Mohon tunggu...
Ps Philes
Ps Philes Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa IAILM SURYALAYA TASIKMALAYA

Hobi menulis dan memasak. Keduanya buat aku bukan sekedar hobi tapi lebih ke mood booster dimana aku bisa menyalurkan emosiku lewat kedua hobi ku

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tajuk Cinta Gracia

14 November 2024   08:52 Diperbarui: 14 November 2024   08:59 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gracia Anindya POV

Antara candu dan Pilu.

Dia membuatku candu, dia juga yang memberikan pilu. Dia lebih indah dari senja, tapi menjadikanku seperti bunga Kamboja. Terkesan menawan, tapi sepi dan hampa yang sebenarnya dirasa. Bagi yang melihat, nampak Kamboja itu indah. Ya memang indah, tapi tidak ketika dia tumbuh di area pemakaman. 

Orang tua memberiku nama 'Gracia Anindya, anugerah yang indah yang tak tergantikan'. Menunggu sebelas tahun lamanya usia pernikahan ayah dan bunda barulah malaikat kecil lahir. Bagi mereka makhluk mungil itu sebuah anugerah yang membuat mereka tak henti hentinya memanjatkan rasa syukur. 

"Gue heran deh sama loe, Nin. Padahal nyokap bokap sayang banget, tapi kok loe malah ngancurin hidup loe kaya gini cuma gara gara cowok gak jelas itu." Cecar Sifanggi. 

Termenung. Menenggelamkan kepalaku diantara kedua paha yang bertahut. Duduk sambil memeluk kedua kaki. Mendekap diri sendiri yang terkesan mengenaskan. 

"Tok tok tok" terdengar seseorang mengetuk pintu apartemen. 

Sudah seminggu, aku menginap di apartemen Sifanggi. 

"Ghio? Loe masih berani Dateng ke sini?" 

"Gue pengin jelasin sesuatu ke Anin. Please biarin gue masuk." Paksa Ghio. 

Arghio Ronald Nasution. Lelaki yang bikin gue kaya bunga Kamboja. 

"Gak. Mending loe pergi sekarang." Sifanggi mendorong tubuh cowok itu keluar menjauh dari kamarnya. 

"Please. Terakhir kali, gue gak bakal ulangi lagi, Nggi." Pinta Ghio.

"Terakhir terakhir!!! Basi! Udah berapa kali loe bilang gak bakal sakitin Anin lagi, tapi apa? Bullshit! Pergi loe!" Sifanggi benar benar muak dengan lelaki di depannya ini. 

Aku yang tahu kalo Ghio datang, menemui mereka yang sedang adu mulut. Ghio memaksa menemuiku, sementara Sifanggi bersi keras tidak akan membiarkan dia masuk. 

"Masih ada nyali? Gak perlu ada yang dijelasin. Semua udah selesai." Ucapku tegas seraya melepaskan benda yang melingkar di jari manis. 

"Engga Nin, gue janji bakal berubah. Please Nin." Ghio memegangi tanganku sembari memohon untuk tidak membatalkan pertunangan. 

"Kalo belum nikah aja loe seenaknya sama gue. Gimana nanti? " Suarku naik lima oktaf.

"Loe anggep gue apa selama ini? Gue udah kasih semuanya. Bahkan_" tak sanggup melanjutkan kata kata yang ingin ku utarakan. 

"Gue salah, Nin. Gue terlalu egois. Tapi gue janji, Nin. Kasih kesempatan sekali lagi." 

"Sorry, gue gak bisa. Mungkin dengan gue pergi dari hidup loe bisa bikin loe sadar. wanita yang sabar atas perlakuan yang ngga seharusnya dia terima sekalinya dia sadar. Loe gak bakal bisa dapetin dia lagi." Tanganku mencengkram kuat ujung gamis yang panjang nya di atas lutut. 

"Pikiran loe terlalu sempit. Hubungan kita udah sejauh ini. Dan loe ngebatalin gitu aja? Ngga mikirin gimana keluarga kita yang udh nyiapin semuanya?" Ghio memegangi kedua bahuku.

"Yang ngejalanin hubungan ini, gue sama loe. Gue yakin kalo mereka tahu kelakuan loe. Mereka bakal setuju pertunangan kita dibatalin." Melepas kasar tangan Ghio yang bertengger di bahuku.

Sebulan lalu, 

Flashback On 

"Sayang, kamu dimana? Bisa anter aku ke dokter? Perut aku sakit banget" aku merintih kesakitan.

"Bentar Ay, ini temen temen aku lagi pada ngumpul. Emang Sifanggi kemana?" Tanya Ghio singkat.

"Kamu malah nanya Sifanggi? Yang seharusnya jagain aku kan kamu." Mengernyitkan dahi

"Haish, ngga usah kekanakan deh. Bisa kan sama Sifanggi dulu." 

"Kekanakan katamu? Okey. Jangan cari aku lagi setelah ini." Suara Isak tangisku dihiraukan oleh Ghio. 

"Udah dulu Ay, bye. Aku chat lagi nanti." Ghio mematikan telpon nya. 

Puluhan chat dan telpon masuk tidak dia pedulikan sama sekali. Hpnya dia silent. 

Bahkan di saat genting seperti ini, dia bisa mengabaikanku. Bukan pertama kali, dia selalu menginginkan hubungan berjalan sesuai perintah nya. Tapi, dia tidak bisa mendengarkan apa yang aku pintakan. 

"Ya Allah, Nin. Loe kenapa?" Ntah seberapa beruntung nya aku dianugerahi sahabat yang sudah seperti kakak kandung sendiri. 

"Perut gue sakit, Nggi." Darah mengalir dari area sensitif mengenai celanaku. 

"Loe lagi dapet ya?" Sifanggi langsung memapahku ke dalam mobilnya dan membawaku ke rumah sakit terdekat. 

Remang remang mataku menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk. Sifanggi mengelus kepalaku. Tatapannya sendu. Bahkan, butiran bening itu menetes mengenai keningku. 

"Syukurlah loe udah sadar, Nin." Sifanggi membantuku bersandar di dinding. 

"Apa kata dokter?" Tanya ku pelan. Suaraku masih terdengar lemah.

Sifanggi ragu untuk mengatakan suatu hal. Dia memalingkan wajah sesekali ke arah lain. Berupaya membendung air mata yang seperti nya overload. 

"Ya Tuhan. Gimana gue cara ngomongnya ya. Pasti dia bakal syok banget." Bisik Sifanggi dalam hatinya.

"Kata dokter, loe keguguran Nin."

"What? Kamu serius? Gue sampe gak nyadar ada kehidupan di dalam rahim gue." Tangisku pecah menggema di ruang kamar Bugenvil.

Sifanggi mendekapku erat seraya mengelus kepalaku. 

Sejak saat itu. Aku tak lagi menghubungi Ghio ataupun ortuku. Ayah dan bunda juga tidak akan merasa khawatir karena aku tetap memberi mereka kabar. Yups, hanya kabar kabar yang memang layak untuk didengar. Aku yang merantau kerja jauh dari orang tuaku memilih untuk menetap di apartemen Sifanggi beberapa waktu. Sampai pada akhirnya, Ghio datang ke sini setelah dia sadar aku sengaja menjauhi nya.

"Loe keguguran, Nin? Cowok mana yang udah bikin loe hamil hah?" Gertak Ghio.

"Eh loe gila! Jelas jelas itu anak loe." Sifanggi menampar Ghio. 

"Yakin? Loe kan gampang Deket sama cowok. Main ke sana ke sini." 

"Denger yah! Gue emang friendly. Tapi gue tahu batasan gue. Loe gak inget di Villa loe pas ultah loe, hah? Sekarang semua jelas. Loe ngga pernah nganggep gue sebagai pasangan loe. Sekarang mending loe pergi dan jangan pernah balik lagi karena gue gak akan bisa Nerima loe. " Sekuat tenaga mendorong tubuh Ghio dan menyuruh nya pergi. 

Tepat di hari ulang tahunku malam ini, aku benar benar memutuskan hubungan dengan seseorang yang sudah berkali kali ku coba pertahankan. Sekali dua kali dia abai itu wajar, tapi selebihnya berarti kamu tidak ada penting baginya. Pilihan cuma dua. Lepas, atau ikhlas. 

Jangan takut untuk melepas sesuatu yang menyakitimu. Jangan sampai kau hidup bersama rasa pedih dan benci yang lama kelamaan akan menggerogoti hatimu. 

Ikhlas itu bohong jika aku mengatakannya sekarang. Yang ada hanyalah menerima takdir yang diluar daya pikir. 

Lupa, ngga akan bisa kita lakuin. Yang ada hanyalah belajar mengabaikan hal hal yang pernah membuatmu menjadi hancur.

Jangan melebur bersama kenangan, pikiran atau perasaan mu. Tapi meleburlah bersama penciptamu. 

Serpihan itu mungkin gak bisa jadi utuh tapi, dia akan menjadi sebuah mahakarya yang indah selama ditangan yang tepat. So, ubahlah mindsetmu "aku akhiri segalanya, menjadi ku ubah semestaku menjadi lebih baik dari yang tak pernah ku sangka " 

Ingat, dirimu lebih berharga dari semesta dan seisinya... 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun