Desember 2009 aku menikah dengan lelaki yang baru aku kenal delapan bulan sebelumnya. Masa pacaranku sangat singkat. Mungkin karena dari awal menikah, aku dan suami sudah sama-sama tahu bahwa kami menjalin hubungan yang nantinya akan dibawa ke jenjang pernikahan. Jadi, tidak ada istilah 'second taught'.
Masa delapan bulan sebelum menikah, kami isi untuk saling mengenal satu sama lain secara 'express'. Saling terbuka tentang kebiasaan dan kesukaan masing-masing, cerita tentang kondisi keluarga, teman serta pekerjaan. Proses pengenalan itu terjalin lebih dari cerita yang disampaikan via telepon, dan bukan diketahui dengan sendirinya. Lalu, menikahlah kami.
6 bulan pertamaku berrumah tangga terasa seperti dalam neraka. Ini sangat tidak hiperbola, tapi itulah yang benar-benar aku rasakan. Dan, penyebabnya adalah bahasa yang biasa digunakan oleh aku dan suami.
Syok.
"Buatin Mie."
"Masakin air."
"Buatin teh manis."
Itu adalah kata-kata yang biasa dia ucapkan kepadaku. Hal yang membuat aku syok adalah jenis pilihan katanya serta cara dia mengucapkannya.
Saat dia mengucapkannya, aku merasa tersinggung. Karena perasaan itulah, saat mengerjakannyapun aku jadi setengah hati. Lama aku tahan perasaan itu. Sampai akhirnya aku tak sanggup menahan lagi. Dan, aku mengatakan kepadanya untuk bisa berucap lebih manis.
Saat aku mengucapkannya, dia tidak bisa menerima. Menurutnya, apa yang dia ucapkan sudah cukup sopan. Saat itu aku menyadari bahwa dia sama sekali tidak bermaksud menyinggung atau berniat kasar terhadapku. dan, aku pun mengatakan.
"Kayanya lebih enak kalau kamu ngomongnya 'Sayang, buatin teh manis dong.' atau 'Tolong buatin mie.'"