Mohon tunggu...
Asri Satrianingrum
Asri Satrianingrum Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya menyukai suatu hal yang menyenangkan bagi saya. Tentu saja, kata "menyenangkan" terkesan begitu subjektif dan perkara ini tergantung bagaimana kalian mengimaninya masing-masing. Bagi saya, menyenangkan terbagi menjadi banyak hal yang random, seperti memasak telor mata sapi tidak gosong, menyelesaikan buku tebal, menamatkan series yang menegangkan, dan memotret kehidupan dari sudut pandang seorang saya (panggil saja Arum).

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Anak Putus Sekolah, Pantaskah Mencari Nafkah di Lampu Merah?

30 Oktober 2024   23:59 Diperbarui: 31 Oktober 2024   00:15 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kamu melihat anak-anak di perempatan lampu merah membawa segelas plastik kosong bekas air mineral pertanda meminta secuil uang? Atau pernahkah kamu menemui anak-anak yang menjual keripik dan tisu dengan kantong kresek besar di tangan kecilnya? Atau pernahkah kamu memperhatikan anak-anak yang mengecat tubuhnya menjadi silver--bahkan emas seraya menengadahkan tangannya meminta imbalan?

Peristiwa-peristiwa tersebut acap kali dijumpai di persimpangan kota-kota besar di Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya problematika sosial yang mendasar dan sudah mengakar. Polemik yang terjadi tak luput dari permasalahan ekonomi keluarga sehingga anak merupakan korban yang paling terdampak. Imbas yang terjadi pun tak hanya menyangkut kurangnya perekonomian keluarga, melainkan dirampasnya hak anak terhadap akses pendidikan dan keselamatan.

Berhentinya pendidikan seorang anak berarti belum terpenuhinya hak seorang anak. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran" menjadi maklumat yang mengatur tentang kewajiban dan hak warga negara Indonesia di bidang pendidikan. Menurut laman news.detik.com yang mengambil data dari BPS 2023 menyebutkan bahwa secara hitungan angka, jumlah angka putus sekolah pada jenjang SD sebesar 31.246 anak, jenjang SMP sekitar 105.659 orang, dan 73.388 orang untuk jenjang SMA. Sampai saat ini, persoalan tentang pendidikan dan terpenuhinya hak seorang anak masih belum terselesaikan, padahal pemerintah telah mencoba beberapa upaya, seperti Program Indonesia Pintar melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk anak berusia 6--21 tahun yang lahir dari keluarga miskin, Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), serta Program Keluarga Harapan (PKH) untuk yatim piatu, penyandang disabilitas, dan korban bencana alam/musibah. Namun, dalam realitanya, program tersebut masih belum bisa diandalkan dan salah satu penyebabnya karena masalah sinkronisasi data terpadu antara Kemendikbudristek dan Kementerian Sosial dilansir dari laman ombudsman.go.id. Dilema ini berkaitan dan bertentangan dengan konsep GEDSI. GEDSI merupakan konsep kesetaraan mengenai Gender Equality, Disability, dan Social Inclusion. Prinsip GEDSI menekankan pada pentingnya akses pendidikan yang sama bagi semua individu, tanpa memandang latar belakang ekonomi dan sosial, begitupun dengan harapan bahwa pemikiran masyarakat mengenai urgensi pendidikan bagi anak-anak dapat berkembang.

Selain terputusnya sekolah, dampak lain yang muncul dari perampasan hak anak adalah mengenai keselamatan anak. Anak-anak yang bekerja di persimpangan lampu merah, baik sebagai penjual, pengamen, atau yang paling miris adalah pengemis merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak, serta bertentangan dengan prinsip Safeguarding Child. Safeguarding child atau perlindungan anak merupakan sebuah konsep untuk menjaga keselamatan dan kesejahteraan anak-anak dari segala bentuk bahaya, eksploitasi, dan penelantaran. Konsep perlindungan anak sangat relevan dengan permasalahan ini karena anak-anak yang 'terpaksa' bekerja di jalan berada pada kondisi yang berbahaya, seperti terpapar polusi, cuaca ekstrem, pun dengan risiko kecelakaan yang tinggi. Keadaan tersebut merupakan salah satu bentuk eksploitasi anak yang perlu diberantaskan. Menanggapi hal tersebut, mesti dilakukan upaya komprehensif dari berbagai pihak, seperti penegakan hukum bagi orang tua korban maupun pelaku eksploitasi anak dan rehabilitasi bagi anak-anak yang menjadi korban. Dengan demikian, diperlukan kolaborasi yang baik antara pemerintah dengan lembaga swadaya masyarakat pun dengan masyarakat itu sendiri untuk menuntaskan permasalahan yang tak kunjung usai ini.

Referensi

https://aipj.or.id/pages/publication/kesetaraan-gender-disabilitas-dan-inklusi-sosial-gedsi-di-a ipj2

https://news.detik.com/kolom/d-7341424/senjakala-bersekolah

https://ombudsman.go.id/artikel/r/pwkinternal--problematika-anak-putus-sekolah https://www.savethechildren.org/us/what-we-do/safeguarding-children

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun