Mohon tunggu...
Mohamad Asruchin
Mohamad Asruchin Mohon Tunggu... -

Pemerhati masalah sosial-politik, \r\ntinggal di Bekasi, Jawa Barat - Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Marxisme, Leninisme, dan Maoisme

5 Oktober 2017   20:36 Diperbarui: 6 Oktober 2017   03:16 8165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ajaran Marxisme menyebutkan bahwa cara-cara produksi dalam memenuhi kehidupan suatu masyarakat akan menentukan hubungan sosial dan susunan politik dari masyarakat tersebut. Dengan teori "Dialektika Materialisme", Karl Marx (1818-1883) membagi masyarakat ke dalam 3 tingkat, dimulai dari Masyarakat Primitif, bergerak menjadi Masyarakat Borjuis dengan ciri-ciri perbudakan serta feodalisme, dan kemudian berubah menjadi sistem Komunisme. Metode Dialektika ini merupakan pengembangan dari teori Friedrich Hegel (1770-1831) tentang konflik sosial sebagai pendorong perubahan di masyarakat dalam bentuk Thesis, Antithesis dan berakhir dengan Sinthesis.

Menurut pandangan Marx dunia (Eropa) pada jamannya terdiri dari kelompok penguasa yang menguasai alat-alat produksi dan pekerja yang menggunakan alat-alat tersebut untuk menghasilkan barang kebutuhan sehari-hari. Kelompok pertamaadalah para pemilik pabrik atau tuan tanah yang mempekerjakan buruh atau petani upahan dengan penghasilan yang jauh di bawah majikannya. 

Manakala kesadaran para pekerja buruh dan tani telah tumbuh, maka mereka akan melawan ketimpangan sosial-ekonomi dalam masyarakat, yang berakibat dengan bergantinya sistem kapitalis-Feodal menjadi sistem Sosialisme. Tingkat tertinggi dari masyarakat impian Karl Marx adalah komunisme dimana kelas sosial sudah hilang dan tercipta kesejahteraan yang merata di masyarakat. 

Marx beranggapan bahwa masyarakat komunis yang terbentuk harus dipimpin oleh kelas tertindas, yaitu kaum proletariat buruh dengan menyingkirkan kelas pemilik modalsehingga terbentuk masyarakat tanpa kelas. Tempat yang paling ideal untuk melaksanakan perubagab sistem sosial-masyarakat tersebut adalah negara-negara Eropa yang tingkat kapitalismenya telah mencapai puncaknya. 

Namun demikian dia juga berkeyakinan bahwa petani dapat memainkan peranannya di negara-negara Asia, dengan tetap mendapatkan pendampingan dan bimbingan dari kaum proletar.Jadi ketimpangan sosial-ekonomi serta perlakuan tidak adil yang dialami oleh para pekerja (buruh dan tani) ini menjadi penyebab utama semangat untuk mengubah sistem kapitalis-feodal menuju ke  masyarakat sosialis-komunis.

Berbeda dengan harapan Karl Marx, perubahan sistem sosial tidak terjadi di negara-negara industri maju, melainkan di Rusia dengan beberapa modifikasi dari Vladimir Lenin (1870-1924) yang menambahkan dengan gerakan revolusioner menentang kapitalis-borjuis, dimana kaum petani dapat menjadi basis massa gerakan di bawah pimpinan proletariat dan partai pelopor. Menurut Lenin meski tanpa kelas pekerja yang kuat, revolusi menuju masyarakat komunis dapat dilakukan asalkan dikoordinasikan dan dipimpin oleh Partai Pelopor yang memiliki organisasi dan disiplin yang ketat. Setelah berhasil menerapkan Marxisme di negaranya, Lenin menginginkan negara tetangganya, China dapat menjadi negara yang stabil dan bersahabat sebagai perisai terhadap negara Soviet yang masih muda pada tahun 1920-an.

Mengingat revolusi di dunia industri Barat belum berhasil, Vladimir Lenin dan Hendrik Sneevliet (aktivis Komintern dari Belanda) ingin menyerang imperialisme di tempatnya yang paling lemah, yaitu di daerah jajahan dan wilayah yang dieksploitasinya. Namun karena kaum proletar industri masih lemah di sana diperlukan kerjasama dengan kaum "borjuis nasional" setempat. 

Marxisme yang masuk ke China adalah dalam bentuk Leninis, yang menjadi menarik para cendekiawan China terutama setelah kemenangan Revolusi Oktober 1917 di Rusia. Dalam rangka ikut memperingati ulang tahun pertama Revolusi Bolshevik Rusia,pada bulan November 1918, Profesor Li Dazhao dari Universitas Beijing menulis artikel di majalah 'Pemuda Baru' yang berhasil menginspirasi sejumlah intelektual progresif  China mendirikan kelompok studi untuk mempelajari ajaran Marxisme-Leninisme.

Kondisi di China yang masih tidak menentu sejak Gerakan Revolusi 1911 yang menumbangkan monarki terakhir di China,Dinasti Qing (1644-1912) serta penentangan mereka terhadap pendudukan negara-negara Barat atas wilayah China berdasarkan Perjanjian Versailles, telah mengobarkan semangat nasionalis para cendekiawan dan mahasiswa Universitas Beijing dan China pada umumnya dan kemudian melancarkan demonstrasi besar-besaran di ibukota Beijing yang terkenal sebagai "Gerakan Empat Mei" tahun 1919.  Pada tahun 1921, PKC (Partai Komunis China) atau Gongchandang didirikan atas inisiatif Chen Duxiu dan dengan desakan Komintern (Komunis Internasional) diwakili oleh Hendrik Sneevliet, yang sejalan dengan pemikiran Leninmenganjurkan agar bekerjasama dengan kaum revolusi borjuis China di bawah pimpinan Sun Yat-sen (1866-1925).

Gerakan komunis dan pemikiran Mao Zedong (1893-1976) banyak persamaannya dengan tradisi pemberontakan di China yang mengandalkanpetani,berbeda dengan kondisi masyarakat sebagaimana digambarkan oleh Karl Marx yang lebih mengandalkan golongan proletariat buruh. Mao berulangkali menyerukan untuk tidak saja menerapkan Marxisme sebagaimana aslinya, tetapi dibaurkan unsur-unsur China dan Barat dalam satu sinthesa.Ada tiga hal pokok yang berpengaruh besar dalam Maoisme, yaitu:

  • Elemen-elemen budaya tradisional China yang sudah mengakar di masyarakat;
  • Marxisme-Leninisme yang mulai menyebar di China sejak Gerakan 4 Mei 1919;
  • Teori dan kebijaksanaan sebagai hasil dari pengalaman konkrit revolusi di China.

Maoisme adalah Leninisme ditambah dengan Perjuangan Kelas yang tanpa henti. Bagi Mao kelas dalam masyarakat tetap dan akan terus ada meskipun tatanan sosial dan politik bercirikan komunis sebagaimana digambarkan oleh Karl Marx telah tercapai. Mao memandang konflik dan perubahan sebagai proses yang akan berlangsung terus, oleh karenanya perjuangan kelas juga senantiasa perlu digalakkan. 

Dalam mengadopsi teori Marxisme dan Leninisme, Mao Zedong  telah menyesuaikan dengan kondisi setempat atau bisa disebut sebagai pencinaan atau 'Chinanisasi' Marxisme. Pola ini mengulang Chinanisasi Dinasti Yuan/Mongol (1260-1368) dan Dinasti Qing/Manchu (1644-1912), dimana meskipun secara fisik bangsa asing Mongol dan Manchu berkuasa di China pada jamannya, namun mereka akhirnya justru terserap ke dalam budaya dan peradaban China. 

Teori utama Marxisme mengenai dialektika atau kontradiksi telah dipadukan dengan filosofi China kuno dari Taois 'Yin-Yang', yang melihat semua benda di dunia pada dasarnya bertentangan satu sama lain namun berjalan harmonis dan saling membutuhkan, misalnya pasangan Siang-Malam, Laki-Perempuan, Bumi-Langit, Api-Air, Baik-Buruk, dst. Dari sinilah Mao meyakini bahwa kontradiksi selalu ada dalam situasi apapun.

Menjelang dilaksanakannya Program Lompatan Jauh Ke Depan atau Da Yue Jin (1958-1962) yang memobilisasi massa untuk menggenjot produksi pertanian maupun industri, Mao mengeluarkan teori yang membedakan kontradiksi sosial menjadi 2 (dua), yaitu: 'Kontradiksi antara Kita dan Musuh' yang bersifat Antagonistik dan 'Kontradiksi di antara Kita' atau Kontradiksi Non-Antagonistik. Pemecahan jenis kontradiksi pertama harus melalui penghancuran, sedangkan yang kedua diatasi dengan cara re-edukasi.

Garis pemisah antara kedua jenis kontradiksi ini tidak tegas. Kelompok yang masuk dalam kategori 'rakyat' dan 'musuh' bisa berubah-ubah tergantung dari perkembangan sosial masyarakatserta kepentingan politik dan persaingan kekuasaan di antara para elit partai. Oleh karena itu petinggi-petinggi partai seperti Peng Tehuai, Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dll. Pernah berubah menjadi target demonstrasi massa karena 'pergeseran status' dari rakyat menjadi musuh.

Ideologi komunis membagi konflik yang tumbuh dari dalam masyarakat menjadi 3 (tiga): Pertama, ide-ide yang mempunyai relevansi permanen, yaitu masalah-masalahkontradiksi antagonistik; Kedua, ide-ide yang mempunyai relevansi cukup lama, diatasi melalui bimbingan dan koreksi; Ketiga,  ide-ide yang hanya relevan dalam tempo singkat, berlaku hanya pada kondisi tertentu.

Mao Zedong juga melontarkan konsep Revolusi Permanen yang dimaksudkan untuk menghindarkan institusionalisasi dan birokrasi revolusi yang dapat menghambat terwujudnya masyarakat sosialis dan komunis. Mao menginginkan dalam tahapan transformasi sosial dari era borjuis ke masyarakat sosialis-komunis, lingkungan dan semangat revolusioner tetap dipelihara guna mengikis habis pengaruh borjuis. Suatu revolusi harus segera diikuti dengan revolusi lain sehingga semangat tidak keburu menurun dan permasalahan tidak makin rumit dan membesar. Itu sebannya Mao terus menjaga momentum semangat revolusi dalam mewujudkan cita-cita ideologi Marxis-Leninis dan sekaligus mempraktekannya sesuai dengan kondisi di China dalam bentuk Maoisme. Dua gerakan revolusi Mao yang besar adalah Da Yue Jin dan Wenhua Geming (Revolusi Kebudayaan).   

Garis Massa atau kampanye yang menggunakan massa sebagai legitimasinya adalah pelibatan massa rakyat dalam semua pengambilan kebijakan partai/pemerintah yang terkenal dengan semboyan "Dari Massa Kembali ke Massa", yaitu suatu proses pengumpulan ide-ide dan aspirasi dari rakyat, kemudian dirumuskan dalam bentuk aturan/kebijakan dan dikembalikan lagi ke rakyat sebagai pedoman kerja.

Garis Massa dimaksudkan untuk mengecek jajaran birokrasi yang berlebihan serta mencegah rutinitas pekerjaan-pekerjaan dan jalannya institusi yang dapat mengarah ke tindakan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), yang dapat menjauhkan pimpinan partai dengan rakyat yang dipimpin. Dalam kenyataannya Garis Massa sering dijadikan alat/sarana bagi oknum pimpinan partai untuk memenuhi kehendak pribadi ataukelompoknya.

Teakhir, meskipun sarana produksi telah ditransformasikan dari kaum kapitalis-borjuis menjadi milik negara dan kolektif, serta dihapuskannya ketimpangan antara kapitalis dan pekerja maupun antara tuan tanah dan petani, para hard-liner PKC melihat potensi munculnya kelompok borjuis baru dari para manajer atau posisi pekerjaan tertentu pada sektor produksi maupun distribusi dengan ditetapkannya skala gaji secara bertingkat. 

Perbedaan gaji yang menimbulkan ketidakseimbangan penghasilan antar individu serta perbedaan jumlah dan jenis kerja ini dianggap sebagai 'hak borjuis' yang perlu dihapuskan.Untuk mencegah berkuasanya kembali kelompok borjuis, maka perangkat 'Diktator Proletariat' harus dibangun yang antara lain bertugas melakukan pembatasan terhadap pemilikan lahan pribadi, perdagangan di pedalaman serta insentif materi.

Bekasi,   Oktober 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun