Terkadang kita sering melalaikan sesuatu, entah disadari atau tanpa kita sadari. Berusaha untuk membuat begini ataupun begitu sekehendak kita. Ada hal-hal yang mungkin bisa kita jadikan sesuai yang kita inginkan. Dan setelah kita mampu merengkuhnya, terkadang kita hanya ingin tahu oh ternyata begini tho, sudah selesai. Ternyata sensasinya tak seperti sebelum kita merengkuh atau mendapatkannya.
Layaknya kanak-kanak yang menginginkan sesuatu, ia begitu menggebu-gebu. Mencoba hal-hal baru seperti ‘penjelajah’ amatiran. Jalan ya jalan saja, tanpa memikirkan ini benar ga ya, ini salah ga ya. Sebagai orang dewasa terkadang kita lebih berfokus nanti kalau melakukan ini orang jadi salah menilai. Orang jadi underestimate. Kita hanya terpancang pada penilaian orang saja. Kenapa sih kamu seperti ini? kenapa tidak begini atau begitu saja? Ada seratus satu alasan untuk mengukuhkan hal-hal yang negatif. Dan sebaliknya hal positif seakan terblock oleh pikiran-pikiran negatif itu sendiri.
Memang tidaklah keliru ketika kita mencoba untuk mengerti ataupun menyenangkan semua orang. Tapi apakah kita benar-benar bisa menuruti atau menyenangkan semua orang? Dan apakah itu yang benar-benar kita inginkan. Walaupun kita tahu, bahwahal yang mustahil untuk menyenangkan semua orang. Berusaha untuk menuruti apa yang mereka kehendaki. Dan lagi-lagi ini takkan pernah habis.
Hal ini saya jadi teringat kisah ( kalau saya tidak salah) tentang kisah suami istri dan seekor keledai. Ketika suami istri ini berjalan dengan menaiki keledai itu, dan di tengah jalan ada orang yang berkata: “ tega sekali kedua orang ini masak keledai kecil begini dinaiki dua orang, bisa mati keledai ini”.
Kemudian istrinya saja yang menaiki keledai ini. Di tengah jalan ada orang lagi yang mengatakan: “ sungguh malang laki-laki ini, mau-maunya dia hanya memegang talinya saja. Dia pasti takut dengan istrinya, sehingga menuruti kemauan istrinya”.
Lalu demi mengikuti kata orang itu, keledai itupun dinaiki oleh suaminya saja, sedang istrinya yang memegang talinya saja. Dan masih ada lagi yang berkata: “Benar-benar orang yang tidak punya perasaan, masak dia enak-enakan saja diatas keledai itu. Sedang istrinya dibiarkan kelelahan”.
Lagi-lagi demi mengikuti orang lain, kedua orang inipun berjalan dengan membiarkan keledai itu kosong tanpa dinaiki. Sementara mereka berdua hanya memegangi talinya saja. Lagi – lagi di tengah jalan ada yang berkata: “Bagaimana kedua orang ini, masak punya keledai tidak dimanfaatkan sama sekali. Kalau begini, apa gunanya punya keledai, sia-sia saja”.
Karena apapun yang kita lakukan akan selalu ada yang kurang senang, ataupun berpandangan negatif. Lalu apakah kita akan terus-menerus mengikutinya? Satu hal mungkin yangbisa kita jadikan pegangan, sepanjang kita yakin itu adalah yang baik, syukur-syukur bisa memberikan nilai kebermanfaatan bagi orang lain. Jadi kenapa kita musti repot-repot dengan pandangan-pandangan negatif itu?
Bukan berarti juga kita sama sekali mengesampingkan pendapat atau masukan orang lain. Benar, ketika pendapat itu untuk memperbaiki kelemahan ke arah yang lebih baik. Misalnya yang saya pribadi kadang mengalami yaitu begadang, ketika jatuhnya jadi ngantuk-ngantuk di siang harinya. (Begadang jangan begadang kalau tiada artinya…ups tuhkan jadi malah nyanyikan :). Ataupun anjuran tidak atupun mengurangi merokok dengan menggantinya dengan permen mungkin (karena seringkali dijumpai di tempat-rempat umum yang secara tidak langsung mengganggu kenyamanan di sekitarnya dan sebenarnya lebih berbahaya bagi perokok pasif).
Jadi sesekali dengarkanlah nurani ataupun insting kita. Dan terkadang kita juga perlu memunculkan atau memiliki semangat kanak-kanakdengan tanpa menjadi kekanak-kanakan.
Sumber gambar: http://www.psikologku.com/2013_07_01_archive.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H