Mohon tunggu...
Balfa Syehra
Balfa Syehra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati Kebijakan Pemerintah

Man Jadda Wajada

Selanjutnya

Tutup

Money

Gula, Harganya Tak Semanis Rasanya

29 April 2020   23:53 Diperbarui: 30 April 2020   00:12 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Di samping manusia membutuhkan Tuhan, di sisi lain bahan pangan menjadi kebutuhan utama umat manusia untuk tetap dapat melanjutkan hidupnya di dunia, manusia tak bisa memiliki kekuatan atau daya jika tidak dapat memenuhi kebutuhan utamanya tersebut. Manusia butuh makan, minum, asupan gizi yang baik. Bagi umat Islam, makan tidak sekedar makan, minum tidak sekedar minum, namun dikaji jauh daripada itu. Apakah hasil makanan, minuman diperoleh dari hasil yang halal? Uang yang didapat tidak dari hasil mencuri, menjarah, tidak dihasilkan dari bermain judi. Apabila sumber daripada makanan dan minuman tersebut jelas barulah keberkahan datang menyelimuti hari-hari kita. Sehingga semisal uang kita sedikit tapi kita merasakan kenikmatannya, apabila kurang tapi merasakan akan kecukupan rezeki yang dilimpahkan kepada diri kita.

Hal di atas baru dilihat dari sumber menggapai kebutuhan utama, belum lagi jika dinilai dari sisi kemanusiaannya sebagaimana Rosulullah Nabi Muhammad Nabinya umat Islam berkata; 

"Tidaklah beriman orang yang kenyang, sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya." (HR. Bukhari & Thabrani)

Perkataan Nabi Muhammad di atas disebut sebagai hadis, pedomannya umat Islam, hadis tersebut menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh membiarkan tetangganya kelaparan. Bahkan ia harus turut membantu mengatasi kelaparan itu, membantu kebutuhan pokok saudara-saudaranya yang dilanda kekurangan.

Selama bulan Ramadhan ini harga-harga bahan pangan jika dibandingkan dengan sebelumnya tidak nampak begitu mencolok perbedaannya, beras masih tidak jauh beda, kentang, sayur mayur, ikan, ayam harganya hampir sama. Ada satu yang sangat mencolok yaitu harga Gula, harganya tak semanis rasanya. Gula yang dulu-dulunya stabil di harga sebelas atau dua belas ribuan, perlahan-lahan naik seribuan, tiga belas ribu, tiba-tiba empat belas ribu, sampai puncaknya saat ini di harga delapan belas ribu per kilo. 

Di sisi lain jika dibandingkan dengan masa-masa pandemi, ayam jatuh turun drastis yang awalnya berkisar dua puluh dua ribuan menjadi enam belas tujuh belas ribuan per kilo. 

Namun, menurut hemat penulis bukan harga-harga bahan pangan yang menjadi titik sorotan, harga-harga bahan pangan tidaklah menjadi sesuatu yang mengganggu. Tapi, keadaan dimana pintu mencari nafkah yang susah itu yang mesti diselamatkan. Terlihat di masa pandemi ini masyarakat-masyarakat susah membuka usahanya, begitu banyak perusahaan-perusahaan yang tidak dibolehkan beroperasi bahkan sampai harus terancam ditutup jika masih beroperasi. Hanya perusahaan-perusahaan tertentu saja yang dibolehkan. Ada yang boleh dan ada yang tidak ini saja sudah terlihat adanya ketidakadilan di negeri ini. Ketidakadilan inilah yang semestinya dibasmi.

Sehingga banyak mengakibatkan saudara-saudara kita yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Keadaan ini terjadi karena kita sendiri yang memutus mata rantai kehidupan sebagaimana mestinya. Pelarangan-pelarangan yang ada tidak hanya memutus mata rantai penyebaran virus akan tetapi juga akan memutus mata rantai keberlangsungan hidup manusia. 

Kita sudah tahu manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Tetapi hakikat hidup manusia itu sendiri yang malah diputus, kegiatan sosial dimana-mana ditiadakan, bukan malah penyakit terputus tapi malah menimbulkan penyakit lain. Stres tinggi, ketakutan yang luar biasa, takut mati, takut tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Kecurigaan satu sama lain, setiap ketemu saudara kita di jalan yang sedang batuk pikiran kita sudah langsung menggiring kepada virus corona. Hal inilah yang sejatinya membunuh manusia itu sendiri. 

Keadaan di ataslah yang menyebabkan krisis di berbagai sisi, bukan di harga bahan pangannya tetapi mata pencahariannya yang sudah tertutup. 

Tatkala krisis sudah merajalela, di sinilah saatnya manusia merasakan kemanusiaannya. Saling bantu membantu, bahu membahu dalam kebaikan sebagaimana hadis yang telah kita sampaikan di atas. 

Ramadhan kali ini kita dihadapkan dengan musibah pandemi Covid-19, dimana banyak sekali rakyat yang terdampak ekonominya. Mestinya saat sekaranglah kondisi bahan pangan dijaga kestabilannya, karena rakyat sedang susah. Tapi seperti gula saja, sangat tidak bisa ditekan dan ditawar lagi harganya, terus saja melonjak. 

Terkadang sebagai rakyat biasa, ingin sekali menyampaikan keluhan ini kepada pihak yang dapat menentukan kebijakan, namun terasa sangat susah untuk bisa sampai ke Pemerintah. Akhirnya mau tak mau rakyat harus menanggung beban ketidak stabilan beberapa bahan pangan. Sebetulnya apa yang membuat tidak stabilnya harga bahan pangan? Pertanyaan itu belum dapat dipecahkan secara rasional. Lebih sering rasa bingung dan penasaran yang tidak kunjung terjawab yang menghampiri rakyat. Kemana ingin memekik? Apakah harus berdemo dan beraksi dijalanan? Sepertinya itu bukan solusi. 

Ingat pesan Soekarno "Berdikari, berdiri diatas kaki sendiri", mungkin bisa menjadi tekad baru bangsa Indonesia. Semua bahan pangan yang kita butuhkan, rasanya Indonesia punya semua bahan bakunya. Coba ajak kami rakyat diskusi. Insya Allah jika tidak ada unsur politik kotor yang mencampurinya, ada saja jalan keluar untuk kita bisa berproduksi sendiri. 

Rakyat Indonesia adalah rakyat yang kuat, tubuhnya biasa berpanas, luka dan berdarah, demi menghasilkan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan dapat dinikmati oleh orang lain. Maka, mestinya rakyat kita yang mengurus semua pangan kebutuhan masyarakat Indonesia. Misal, kebutuhan tebu untuk membuat gula berapa? Biarkan masyarakat bercocok tanam, sehingga tidak kekurangan bahan baku. 

Seringkali tidak masuk akal, kita dengan penduduk yang sebagian besarnya bertani padi, tapi beras kita masih impor. Kita dengan masyarakat yang berpuluh-puluh tahun membuat garam, garam kita juga impor. Sebetulnya berapa hebat orang luar sana, sehingga mereka dapat menghasilkan berton-ton gula, garam, dan lain-lainnya. 

Cinta kami kepada Indonesia, memang belum mampu untuk menaungi sandang pangan semua rakyat Indonesia, tapi harapan dan tulisan kami adalah bukti bahwa kami siap menjadi rakyat yang berdikari. Apa yang ingin pemerintah beri buat kami berupa uang ataupun bantuan sandang pangan, sepertinya ini juga bukan solusi. Lebih baik pemerintah beri kami kail untuk kami memancing ikannya setiap waktu, sepanjang hari selama kami hidup.

Mari kita perdayakan tanah-tanah pemerintah yang belum dimanfaatkan untuk lahan bercocok tanam, bangunan-bangunan pemerintah yang tidak terpakai untuk masyarakat membuka usaha. Karena semakin banyak rakyat yang berdagang barang ataupun jasa, maka semakin mengalir deras perputaran ekonomi yang sehat.

Banyaknya masyarakat yang menganggur tetapi tubuh mereka sehat, harapannya pemerintah ikut serta dalam membina mereka untuk bergerak dan maju, beri mereka stimulus untuk bersemangat, bahkan undang-undang dilarangnya menganggur bisa diupayakan sebagai efek jera bagi mereka agar tidak menganggur.

Zaman serba canggih ini, sebetulnya tidak ada alasan untuk seseorang menganggur. mereka ke pasar saja menawarkan diri untuk turut serta, berapa banyak pengusaha di pasar yang membutuhkan tenaga meraka walaupun hanya menjadi tukang panggul. Atau berapa banyak produsen produk membutuhkan orang-orang yang siap menjajakan produknya bahkan tanpa modal. Orang yang berkata tidak ada pekerjaan, sejatinya mereka belum mau bangkit saja dari sofa empuknya. Alangkah sedih jika pemandangannya, si pengangguran adalah seorang ayah yang kuat atau anak laki-laki yang masih muda dan sehat bugar, sedangkan anggota keluarganya yang wanita bekerja keras mencari nafkah. Sungguh hina sekali dihadapan Allah, karena termasuk perbuatan yang tercela.

Disamping kita mengusulkan, memberi pendapat, ide dan pemikiran kepada pemerintah, selayaknya kita sudah harus mulai dari diri kita masing-masing. Mari kita bekerja keras, mari kita bangkit dan mencoba berdikari, berproduksi yang kita bisa. 

Kita adalah manusia, manusia adalah khalifah dimuka bumi, manusia dapat membuat dan mencipta sesuatu yang menakjubkan, seperti Thomas Alfa Edison, seperti Bill Gates, kita juga bisa, beda kita sama mereka apa? Sama-sama makan, minum dan istirahat. Kita dapat menghasilkan sesuatu diluar batas perkiraan kita. Allah telah memberikan kita akal untuk itu semua.

Selanjutnya, hanya Allah tempat kita bergantung dan memohon agar kita bisa melewati ini semua, agar kita bisa berdikari, agar kita bisa merdeka dalam segala hal terutama ekonomi bangsa. Mari sama-sama kita memohon kepada-Nya, cukupkanlah rezeki bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia agar dapat melewati masa-masa sulit ini dengan kecukupan rezeki. Semoga pandemi ini cepat berakhir, semoga bumi kembali normal, semoga selepas ini semua akan semakin hijau dan menyejukkan. 

Semua yang membuat kita bingung sejatinya hanya ujian Allah, apakah kita bersyukur atau kufur atas nikmat-Nya. Marilah kita bersyukur, agar Allah menambah nikmat kita. Semoga bukan hanya rezeki yang Allah cukupkan, namun juga keberkahannya, agar setelah ini harga gula semanis hakikatnya rasa gula, manis dan memaniskan kehidupan ini. Terimakasih gula, semoga engkau menjadi ide kami untuk segera maju kembali, sekarang dan untuk masa-masa mendatang.

Wallahu a'lamu bisshowaab.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun