Mohon tunggu...
Yulianto
Yulianto Mohon Tunggu... Penerjemah - Menulis saja

Menulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ironi Pemimpin

1 Mei 2018   16:27 Diperbarui: 1 Mei 2018   16:46 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari congkak di cakrawala. Aku masih terjebak di dalam kendaraan yang menerabas keramaian dengan lambat. Menjelang tengah hari, sayup-sayup lantunan doa ramai terdengar dari corong-corong pengeras suara di sepanjang perjalananku. Seakan memanggil setiap hati yang Tuhan masih berdaulat di dalamnya untuk singgah, tetirah berkomunikasi dengan penguasa semesta. 

Tiba di pertigaan jalan, tempat angkutan umum biasa ngetem, aku turun disana. Setelahnya, terburu-buru langkahku menuju salah satu rumah ibadah untuk menghadiri panggilan yang sejak tadi kudengar itu. Kebetulan hari itu Jumat, ramai lelaki telah mengisi hampir seluruh rumah ibadah  di kota itu.

Langkahku memelan ketika tiba di depan gerbang salah satu rumah ibadah langgananku. Tak seperti biasanya, keramaian di tempat itu sungguh luar biasa. Barisan kuda besi serta jejeran kendaraan pribadi telah ramai menyesaki halaman tempat ibadah itu. Aku lantas masuk ke halaman mesjid itu namun puluhan lelaki beragam generasi telah mengadang langkahku yang berniat menyucikan diri (wudhu') sebelum memasuki tempat suci itu. 

Mengantri, terpaksa haru kujalani. Dari tempatku mengantri, kualihkan perhatianku mengamati isi di dalam mesjid yang sudah terisi sesak. Beruntung, arsitektur mesjid itu didesain terbuka dengan hanya dinding rendah yang menjadi pembatasnya. Udara segar bisa masuk dengan leluasa. Puluhan lelaki yang berdesakan di dalam mesjid itu tak harus lagi menahan pengap.

"Tak biasanya mesjid ini seramai itu" pikirku. Aku sering singgah di tempat itu. Perjalanan panjang yang selalu kujalani sering kujeda di tempat itu. Tak terkecuali di hari jumat, beberapa kali sempat kurasakan nuansa berhari jumat di tempat itu. Tak pernah seramai itu. Bulan puasa saat ketika mesjid penuh pun masih amat terlampau jauh. 

Belum tuntas rasa penasaranku, giliran bersuci ku pun tiba. Setelah selesai, kulangkahkan kaki ke dalam mesjid mencoba mencari celah tempat duduk yang mungkin masih bisa untuk kuisi. Baru berniat menaiki tangga, puluhan lelaki kulihat telah berdesak rapi di depannya ingin melakukan hal yang sama sepertiku. Tak ingin ikut terlibat dalam keramaian itu, kuputuskan mencari tempat duduk di pelataran mesjid itu saja. 

Tapi percuma, pelatarannya pun sudah penuh sesak. Pelataran yang luasnya tak seberapa itu jelas akan cepat terisi penuh. Hanya tersisa tempat sebidang kecil saja di sebelah ruangan loker barang pengunjung dekat rak sepatu yang letaknya tak jauh dari tempatku bersuci tadi.

Disanalah tempatku duduk. Semakin tinggi rasa penasaranku tentang alasan mengapa orang-orang begitu antusias mengunjungi tempat itu ketika pembawa acara mempersilakan penceramah menaiki mimbar. Mendengar suara pembawa acara itu, kuputuskan meredam rasa penasaranku dulu.

Tak dapat kulihat wajah penceramah hari itu, tempat dudukku jauh dari mimbar, belum lagi ada tembok yang cukup tinggi menghalangi pandanganku. Namun, suara mikrofon mesjid yang cukup nyaring membuatku masih bisa mendengar suara penceramah itu. Seperti biasa, setelah penceramah membuka salam, Adzan pun dikumandangkan.

Ada yang tak asing dari suara penceramah itu ketika kudengar pertama kali. Gelombang suaranya sepertinya sudah tersimpan di dalam memori kepalaku sebelumnya. Dialeknya pun membuatku terkenang akan seseorang. Otak ku pun sibuk mencari siapa pemilik suara itu di kepalaku. 

Ketika adzan selesai berkumandang, Ia pun melanjutan ceramahnya dengan puji-pujian kepada penguasa semesta dan kekasih-Nya. Baru ketika mendengar suaranya untuk kedua kalinya, otakku pun mengirimkan pesan hasil pencarian sebelumnya kepadaku. Penceramah hari itu rupanya adalah sesorang yang cukup terkenal di wilayah itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun