"Syukron katsir" kami sama-sama terdiam sejenak menikmati kopi dan pisang goreng buatan istri.
Istriku memang wanita yang menurutku gigih. Biarpun badannya masih kurang sehat, urusan tamu tetap dimuliakan. Dibela-belain menyuguhkan hidangan walau sesekali pas goreng pisang tadi sebentar-sebentar tiduran. Ya memang kepalanya masih pusing dan badannya masih lemas.
"Gimana. Jadi ikut gabung?" Sugito masih berkali-kali memintaku untuk ikut gabung buat demo hari ini. Katanya demo hari ini demo sarat pahala. Arahnya jelas dan dia menyebutnya jihad fii sabilillah.
"Sekali lagi maaf Git. Afwan. Bukannya aku nggak mau pahala."
"Terus apa alasanmu kok sampai ngotot nggak mau? Apa karna alasan pilihan politik kita beda saat pemilihan ketua RT, RW, sampai Kepala Desa kemaren. Bukan karna itu kan?" sahutnya sedikit menyentil soal perbedaan politik antara aku dan dia.
"Oh bukan. Bukan karna alasan itu"
"Lalu?!"
"Maaf. Sebelumnya maaf. Sebenarnya ini soal intern di keluarga kami." Mau nggak mau akhirnya aku paparkan alasanku. Dan ini sebenarnya masalah intern yang nggak perlu ada orang lain tahu. Tapi terpaksa harus aku buka agar si Gito tahu alasan utama aku nggak mau diajak demo. Setidaknya buat pendidikan dia juga lah.
"Astaghfirullah,.." begitu tahu akhirnya Gito spontan istighfar.
"Sekali lagi maaf ya. Aku benar-benar nggak tahu" akhirnya dia memahami juga alasan utamaku. Dia mengerti jika seorang kepala rumah tangga itu tanggung jawabnya penuh.
Ya, aku sudah bilang bila akhir-akhir ini masalah finansial rumah tanggaku lagi kurang sehat. Kontrakan sudah nunggak 2 bulan. Belum lagi biaya sekolah anak-anak. Ditambah kebutuhan harian yang jelas harus terpenuhi. Coba, jika aku ikut-ikuta demo, atau aktif di kegiatan yang sejenisnya, di mana letak tanggung jawabku sebagai pemimpin keluarga?