Sudung kami menghadap timur ke arah sungai Makekal. Dengan begitu kami mudah menuju sungai. Banyak hal yang dapat kami kerjakan di sungai seperti mencuci muka, mengambil air minum, buang hajat dan menangkap ikan. Sementara, cahaya matahari pagi, juga akan lebih cepat masuk ke dalam sudung, sehingga kami dapat lebih cepat bangun.
"Oiiii lah bangun kau, Ngedum?" Â Kudengar suara.
Aku menoleh. Kulihat seraut wajah muncul di belakangku. Wajah Puyang Ngembar, kakekku. Lelaki itu tertawa terkekeh-kekeh, melihat keterkejutanku. Menunjukan giginya yang kuning dan tidak rata. Memamerkan beberapa gigi depannya yang rumpang.Â
Ah, kami memang belum begitu akrab dengan sikat gigi. Apalagi orang-orang tua seumur Puyang Ngembar. Â Sehabis makan, biasanya mereka hanya akan berkumur-kumur dengan air sungai. Sesekali mengunyah sirih hutan dan pinang. Katanya itu bisa menguatkan gigi-gigi mereka.
"Aow!" Jawabku. Â Dalam bahasa Orang Rimba kata aow digunakan untuk mengiyakan sesuatu.
"Lihat Bapak dan Indukku, Puyang?" Â Kutanyakan keberadaan bapak dan emakku pada Puyang Ngembar.Kami memanggil emak kami dengan sebutan induk.
"Tidak. Mungkin mereka telah pergi ke hutan. Buah jernang telah mulai masak kini. Carilah mereka di sana."
 Segera kuambil tombak kecil di sudut sudung. Aku berlari menerobos semak belukar. Harum hutan di waktu pagi segera tercium. Selamat pagi duniaku!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI