Ujian nasional itu masalah! Bahkan saya rasakan masalah itu ada sejak pertama kali mengikuti ujian nasional sebagai syarat kelulusan sekolah dasar, waktu itu namanya masih EBTANAS. Saya merasa amat sangat kecewa saat itu, kekecewaan yang mungkin tidak akan benar-benar hilang sampai sekarang, walaupun kejadiannya sudah berlalu 15 tahun yang lalu.
Di sekolah dasar, saya termasuk siswa berprestasi. Dari kelas 1 hingga kelas 6 tidak pernah absen dari rangking 1. Prinsip yang saya pegang dari dulu adalah tidak menyontek. Alasannya sederhana saja, karena saya tidak suka dicontek, maka saya pun tidak mau menyontek. Toh dengan tidak menyontek pun nilai saya seringkali jauh meninggalkan teman-teman saya, maka tidak heran saya memasang target tinggi ketika ujian nasional menjelang, tidak sekedar lulus, tapi juga dengan nilai rata-rata yang tinggi, karena saya juga bercita-cita melanjutkan ke SMP favorit di kota yang passing grade-nya cukup tinggi.
Saya makin percaya diri karena pada saat Pra Ebtanas memperoleh NEM bayangan tertinggi dengan nilai rata-rata hampir 9. Saya semakin memupuk mimpi saya masuk SMP favorit dengan tetap fokus mempersiapkan diri menghadapi ujian.
Sampai tibalah saatnya hari pertama Ebtanas. Saat dimana saya merasa percaya diri saya jatuh sejatuh-jatuhnya, mental saya tempe setempe-tempenya. Semua 'berkat' guru saya.
Demi Allah, sebenarnya saya tidak sampai hati mengatakan guru saya sendiri lah yang menghancurkan mental kami pada saat ujian nasional itu, seolah-olah tidak ada sedikit pun jasa beliau untuk kami, tapi sampai sekarang saya menyesalkan bagaimana guru kami menghalalkan cara yang tidak baik hanya agar kami semua lulus.
Ujian hari pertama dibuka dengan tenang oleh guru pengawas dari sekolah lain, sebelumnya guru kami masuk, memberikan sedikit wejangan, dan yang saya heran saat itu beliau berkata dengan suara yang agak lirih, "Kalau nanti ada yang memberi tahu jawaban, jangan langsung percaya ya, belum tentu semuanya benar, harus diperiksa lagi". Saya tidak mengerti mengapa guru kami mengatakan hal itu, sampai saat ujian berlangsung. Belum lama kami mengerjakan soal, guru pengawas keluar kelas sebentar dan masuk kembali membawa selembar jawaban, kami semua diminta berhenti mengerjakan soal, dan mencatat jawaban soal pilihan ganda yang akan dia bacakan.
Tidak semua jawaban diberikan memang. Mungkin setengah atau bahkan lebih dari seluruh soal pilihan ganda, tapi sebelum memindahkan jawaban dari kertas biasa ke lembar jawaban, dalam ingatan saya kembali terngiang apa yang dikatakan guru saya, "Jangan langsung percaya, belum tentu benar". Alih-alih sekedar memindahkan jawaban yang sudah ada ke lembar jawaban, saya lebih berfokus mempertimbangkan apakah jawaban yang dibacakan oleh guru pengawas itu benar atau tidak. Dalam pikiran saya yang masih polos saat itu, guru pengawas kan dari sekolah lain, mana mungkin dia dengan berbaik hati mau membantu kami yang bukan anak didiknya. Maka saya banyak mengubah jawaban dari jawaban yang dibacakan guru pengawas, walaupun saya sendiri ragu dengan jawaban pilihan saya. Jelas gara-gara itu konsentrasi saya berantakan.
Pada hari berikutnya, dan hari berikutnya sampai ujian hari terakhir, kejadian yang sama terulang kembali. Guru pengawas masuk dan membacakan sebagian jawaban ujian.
Hasilnya ... pada pengumuman kelulusan dan NEM (Nilai Ebtanas Murni), NEM saya anjlok cukup jauh di bawah NEM Pra Ebtanas saya, padahal saya merasa soal Ebtanas tidak jauh berbeda tingkat kesulitannya dengan soal Pra Ebtanas. Selisih NEM pun sangat tipis antara satu siswa dengan siswa yang lain, antara siswa yang berprestasi di kelas dengan yang biasa-biasa saja. Yang lebih mengecewakan, saya tidak mendapat NEM tertinggi di kelas, terkalahkan oleh teman saya, yang cukup pintar, tapi saya merasa dalam kegiatan belajar sehari-hari dia masih di bawah saya. Jauh lebih mengecewakan lagi karena NEM saya tidak cukup besar untuk menembus SMP favorit di kota.
Sangat kecewa saat itu, pada diri saya sendiri, pada guru-guru saya, pada ujian nasional yang memaksa guru-guru kami melakukan apapun, menghalalkan segala cara demi meluluskan murid-muridnya.
Sejak saat itu, walaupun tidak tahu bagaimana mengungkapkannya, tapi dalam memori saya, ujian nasional itu hanya omong kosong. Suatu sistem yang gagal dan tidak bisa dipakai sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Hanya formalitas dan hasil akhirnya tidak bisa dijadikan patokan sebagai hasil murni prestasi siswa.
Ketika sampai sekarang setiap tahun selalu saja muncul masalah dalam pelaksanaan ujian nasional, saya bertambah yakin, sudah seharusnya jajaran pemerintah berwenang memikirkan lagi apakah ujian nasional masih perlu untuk diselenggarakan. Karena ukuran keberhasilannya pun dikaitkan dengan keberhasilan sistem pendidikan nasional menurut saya tidak jelas. Apa indikatornya kalau penyelenggaraan ujian ini berhasil? Apakah dinilai dari persentase kelulusan yang terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara nilai minimal lulus terus dinaikkan? Nyatanya, sekarang yang terjadi adalah guru maupun siswa mencari berbagai macam cara, bahkan yang buruk sekalipun, agar bisa lulus. Tapi semoga itu hanya prasangka buruk saya, semoga tidak ada lagi kejadian yang seperti saya alami saat ini *berusaha optimis*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H