Warya yang kerap disapa mang Eyod itu merupakan seorang pengrajin legendaris anyaman bambu di Dusun Cadas, Kec. Maja, Kab. Majalengka, Jawa Barat. Eyod menghabiskan sisa usianya untuk terus menghasilkan ragam kerajinan dari sebuah bambu. Mulai dari aseupan, hihid, dingkul, tapian, boboko, dsb.
Hasil dari anyaman bambu memilikinya dipercaya mempunyai tingkat kerapihan yang cukup memuaskan. Sehingga sebagian besar para ibu rumah tangga di Dusun Cadas, telah menggunakan dan memiliki hasil anyaman mang Eyod.
Sedangkan pagi itu, Eyod nampak tengah 'Ngahua' yakni menguliti sebuah bambu untuk keperluan membuat aseupan. Bagi yang belum mengetahui bahwa aseupan merupakan sebuah benda penyangga untuk mengukus nasi. Dilihat dari bentuknya, aseupan memiliki bentuk segitiga seperti sebuah piramida.
Sedangkan ngahua merupakan tahap awal untuk memulai menganyam. Sehingga ngahua merupakan sebuah proses yang cukup krusial, dalam menentukan kelenturan bambu, yang sesuai dengan keperluan dari kerajinan itu sendiri. Maka tingkat kelenturan bambu yang dikuliti (ngahua) untuk membuat aseupan akan berbeda dengan tingkat kelenturan dalam pembuatan dingkul maupun tapian.
Tingkat kelenturan bambu yang dikuliti untuk pembuatan aseupan harus benar-benar lentur. Oleh karena itu, Eyod kerap menjemur batang bambu di bawah terik matahari untuk beberapa pekan. Sinar matahari yang panas dapat membantu batang bambu menjadi lentur dan tidak mudah patah.
Barulah setelah proses ngahua, mulai untuk menganyam dan membentuk kerajinan bernama aseupan. Hasil kerajinan yang telah jadi, Eyod menjualnya dengan harga yang bervariasi, sesuai dengan tingkat kesulitan dalam proses pembuatan. Biasanya Eyod memasang tarif antara Rp. 12.000; - Rp. 40.000;.
Sejauh ini para pemesan hanya dalam lingkup Dusun Cadas, terkadang ada saja yang pesan dari Desa sebelah. Akan tetapi minimnya orang yang mengetahui keberadaan Eyod sang pengrajin anyaman legendaris di Dusun Cadas ini. Menyebabkan hasil kerajinannya, terpaksa tergeletak begitu saja dalam rumahnya.
Membuat kerajinan dari bilah bambu telah menjadi mata pencaharian utama Eyod. Sudah hampir lebih dari 20 tahun dirinya bergelut dengan bambu. Hanya saja terkadang pemesan anyaman bambu kian hari kian jarang. Oleh karena itu jika tidak ada yang memesan anyaman dari bambu di hari itu, Eyod terpaksa memilih untuk berpuasa di hari itu.
Keterbatasan dirinya untuk mengakses teknologi menjadi kendala utama dalam pemasaran kerajinan miliknya. Sehingga jangkauan pemasarannya hanya dalam lingkup kecil. Padahal jika aktif di media sosial mungkin pesanan untuk membuat kerajinan anyaman bambu itu akan jauh lebih banyak.
Berhubung Eyod ini telah berusia lanjut dan tidak terlalu mengerti tentang dunia teknologi. Ditambah hidupnya sebatang kara, menyebabkan Eyod hanya bisa menunggu pesanan yang datang ke rumahnya.