Mohon tunggu...
habib
habib Mohon Tunggu... Atlet - mahasiswa

hobi futsal

Selanjutnya

Tutup

Financial

Risiko Kredit Bank Syariah

29 Mei 2023   21:38 Diperbarui: 29 Mei 2023   21:44 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Menurut (idroes, 2008) beranggapan bahwa resiko dapat didefinisikan sebagai sebuah bahaya karena dianggap sebagai ancaman maupun kemungkinan sesuatu Tindakan atau kejadian yang menimbulkan dampak terhadap tujuan suatu organisasi. Tetapi, resiko juga dianggap sebagai sebuah peluang untuk mencapai tujuan dikarenakan ia dianggap sebagai lawan dari risiko. Menurut (Kasidi, 2010) beranggapan resiko dapat diartikan sebagai sesuatu kemungkinan terjadinya penyimpangan dari harapan yang dapat menyebabkan kerugian. Sedangkan menurut (Nainggolan, 2012) resiko juga merupakan suatu keadaan yang menunjukkan terjadinya hasil actual yang berbeda dengan hasil yang diharapkan.

Salah satu risiko yang sering terjadi dalam lembaga keuangan, terutama perbankan, adalah risiko finansial. Risiko kredit adalah salah satu bentuk risiko finansial yang umum terjadi, karena terkait erat dengan kemampuan pihak ketiga sebagai peminjam untuk memenuhi kewajibannya.

Menurut Greuning dan Iqbal (2011), bank syariah sering menghadapi beberapa jenis risiko keuangan.

  • Risiko kredit
  • Risiko struktur neraca
  • Risiko laporan laba rugi
  • Risiko likuiditas
  • Risiko pasar
  • Risiko suku bunga
  • Risiko nilai tugas

Risiko kredit adalah hasil dari kegagalan pihak lawan untuk memenuhi kewajibannya, seperti yang disebutkan oleh (Tampubolon, 2004). Dalam definisi lain, risiko kredit dikaitkan dengan ketidakmampuan nasabah kredit untuk membayar angsuran pinjaman dan bunga, yang dapat berakibat pada hilangnya aset dan penurunan laba bank, seperti yang dijelaskan oleh (Juli dkk, 2004). Risiko ini muncul ketika salah satu atau beberapa debitur mengalami kinerja yang buruk, seperti ketidakmampuan mereka untuk memenuhi isi perjanjian kredit yang telah disepakati sebelumnya.

Terjadinya kredit macet atau pembiayaan bermasalah di bank dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari kinerja internal bank maupun faktor eksternal seperti kondisi makroekonomi. Baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, perubahan variabel makroekonomi memiliki dampak yang signifikan terhadap Non-Performing Financing (NPF), sebagaimana yang dikemukakan oleh (Nuryartono, Saptono, dan Was'an, 2016).

Faktor utama yang diduga kuat berkontribusi terhadap tingginya pembiayaan bermasalah di perbankan syariah adalah perlambatan ekonomi, sebagaimana disebutkan oleh Firmansyah (2014) dan Havidz & Setiawan (2015). Hal yang serupa juga terjadi pada kredit macet di perbankan konvensional, seperti yang telah dikemukakan oleh Messai & Jouini (2013), Makri, Tsagkanos, & Bellas (2014), Rokhim & Yanti (2014), dan Skarica (2014). Pertumbuhan ekonomi yang sehat mencerminkan aktivitas ekonomi yang terus membaik, yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan pembiayaan dan berpotensi memengaruhi tingkat pembiayaan bermasalah.

Salah satu indikator yang signifikan adalah tingkat suku bunga yang berlaku, sebagaimana disebutkan oleh Messai & Jouini (2013), Vatansever & Hepsen (2015), dan Barus & Erick (2017). Tingkat suku bunga yang tinggi dapat mendorong peningkatan pembiayaan bermasalah. Dampak dari tingkat suku bunga yang tinggi meliputi penurunan investasi dan aktivitas bisnis di sektor riil. Ini juga dapat menyebabkan tingkat inflasi yang tinggi, mengurangi daya beli masyarakat, dan mengakibatkan penurunan keuntungan bagi pelaku usaha di sektor riil. Akibatnya, pelaku usaha akan menghadapi kesulitan dalam memenuhi kewajiban mereka kepada lembaga perbankan, yang pada gilirannya akan menyebabkan tingkat pembiayaan bermasalah yang tinggi.

Sebaliknya, jika tingkat suku bunga rendah, aktivitas bisnis akan meningkat, inflasi rendah, dan daya beli akan meningkat. Ini akan menghasilkan peningkatan keuntungan dalam sektor riil dan juga kemampuan pelaku usaha untuk memenuhi kewajiban mereka kepada bank akan meningkat, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Iqbal (2017).

Untuk mencegah terjadinya kredit macet, bank perlu mengadopsi prinsip kehati-hatian. Hal ini merupakan langkah yang penting bagi pihak bank dalam mengelola risiko kredit. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kredit macet adalah kurangnya analisis kredit yang mengikuti prinsip kehati-hatian sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan. Dalam hal ini, bank perlu memastikan bahwa pemberian kredit didasarkan pada analisis yang mendalam terhadap itikad, kemampuan, dan kesanggupan nasabah debitur untuk mengembalikan kredit. Selain itu, bank juga harus menerapkan pedoman perkreditan yang sesuai dengan prinsip syariah yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan pedoman perkreditan berdasarkan prinsip syariah, bank dapat mengurangi risiko kredit dan mencegah terjadinya kredit macet.

Karena bank memiliki kewajiban untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit, hal ini diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

  • Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, Bank Umum harus memiliki keyakinan berdasarkan analisis yang teliti terhadap itikad, kemampuan, dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk membayar utang atau mengembalikan pembiayaan sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat.
  • Bank umum harus memiliki dan mengimplementasikan pedoman perkreditan dan pembiayaan yang sesuai dengan prinsip syariah, sejalan dengan peraturan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Dalam pemberian kredit, kreditur memberikan kepercayaan kepada debitur meskipun tindakan ini memiliki risiko yang tinggi. Terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam kredit berdasarkan penjelasan tersebut, yaitu:

  • Keyakinan, yaitu kepercayaan kreditur bahwa pinjaman akan dikembalikan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati.
  • Jangka waktu, merujuk pada periode antara pemberian kredit dan pengembalian kredit, mengindikasikan bahwa nilai uang pada saat pemberian kredit lebih tinggi daripada nilai uang yang akan diterima pada saat pengembalian kredit di masa depan.
  • Degree of Risk, mengacu pada tingkat risiko yang akan dihadapi selama periode antara pemberian kredit dan pengembalian kredit. Semakin tinggi jangka waktu yang memisahkan keduanya, maka tingkat risiko juga akan semakin tinggi. Karena adanya unsur risiko ini, perjanjian kredit memerlukan suatu bentuk jaminan.
  • Prestasi yang diberikan dalam konteks pemberian kredit adalah dalam bentuk barang-barang, jasa, atau uang. Namun, dalam perkembangan perkreditan di era modern, prestasi yang dimaksud dalam pemberian kredit umumnya merujuk pada pemberian uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun