Samar-samar, aku dengar suara burung walet dan camar bersahutan, seolah menyapaku yang sedang sendiri, larut dalam menikmati waktuku. Mereka mengajakku bermain dan menikmati alam pantai yang berbukit penuh warna hijau nan asri.Â
Seolah mereka berkata: "bersyukurlah wahai engkau yang sedang  duduk. Bersyukurlah wahai sang jiwa yang sendiri namun tak sepi."
Suara itu terdengar, namun tidak dengan telinga. Suara yang berasal entah dari mana. Suara frekuensi radio alam yang bergelombang...
"Bacalah alam ini, lihatlah sekelilingmu..."
"Bacalah dan bacalah sekali lagi."Â
"Ikuti irama bacaan dan nikmati hidangan yang telah diberikan dari Sang Maha."
Perlahan, kuperbaiki sikap dudukku dan mulai lebih santai serta lebih sadar.Â
Maka sedetik kemudian, terbukalah yang selama ini tertutupi. Terbukalah hati dan jiwa melalui mata, telinga dan semua panca indera yang kumiliki. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan.
Maka mulailah aku menulis....menulis keabadian hingga waktu yang ditentukan. Kutulis beberapa kata di hamparan pasir pantai...dengan jariku kubentuk sebuah tulisan dan simbol.
Sebuah kata syair yang tak biasa, yang kuimpikan kata-katanya mampu merubah kehidupanku. Kutulis dibawah langit disaksikan sang lautan dan burung-burung yang sedang beterbangan, dengan rasa yakin dan merdeka. Aku merdeka melakukan apa saja. Aku mulai menerima bisikan "sang malaikat putih" yang terasa mulai mendekat ke sebelahku.
 Akupun mengikuti irama suaranya yang tak terdengar namun terasa nyata dengan frekuensi gelombang yang unik dan berbeda. Syair yang tak biasa...