Mohon tunggu...
Yulianto
Yulianto Mohon Tunggu... Penerjemah - Menulis saja

Menulis saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Gaya Bank

2 Mei 2018   19:45 Diperbarui: 2 Mei 2018   20:17 1773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sistem pendidikan di negara kita telah mengalami pergeseran makna atas hakekat sebenarnya dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang pada hakekatnya bertujuan untuk memanusiakan manusia. 

Dengan kata lain menjadikan manusia menjadi manusiawi. Namun, justru terjadi dehumanisasi pada pendidikan di Indonesia. Fitrah manusia sejatinya adalah untuk menjadi pelaku atau subyek, bukan penderita atau objek. 

Manusia diharapkan mampu mengenali keberadaannya di dunia sebagai pelaku yang sadar dan memahami bahwa dunia merupakan objek realitas yang harus dihadapinya dengan penuh sikap kritis dan daya cipta. Hal ini yang membuat seorang manusia dikatakan manusiawi.

Bukan sebaliknya, manusia berperan menjadi objek yang menerima sesuatu yang ada di dunia dengan apa adanya sebagai sebuah takdir atau nasib yang tak terelakkan tanpa ikhtiar dan kesadaran sama sekali untuk mengubah nasib tersebut. 

Dan proses inilah yang terjadi pada pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan mengarahkan seorang murid hanya untuk menjadi objek dari kehidupan dan melupakan hakikat yang sebenarnya atas diri mereka bahwa mereka sesungguhnya adalah subjek dalam kehidupan.

Pendidikan Gaya Bank "Paolo Freire"

Ilustrasi: steemit.com
Ilustrasi: steemit.com
Sistem pendidikan di Indonesia yang ada dan mapan sekarang justru menafikan hakikat dasar dari pendidikan itu sendiri. Sistem pendidikan di Indonesia tidak menempatkan murid sebagai subjek yang merasakan realitas yang ada di masyarakat. 

Mereka justru hanya dijadikan sebagai objek pasif dimana mereka seolah-olah dianggap tidak tahu apa-apa. Sistem Pendidikan yang ada dan mapan di Indonesia selama ini dapat diandaikan dengan sebuah "Bank" dimana pelajar menjadi objek dan diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil berlipat ganda.

Jadi, peserta didik hanya terkesan sebagai obyek investasi dan berfungsi sebagai sumber pendulang keuntungan, mirip seperti deposito. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang lazim dikenal. 

Dimana depositor atau investornya adalah para guru sementara depositonya berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun lantas diperlakukan sebagai "bejana kosong" yang akan diisi dengan tabungan atau penanaman "modal ilmu pengetahuan" yang akan dipetik hasilnya kelak. Dalam hal ini, guru adalah subyek aktif, sedang anak didik adalah obyek pasif yang penurut.

Model pendidikan semacam ini menyebabkan pelajar melupakan realitas dirinya sebagai subjek. Mereka justru menganggap dunia adalah subjek dan mereka adalah objeknya. Pendidikan dengan gaya "Bank" seperti ini mengikis sikap kritis dan daya cipta pelajar kita di Indonesia.

Model pendidikan gaya "Bank" telah lama diterapkan di Indonesia. Pelajar hanya dianggap sebagai objek yang tidak tahu apa-apa dan menganggap pengajar adalah orang yang tahu segalanya. Konsep pendidikan gaya "Bank" ini dapat kita lihat dari kegiatan belajar mengajar yang ada di sekolah-sekolah di Indonesia. Dimana hampir di setiap kelas kegiatan yang terjadi itu sebagai berikut :

  • Guru mengajar,murid belajar
  • Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya.
  • Guru bicara,murid mendengarkan
  • Guru memilih apa yang diajarkan, murid menyesuaikan diri.

Sistem pendidikan seperti ini jelas menempatkan murid sebagai objek dan guru sebagai subjek. Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya maka merupakan hal yang lumrah jika murid kemudian mengidentifikasikan gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal. 

Pendidikan semacam ini hanya akan menciptakan nekrofili yaitu rasa kecintaan pada segala yang tidak memiliki jiwa kehidupan, dan bukannya melahirkan biofili yaitu kecintaan kepada segala yang memiliki jiwa kehidupan, yang maknawiah. 

Pendidikan dengan model "Bank" menjadikan anak didik sebagai manusia-manusia yang terasing dari realitas dirinya sendiri dan realitas dunia sekitarnya, karena model pendidikan ini telah mendidik mereka menjadi ada dalam artian menjadi seperti, yang berarti menjadi seperti orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri.

Model pendidikan dengan gaya bank seperti ini tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh negara kita. Sistem pendidikan semacam ini justru hanya akan melanggengkan permasalahan-permasalahan yang ada di negara kita. 

Contohnya terkait masalah kemiskinan. Seorang murid tidak akan mampu menyelesaikan masalah kemiskinan jika mereka hanya diajarkan bagaimana menjadi seseorang yang dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya untuk diri mereka sendiri. Mereka hanya dibekali ilmu pengetahuan untuk dapat mengisi sektor-sektor ekonomi yang terkait dengan ilmu yang akan mereka geluti kelak

Selanjutnya,dengan ilmunya tersebut mereka berupaya untuk dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Dan akhirnya, merekalah yang akan menjadi orang-orang kaya baru yang hanya akan melihat sebagian besar teman sebangsanya hidup di bawah garis kemiskinan. 

Pendidikan dengan sistem Bank tidak memberikan kesempatan bagi murid untuk melihat permasalahan kemiskinan yang ada dimasyarakat kemudian permasalahan tersebut dibahas dengan pengajar untuk bersama-sama memikirkan cara penyelesaian dan kemudian bertindak demi menyelesaikan permasalahan kemiskinan itu. 

Mereka tidak difungsikan sebagai subjek yang ada di masyarakat yang senantiasa melihat kemudian berfikir mengenai permasalahan-permasalahan yang terjadi pada masyarakat di sekitarnya. 

Padahal merekalah yang nantinya diharapkan akan berfungsi sebagai subjek yang mampu merefleksikan permasalahan kemiskinan tersebut kemudian bertindak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Hasil dari pendidikan dengan "Gaya Bank" tidak menciptakan seorang pelajar yang kritis dan memiliki daya cipta yang tinggi.

Di bidang lain, contohnya di sektor perekonomian, Pendidikan model "Bank" seperti ini hanya menempatkan lembaga-lembaga pendidikan layaknya sebuah industri. Produk dari industri ini adalah murid dengan berbagai spesifikasi ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Sebuah industri sebagaimana yang kita ketahui sangat dipengaruhi oleh pesanan pasar. 

Pasar disini adalah perusahaan-perusahaan yang memiliki modal besar yang dengan modalnya tersebut berupaya untuk mempengaruhi pendidikan agar berpihak padanya demi melanggengkan keinginan mereka yaitu keinginan untuk memajukan perusahaannya. 

Jadi perusahaan memesan kepada industri (lembaga pendidikan) sebuah produk (murid dengan spesifikasi ilmu tertentu) untuk dimanfaatkan demi kemajuan perusahaannya.

Hal ini telah lama telah terjadi di Indonesia. Contohnya : suatu lembaga pendidikan seperti univesitas, dengan bantuan modal dari perusahaan besar maka pihak universitas kemudian mendidik mahasiswanya dengan spesifikasi ilmu tertentu yang pada akhirnya mahasiswa tersebut akan dipekerjakan pada perusahaan yang memberikan bantuan.

Para mahasiswa ini akan dipekerjakan demi memajukan perusahaan tersebut. Kejadian ini akan menjadi miris ketika perusahaan pemodal tersebut merupakan perusahaan-perusahaan asing yang justru mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia dan menjadi penyebab banyak warga negara Indonesia menjadi miskin. 

Pada kejadian ini justru anak bangsa sendiri yang melanggengkan perusahaan-perusahaan kapitalis seperti ini untuk tetap subur dan berkembang di negara Indonesia. 

Oleh sebab itu, permasalahan ini akan tetap ada tanpa ada jalan untuk menyelesaikannya. Dan akhirnya, akibat dari model pendidikan "Gaya Bank" ini pendidikan di Indonesia akan dipolitisasi oleh orang-orang atau kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan tertentu seperti ingin mendapatkan keuntungan dari pendidikan.

Konsep Pendidikan yang didambakan

Kesalahan yang terjadi pada sistem pendidikan yang menerapkan model pendidikan "Gaya Bank" adalah sistem in hanya menempatkan murid sebagai objek pasif dan guru sebagai subjek aktif. 

Padahal kenyataannya, kita tidak dapat menafikan bahwa murid dengan lingkungan dimana ia hidup merupakan subjek yang setiap harinya menjadi saksi dan merasakan langsung permasalahan yang ada dan yang terjadi di sekitar lingkungannya. Hal tersebut sepatutnya dijadikan pedoman dasar yang seharusnya diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Dengan kesadaran akan pengetahuan yang telah sejak awal dimiliki oleh seorang murid maka kemudian langkah pertama yang harus segera ditempuh oleh para pengajar dan penentu kebijakan yang terkait dengan pendidikan adalah membangun sistem pendidikan yang lebih merepresentasikan pedoman dasar tersebut. 

Sistem pendidikan dimana tidak terjadi oposisi biner antara pengajar dan murid yaitu hanya berperan sebagai subjek dan objek. Namun, sistem pendidikan yang seharusnya dibangun adalah sistem pendidikan dimana terjadi penyetaraan peran antara pengajar dan murid.

Sistem pendidikan harusnya menempatkan pengajar dan murid sebagai hubungan antara subjek dengan subjek. Dalam hal ini, keduanya harus menjadi subjek sedangkan yang menjadi objek yang dikaji oleh kedua subjek tersebut adalah realitas dan permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. 

Dengan model pendidikan seperti ini maka hasil yang nantinya dapat diperoleh adalah murid akan menyadari eksistensinya di masyarakat sebagai seorang subyek yang penting. 

Jika seorang murid telah menyadari eksistensinya tersebut maka kemudian akan muncul sikap kritis dalam benak para murid tersebut ketika menghadapi permasalahan yang mereka dapati di sekitar lingkungannya. Sikap kritis ini kemudian akan mengarahkan murid kepada perenungan dan perefleksian akan permasalahan tersebut. 

Dan pada akhirnya, setelah melakukan refleksi tersebut maka murid akan merumuskan sebuah tindakan nyata guna menyelesaikan masalah yang mereka temukan di sekitar lingkungannya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun