Sekira, sudah tiga jam kami bercup-cuap. Satu hal yang membuat aku kaget, Pak Direk malah dari tadi bukan memandang Nining, ia memandang terus ke arah aku. Aku malah jadi gugup. Tak pernah aku bicara banyak, kecuali kalau Nining meminta aku bicara. "Gus, masih single" tanya Pak Direk singkat kepadaku.
Pak Direk ternyata bernama Suparno, ia asli Jawa Tengah. Saya taksir seumuran dengan Ayah Nining, 52 tahun. "Aku minta nomor kamu ya, (sambil memegang-megang tanganku)" Aku kasih saja, takutnya dianggap tidak menghargai dia. Pikiranku pun kemana-kemana, laki-laki ini sepertinya sakit. Bukannya Nining jauh lebih cantik dibanding aku. Lagian, aku agak tomboi. Jarang sekali saya memakai rok seperti gadis-gadis lainnya.
"Tapi dari dulu saya sebenarnya, memang menyukai lelaki seumuran beliau" gumamku dalam hati. Sekali pun namaku mirip laki-laki, tapi beberapa teman-teman cowok di kampus menilai aku lumayan cantik. Oh ya, nama asli aku Gusnani. Cuma beberapa kawan dan sahabat saya selalu memanggil saya Gusnan atau Gus saja. Ceritanya, waktu kecil, orang tua aku saat dalam kandungan mengira aku berjenis kelamin laki-laki. Jadi sebelum dilahirkan, aku sudah disiapkan nama, ya Gusnan. Tapi ternyata Tuhan berkata lain, aku ditakdirkan sebagai perempuan. Daripada repot-repot, Ayahku hanya menambahkan huraf i setelah nama Gusnan, jadilah aku Gusnani. Mungkin gara-gara itu juga, gaya berpakaian aku seperti laki-laki.
Rambutku yang panjang dan hitam ini jugalah yang membuat Om Burhan diam-diam menyukai aku. Teringat saat dia berada di Makassar, beberapa kali memeluk aku dari belakang. Itu ketika Ibu Ratih lagi keluar belanja bersama Nining. Sat hal yang aku andalkan dari tubuh saya, saya memiliki tonjolan dada yang diatas rata-rata.
Bersambung......
***Asri Ismail (31/08/15)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H