Mohon tunggu...
asro al murthawy
asro al murthawy Mohon Tunggu... Freelancer - asro al murthawy adalah penyair jambi dan juru sensus di bps merangin jambi,

asro al murthawy adalah penyair jambi dan juru sensus di bps merangin jambi,

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pengedum Si Anak Rimba

7 Agustus 2020   11:02 Diperbarui: 7 Agustus 2020   10:55 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. SUDUNGKU RUMAHKU

Aku terbangun saat sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah atap sudung. Kugosok mataku. Hari telah siang rupanya. Cericit burung di pepohonan dan gemericik air sungai Makekal menyapa telingaku. Dari kejauhan sesekali kudengar raung mesin sinso. Uh, para penebang liar itu, seperti tak puas-puasnya membabat hutan kami.

Aku segera bangkit. Tak kulihat Merunting kakakku, juga bapak dan emakku. Tentu sudah lama mereka bangun.  Mungkin mereka telah pergi ke hutan mencari buah embacang atau ke sungai menangkap ikan dan labi-labi.

Kukencangkan secarik kain yang melilit badanku dari pusar hingga lutut. Cuma kain itulah yang menjadi pakaian sehari-hari. Aku anak laki-laki. Berbeda dengan Merunting, kakakku. Karena dia perempuan, kain yang membebatnya lebih panjang. Dari bawah lutut hingga di atas dada. Kami jarang berganti pakaian. Kami akan menggantinya bila pakaian itu   benar-benar telah usang, atau koyak terkena duri-duri rotan.

Oh, iya kami adalah Orang Rimba. Kami tinggal di Bukit Duabelas. Namaku Pengedum, biasa dipanggil Ngedum. Kata Bapak, Pengedum berarti pemberi. Orangtuaku berharap kelak aku menjadi orang yang gemar memberi. Sebuah doa yang tulus dari orang tuaku.

Kalian boleh memanggilku apa saja. Aku takkan marah. Bagiku nama panggilan tidaklah penting. Tetapi jangan sekali-kali kalian menyebut kami 

sebagai Orang Kubu.  Sebutan yang biasa dilontarkan oleh orang terang, yang berarti bodoh, kumuh dan keras kepala. Atau ada juga yang menyebut kami sebagai Suku Anak Dalam. Biasanya orang-orang berseragam yang datang ke sudung kami, yang menyebut demikian. Tetapi kami lebih senang dipanggil dengan sebutan sanak sebab kita semua besanak atau bersaudara.

Kata Nek Nyunti nenekku, kita berasal dari puyang yang sama yaitu Bujang Perantau dan Puteri Gelumpang. Lihatlah, bentuk tubuh dan wajah kami, tidakkah sama dengan tubuh dan wajah kalian?  Bahasa dan adat kita juga banyak persamaannya. Tak salah lagi, kita memang bersaudara.

Mungkin, hanyalah tempat tinggal kita yang berbeda. Kalian tinggal di dusun-dusun yang terlihat terang di malam hari. Sedangkan kami tinggal di hutan. Tidak berdusun, tidak berkampung. Di dalam hutan kami dilahirkan dan dibesarkan. Hutanlah kampung halaman kami.

 Dan inilah sudung kami. Rumah tempat kami tinggal. Terletak di bawah batang marsawa yang besar. Berukuran 8 x 6 depa orang dewasa. Tiangnya terbuat dari cabang-cabang kayu yang kuat. Biasanya kayu balam atau meranti. Sudung kami tidak berdinding.  

Akar-akar marsawa yang lebar, yang kami sebut banir, ada di sebelah hulu melindungi kami jika angin berhembus kencang. Pada sisi-sisi yang lain, terdapat jajaran resam dan pakis. Di situ, emak biasa menaruh perkakas masaknya.

Sudung kami menghadap timur ke arah sungai Makekal. Dengan begitu kami mudah menuju sungai. Banyak hal yang dapat kami kerjakan di sungai seperti mencuci muka, mengambil air minum, buang hajat dan menangkap ikan. Sementara, cahaya matahari pagi, juga akan lebih cepat masuk ke dalam sudung, sehingga kami dapat lebih cepat bangun.

"Oiiii lah bangun kau, Ngedum?"   Kudengar suara.

Aku menoleh. Kulihat seraut wajah muncul di belakangku. Wajah Puyang Ngembar, kakekku. Lelaki itu tertawa terkekeh-kekeh, melihat keterkejutanku. Menunjukan giginya yang kuning dan tidak rata. Memamerkan beberapa gigi depannya yang rumpang. 

Ah, kami memang belum begitu akrab dengan sikat gigi. Apalagi orang-orang tua seumur Puyang Ngembar.  Sehabis makan, biasanya mereka hanya akan berkumur-kumur dengan air sungai. Sesekali mengunyah sirih hutan dan pinang. Katanya itu bisa menguatkan gigi-gigi mereka.

"Aow!" Jawabku.  Dalam bahasa Orang Rimba kata aow digunakan untuk mengiyakan sesuatu.

"Lihat Bapak dan Indukku, Puyang?"  Kutanyakan keberadaan bapak dan emakku pada Puyang Ngembar.Kami memanggil emak kami dengan sebutan induk.

"Tidak. Mungkin mereka telah pergi ke hutan. Buah jernang telah mulai masak kini. Carilah mereka di sana."

 Segera kuambil tombak kecil di sudut sudung. Aku berlari menerobos semak belukar. Harum hutan di waktu pagi segera tercium. Selamat pagi duniaku!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun