"Maaf Mor. Ya, Bapak salah udah ninggalin kalian. Bapak janji gak akan ninggalin kalian lagi."
Telinga Moris juga Mama sudah bosan mendengar kata-kata itu. "Pak, tau gak, yang Bapak lakuin itu dosan besar. Bukan hanya diri bapak yang terdzolimi tapi juga keluarga."
"Maaf, Mor. Bapak janji, Bapak janji gak akan bapak lakuin lagi."
Janji sudah seperti makanan sehari-hari baginya. "Pak, kita butuh bukti bukan janji." Tegas Moris.
"Gini aja deh Mor, Mah, kalau Bapak ninggalin kalian lagi, talak Bapak jatuh, walaupun itu hanya satu lagi".
Janji ini belum pernah terdengar sebelumnya oleh Mama dan Moris. "Baik Pak, kita pegang janji Bapak." Bapak menunduk, menunjukan wajah kesalahannya.
"Ini ada sedikit makanan buat kamu, Mor. Maaf Bapak belum bisa ngasih kamu uang, Bapak belum pegang uang".
"Makasih, Pak. Kedatangan Bapak, liat wajah Bapak, bisa ngobrol sama Bapak, cukup buat Moris senang." Mata Moris mulai berkaca-kaca. "Pak, jangan tinggalin salat, doain Moris di setiap sujud Bapak. Tobat Pak, banyak istigfar! Kita gak tau kapan maut kita datang."
"Iya Mor." Hanya jawaban iya dan iya terdengar dari Bapak Moris. Tak ada bukti dari kata-kata itu. Namun Moris tak bosan berdoa, meminta hidayah untuk ayahnya.
Mama dan Bapak Moris pamit pulang.
"Aku senang sekali liat mama sama Bapak jalan berdua. walaupun aku tau sakit hati Mama gak semudah itu cepat hilang." Moris berbicara sendiri melihat mereka berdua berjalan.
****
Beberapa minggu kemudian, tepatnya hari Jum'at. Saat yang ditunggu Moris untuk menelpon keluarga.
"Assalamu'alaikum, Mah. Apa kabar?"
"Wa'alaikumussalam, Mor. Alhamdulillah baik."
"Gimana Bapak, adik-adik, pada kumpul di rumah?"
"Gak ada Mor. Bapakmu pergi lagi, sudah tiga minggu gak pulang. Mor, Mama tunggu kamu nelpon. Mama gak tau sama siapa mama harus cerita. Adik-adikmu belum pada ngerti masalah ini." Terdengar tangisan Mama.
"Ada apa Mah? Coba cerita dengan tenang."
"Mor, Bapakmu di rumah gak banyak negor adik-adikmu, mendekati mama pun gak Mor. Sehari-harinya pegang hp, telpon-telponan, menjauh dari kita, gak tau sama siapa."
"Jangan buruk sangka dulu Mah, jangan-jangan itu rekan kerjanya."
"Mama coba gak berburuk sangka, Mor. Tapi suatu ketika, bapakmu lagi mandi. Hpnya bunyi, mama angkat. Kali aja itu penting, tapi Mama gak bicara dulu sampai dia bicara. Ternyata Mor, hiks ... hiks ... hiks .... " Suara tangisan mama semakin menguat. "'Halo Ayang, Ayang lagi ngapain?' Itu yang Mama denger Mor, dari suaranya yang manja. Mama tanya siapa kamu? Dia jawab 'Mana suami saya? Kamu siapa?' Mama gak kuat, Mor. Mama tutup, terus lempar hp itu."
"Sabar, Ma. Sabar!" Moris ikut menangis, membuat teman-teman di kamarnya penasaran apa yang terjadi pada Moris.
"Terus Mor, Bapakmu marah besar. Dia bilang 'Kenapa kamu ikut campur urusan saya!?' Dia pergi bawa barang-barang, sampai sekarang gak pulang, Mor."
"Ma, udah Ma jangan nangis lagi. Mama sabar, relain kepergian bapak. Kalau memang dia gak balik lagi berarti talak bapak habis. Mama sah jadi janda."
"Mama gak takut jadi jandi, Mor. Tapi adik-adikmu yang masih butuh nafkah. Apa mama harus antar mereka tinggal bersama bapakmu?"
"Gak mah! Bagaimana masa depan mereka? Didikannya, nasibnya? Jangan, Mah! Kita percaya Allah Maha Pemberi rezeki. Buktinya kita masih hidup tanpa nafkah dari bapak." Moris coba menguatkan ibunya agar tidak putus asa.
"Iya Mor, benar."
"Yang kita bisa lakuin sekarang hanya berdoa. Insya Allah di setiap kejadian pasti ada hikmahnya."
"Makasih Mor, udah nenangin Mama."
"Iya Mah, waktu nelpon Moris habis. Kalau bisa mama datang ke sini ya, Moris kangen Mama. Uhibbuki fillah, Mah. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Jangan banyak fikiran ya, Mor!"
"Iya, Ma."
Masalah ini membuat Moris menjadi pendiam. Jarang bercanda dengan teman-temannya, dia lebih memilih beribadah. Karena Moris yakin masalah yang menimpanya untuk menaikan derajat ketakwaannya.
****
Dua tahun kemudian, Moris betah hidup di pesantren. Mencari ilmu syariah, bersama teman-teman yang salehah. Juga lingkungan yang jauh dari kemaksiatan, cocok untuk memperbanyak ibadah.
Hidup menuntut ilmu tak selamanya lurus, kekurangan bekal, dan penyakit pun mulai mendatangi Moris. Rasa pusing yang berat datang terus menerus.
"Mor, kita periksa ke dokter ya?" Bujuk Siti, seorang sahabat dekat Moris.
"Gak usah ah, Sit. Aku baik-baik aja." Bantahnya "Sit, kita kan gak tau kapan maut kita datang. Nah, nanti kalau aku mati disini aku mau disalatin di masjid kita, di Ar-Raayah."
"Suuut, jangan gegabah kamu, Mor, kalau ngomong!"
"Gak, Sit. Kan ini jaga-jaga, jangan lupa sampaikan permintaan maaf aku ke keluarga tercinta aku. Aku pengen disalatin banyak orang saleh, kayak di sini."
"Ittaqillah! Jangan-jangan aku dulu yang mati."
"Janganlah, Sit. Kan cita-cita kamu nikah dulu. Iya kan?"
"Hahaha ... Iya juga sih." Siti hanya menganggap kata-kata Moris candaan belaka.
Akhir-akhir ini Moris tak fokus dalam belajar di kelas, teringat selalu ayahnya. Walau bagaimanapun, sebejat apapun, dia ayahnya, darah dagingnya.
Allahu Akbar ... Allahu Akbar. Suara adzan Isya menggema di Masjid Ar-Raayah. Moris sudah duduk di barisan awal menunggu iqamat salat.
"Sit?" Siti yang duduk di sampingnya. "Jangan ngantuk! Siap-siap buat salat! Kali aja ini akhir salat kita".
"Astagfirullah. Iya, Mor".
Moris sholat dengan khusyu. Air mata bercucuran saat mendengar iman membaca ayat tentang azab neraka.
"Mor, bangun Mor!" Siti membangunkan Moris yang tak terbangun dari sujudnya sejak rakaat ke tiga.
"Moooooor ... Banguuun!" Teriak teman-temannya.
"Innalillahi Wa Innailaihi Rooji'uun." Ucap seorang ustadzah. "Ajal sudah membawanya. Insya Allah dia meninggal khusnul khotimah."
Tak ada satu mata pun yang tak meneteskan air mata atas kepergian Moris. Tak disangka kematiannya begitu cepat. Siti menyampaikan pada keluarganya seperti apa yang Moris sampaikan sebelum kematiannya. Ibunya yang rela menerima takdir Allah, semuanya yang terbaik untuk Moris, anaknya.
****
Seminggu setelah kepergian Moris.
"Assalamu'alaikum, Bu. Bisa tolong panggilkan anak saya, Moris Maura dari Sukabumi." Ayah Moris mencari Moris di pesantren.
"Maaf, Pak. Setau saya, Moris Maura di pesantren ini hanya ada satu." Jawab satpam perempuan.
"Iya, dia anak saya."
"Astagfirullah, sadar Pak!Bapak ini lupa ya?"
"Saya gak ngerti. Lupa apa ya Bu? Saya gak mungkin lupa anak saya."
"Kalo Bapak betul ayah beliau, pasti bapak tau Moris sudah meninggal satu minggu yang lalu."
"Apa? Mungkin itu bukan anak saya, Ibu salah orang."
"Gak, Pak. Bahkan dia disalatkan di sini. Kalau Bapak gak percaya, Bapak tanya aja mahasiswi-mahasiswi disini!"
"Tapi Bu, saya gak sempat ketemu dia selama tiga tahun. Dia anak perempuan saya satu-satunya ... Hu ... hu ... hu .... " Tangisan yang tak tertahankan lagi saat mendengar kabar itu, Bapak Moris sangat merasa berdosa karena tak pernah perhatian kepada Moris.
Bapak Moris pergi beristirahat di masjid, karena kalau pulang ke keluarga, siapa yang akan menerima dia. Adzan Zuhri berkumandang, mau tidak mau dia harus ikut salat karena dia diam di sana.
Saat berwudhu berbisik dalam hatinya. "Kapan aku terakhir berwudhu, apakah salatku akan diterima dengan lumuran dosa di tubuhku?"
"Pak?" tegur seorang ustaz yang selesai berwudhu di sampingnya. "Sepertinya Bapak ada masalah?"
"Iya, Pak."
"Mari salat dulu, setelah sholat Bapak bisa cerita. Mungkin saja saya punya solusi."
Bapak Moris meneteskan air mata dalam sholatnya. Rasa sedih karena begitu lama dia lupakan salat, rasa sedih karena ditinggalkan anak perempuan satu-satunya Moris, semua terbayang dalam salatnya.
"Bapak ada masalah apa? Mungkin saya bisa bantu." Tanya ustaz tadi.
"Pak, apa benar ada mahasiswi yang meninggal seminggu yang lalu dan di salatkan di sini?"
"Benar. Bapak keluarga beliau?"
"Bahkan saya bapak asli beliau. Saya gak tau itu semua."
"Kok bisa, Pak? Apa gak ada yang ngasih tau Bapak?"
"Saya yang salah, Pak. Saya tinggalkan keluarga saya bertahun-tahun demi kesenangan saya pribadi, saya tak pedulikan anak-anak saya." Menangis kuat, tak jadi malu lagi saat itu bagi bapak Moris.
"Tenang, Pak. Keluarkan semua unek-unek Bapak."
"Hampir semua dosa besar saya perbuat, Pak.Tadi malam saya bermimpi anak perempuan saya satu-satunya, Moris, dia nasehati saya. 'Tobat, Pak. Tobat' begitu katanya. Dia minta dijenguk tapi saya dilarang bawa apa-apa kecuali doa. Ternyata ini jawaban dari mimpi itu."
"Pak, anak Bapak salehah. Dia sudah istirahat di alam barunya. Kalau Bapak sayang dia, Bapak turuti apa keinginan anak Bapak, bertaubat, dan jenguk dia selalu dengan doa Bapak."
"Iya benar, Pak. Tapi apa Allah akan nerima tobat saya? Dosa saya begitu banyak."
"Walaupun dosa Bapak menumpuk sampai langit, Allah pasti maafkan. Asal tobat Bapak taubatannasuha."
"Baik, Pak. Insya Allah, bimbing saya, Pak, untuk memperbaiki diri saya."
"Iya, saya siap. Surga luas, Pak. Kita masuk surga bersama orang-orang yang kita sayangi, terutama saudara satu iman seperti Bapak."
Sinar hidayah mulai memasuki hati Bapak. Terima kasih, anakku, Moris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H