Menghirup Kedamaian di Tompobulu: Refleksi Perjalanan dan Hakikat Kehidupan
Perjalanan kami dimulai dengan semangat pagi yang memulai perjalanan pukul jam 09.00, saya bersama Om Burhanuddin dan Om Nurdin menaiki Toyota yang melintasi jalanan berkelok menuju kecamatan Tompobulu.
Nama Tompobulu berasal dari bahasa Bugis, yang berarti "atap gunung". Nama ini menggambarkan dengan sempurna keindahan alam dan letak geografisnya yang berada di ketinggian, dikelilingi pegunungan hijau dan udara yang sejuk.
Kecamatan ini, dengan luas sekitar 235 km, adalah surga tersembunyi di Kabupaten Maros, menawarkan panorama alam yang memesona: air terjun yang menderu, sungai-sungai kecil yang jernih, serta lembah dan hutan pinus yang memikat hati.
Kami tiba setelah satu-dua jam perjalanan, menikmati pemandangan indah di sepanjang jalan: hamparan lembah hijau, pepohonan rindang, dan sungai-sungai yang berkelok. Udara segar menyambut kami saat mencapai villa mungil milik Dr. Charlie, seorang pengacara Apindo Sulsel yang dikenal dengan keahliannya dalam memasak. Terletak di lembah yang asri, pondok ini dikelilingi oleh pemandangan pegunungan berkabut yang memanjakan mata.
Dr. Charlie menyambut kami dengan kehangatan yang khas. Di atas lantai motif kayu sederhana, telah tersaji hidangan tradisional khas Makassar: pallumara ikan bolu yang segar, sayuran khas Padang, sambal pedas spesial buatan tangannya, dan aneka kue Bugis yang menggoda selera. Dengan penuh rasa syukur, kami menikmati hidangan tersebut sambil berbincang ringan di tengah suasana yang damai. Setiap suapan terasa istimewa, seolah masakan itu mengandung cinta dan keakraban yang menyatukan kami semua.
Usai makan, kami melanjutkan eksplorasi ke hutan pinus di sekitar Tompobulu. Hutan ini tidak hanya indah, tetapi juga menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat lokal dengan pohon-pohon karetnya yang menghasilkan lateks untuk ekspor. Kami berjalan di antara pohon-pohon tinggi, menghirup udara yang segar, dan mendengarkan gemerisik angin di sela dedaunan---sebuah pengalaman yang menenangkan jiwa.
Sore harinya, kami singgah ke rumah Kepala Desa Bontomanurung dan juga Bontomatinggi Tompobulu, Bapak Mustakim. Beliau menyambut kami dengan ramah, seperti keramahtamahan khas masyarakat Bugis yang selalu membuat tamu merasa dihargai. Di teras rumahnya yang sederhana namun nyaman, ia menghidangkan segelas kopi hitam tubruk hangat. Sambil menyeruput kopi, kami menikmati pemandangan luar biasa: pegunungan berkabut di kejauhan, berdiri megah di balik Gunung Malino yang sejuk.
Di sela-sela perbincangan, kami juga meninjau tanah-tanah luas yang membentang di sekitar lembah. Gagasan-gagasan bermunculan: sebuah tempat tinggal tenang untuk masa depan, peluang usaha peternakan ayam, atau bahkan kantor LBH yang menawarkan kedamaian di tengah alam. Setiap sudut Tompobulu memberikan inspirasi, seolah puncak gunung ini berbicara kepada kami untuk melihat kehidupan dari perspektif yang lebih tinggi.
Namun, di balik potensi besar ini, ada kebutuhan mendesak untuk meningkatkan infrastruktur dan fasilitas umum. Tompobulu bisa menjadi "Puncak" versi Sulawesi Selatan, seperti kawasan pegunungan di Jawa Barat yang terkenal dengan banyak villa, tempat wisata, fasilitas pendidikan, dan sarana ibadah yang ikonik. Investasi pada fasilitas ini, termasuk transportasi umum yang terintegrasi, akan membuat perjalanan ke Tompobulu lebih mudah bagi wisatawan dan masyarakat lokal.
Selain itu, penting untuk membangun jaringan internet yang menyeluruh di kawasan ini. Dengan akses digital yang baik, warga dapat terhubung dengan dunia luar, memanfaatkan peluang usaha berbasis teknologi, dan menarik lebih banyak pengunjung yang ingin bekerja atau berlibur sambil menikmati alam. Infrastruktur ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal sekaligus memastikan kenyamanan bagi pengunjung yang ingin merasakan keindahan Tompobulu.
Hari itu di Tompobulu bukan hanya sebuah perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual. Pemandangan jalanan berkelok, sungai yang mengalir tenang, dan udara pegunungan yang sejuk membawa kami merenungi arti kehidupan. Dalam perjalanan pulang, saya, Om Burhanuddin, dan Om Nurdin berdiskusi hangat, mencoba menangkap pelajaran yang diberikan oleh alam.
Tompobulu, yang berarti "puncak gunung," benar-benar menjadi puncak pengalaman kami hari itu. Ia tidak hanya memberikan keindahan alam, tetapi juga mengajarkan kesederhanaan, kehangatan, dan rasa syukur. Dengan potensi besar yang dimilikinya, kawasan ini layak menjadi ikon wisata dan tempat tinggal yang nyaman, mempertemukan harmoni antara alam, manusia, dan teknologi. Di tengah dunia yang sibuk dan penuh ambisi, Tompobulu mengingatkan kami bahwa kebahagiaan sejati ditemukan dalam harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan.
Terima kasih DR. Charlie.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H