Mohon tunggu...
asri al jufri
asri al jufri Mohon Tunggu... profesional -

Selalu belajar untuk mencintai Tuhan dan semua mahluk-Nya.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Memacu Inklusi Keuangan Berbasis Komunitas

28 April 2017   10:31 Diperbarui: 28 April 2017   10:51 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masih banyak pihak yang menganggap bahwa program  edukasi nasabah dalam rangka inklusi keuangan (financial inclusion), merupakan beban yang bisa menurunkan kinerja dari lembaga keuangan tersebut. Anggapan itu tidak selamanya benar. Bahkan, apabila suatu lembaga keuangan mampu merancang  program inklusi keuangan dengan baik, justru bisa mendukung peningkatan kinerja perusahaan. Program inklusi keuangan ini hendaknya tidak dilihat sebagai beban, tetapi juga suatu kebutuhan.

Sektor keuangan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam membantu menggerakkan perekonomian suatu negara, melalui berbagai layanan keuangan, baik berupa simpanan, pembiayaan, maupun jasa lainnya.

Hingga kini, masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya paham akan peran dan fungsi lembaga keuangan, sehingga pemanfaatan produk dan jasa keuangan itu belum optimal. Hasil survey  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman itu tidak hanya terjadi pada mereka yang belum menjadi nasabah, tetapi juga di lingkungan nasabah dari lembaga keuangan tersebut. Masih banyak nasabah yang kurang paham akan peran dan fungsi sesungguhnya dari lembaga keuangan. Bahkan, tidak sedikit di antaranya yang belum bisa membedakan antara lembaga keuangan formal dan non formal atau illegal.  

Kurangnya pemahaman ini sangat terasa di lingkungan masyarakat menengah ke bawah, khususnya para pelaku usaha mikro dan kecil (UMK) yang jumlahnya sangat besar. Padahal, dengan pemahaman yang memadai, terbuka peluang bagi mereka untuk akses dan memanfaatkan berbagai layanan keuangan itu secara maksimal guna membantu memajukan usahanya.

Disinilah arti penting dari inklusi keuangan yang sekarang sedang digalakkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Malahan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menjadikan masalah ini sebagai salah satu agenda utama negera-negara anggotanya. Badan internasional itu  mengartikan inklusi keuangan atau financial inclusion sebagai akses dengan biaya yang wajar bagi seluruh rumah tangga dan perusahaan untuk berbagai jasa keuangan melalui perbankan. Jasa keuangan yang dimaksud termasuk tabungan, kredit jangka pendek dan jangka panjang, leasing, hipotik, asuransi, dana pensiun, pembayaran, transfer uang lokal dan pengiriman uang internasional (Herjuno Ndaru Kinasih: 2011).

Diyakini bahwa semakin banyak masyarakat yang memahami akan peran,  fungsi, dan manfaat dari lembaga keuangan, kemudian menjadikan lembaga keuangan sebagai mitra dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, dipastikan akan sangat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut.

Para pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) terutama perbankan, tentu mempunyai tanggung jawab yang besar dalam meningkatkan pemahaman masyarakat melalui proses literasi dan edukasi tersebut. Perbankan sangat berkepentingan terhadap pelaku UMK yang telah dan akan menjadi  nasabahnya. Perbankan yang setiap hari bersentuhan langsung dengan masyarakat tentu sangat tepat untuk melakukan pembinaan secara terus menerus.

Mengingat eratnya hubungan dan saling pengaruh antara perbankan dengan literasi masyarakat terhadap layanan  keuangan,  sudah seharusnya setiap bank terlibat langsung dalam proses edukasi dan literasi itu melalui berbagai cara yang mungkin untuk dilakukan. Untuk itu OJK telah mengeluarkan Surat Edaran No. 1/SEOJK.07/2014, tentang Pelaksanaan Edukasi dalam Rangka Meningkatkan Literasi Keuangan kepada Konsumen dan/atau Masyarakat. Ketentuan tersebut mulai  berlaku tanggal 6 Agustus 2014 lalu.

Pelaksanaan edukasi dan literasi keuangan perlu dilakukan secara intensif,  berkesinambungan, serta mudah (simple/efektif) dan murah (efisien). Pola pembinaan tersebut harus terpadu dengan  aktivitas bisnis bank sebagai PUJK sehingga  mampu memberikan manfaat nyata, baik bagi bank maupun pelaku UMK dan masyarakat pada umumnya.

Pendekatan komunitas

Salah satu kegiatan edukasi yang bisa dijadikan alternatif untuk  dilakukan bank yaitu dengan pendekatan kelompok atau komunitas. Para pelaku UMK, baik  nasabah maupun calon nasabah dikelompokkan untuk kemudian diberi pembinaan atau pelatihan mengenai  peran,  fungsi dan manfaat dari layanan keuangan, termasuk  kelebihan, kekurangan dan risiko-risiko dari setiap produk dan layanan tersebut.

  • Pelatihan bisa dilakukan melalui jaringan kantor bank tersebut dengan jumlah peserta untuk setiap kelompok antara 30 - 100 orang. Jumlah tersebut tergantung pada kemampuan dalam pengelolaan forum, ketersediaan anggaran, serta minat dari calon peserta. Pengelompokan peserta bisa berdasarkan geografis (kedekatan), jenis atau keterkaitan usaha. Materi pembinaan antara lain menyangkut manajemen, teknis produksi, pemasaran dll.
  • Kegiatan ini bisa dilakukan secara rutin dengan tujuan agar peserta mendapatkan informasi yang lengkap, terkini, dan bertahap baik menyangkut layanan keuangan maupun masalah bisnis pada umumnya. Selain itu, kegiatan ini sebagai bentuk tanggung jawab sosial perbankan dalam meningkatkan pengetahuan nasabah, sekaligus sebagai upaya untuk meningkatkan hubungan antara bank dengan nasabah. Pada akhirnya akan terbina saling pengertian dan loyalitas nasabah untuk terus berhubungan dengan bank tersebut. Khusus bagi calon nasabah,  kegiatan ini akan meningkatkan akses mereka pada bank tersebut.
  • Manfaat lain, komunitas ini akan menjadi forum temu usaha dimana mereka bisa menjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Mereka bisa meneruskan pertemuan rutin secara mandiri guna melakukan sharing pengetahuan dan pengalaman. Pada akhirnya akan terbangun jaringan yang saling menguatkan, saling bersinergi baik menyangkut pemasaran, penyediaan bahan baku, dan berbagai kebutuhan lainnya.
  • Pihak bank akan semakin  mudah mengetahui perkembangan usaha nasabahnya termasuk menjajaki kemungkinan top-up pembiayaan bagi  nasabah yang membutuhkan. Tidak sulit bagi bank untuk melakukan penilaian terhadap nasabah yang mau top-up, karena sudah kenal dan tahu kondisi usahanya.
  • Dengan terbinanya komunikasi yang baik antara bank dengan nasabah, akan sangat membantu dalam mitigasi risiko sejak dini sekaligus mencari alternatif solusinya. Kegiatan ini bisa menjadi media atau sarana dalam maintenance nasabah, sekaligus forum konsultasi langsung  mengenai berbagai masalah yang mereka hadapi. Karena anggota kelompok atau komunitas binaan itu bukan hanya nasabah tetapi juga pelaku UMK lain yang potensial, maka pembinaan ini sekaligus sebagai sarana marketing bagi PUJK, untuk menjangkau nasabah baru.
  • Dalam beberapa kasus banyak pelaku UMK yang merasa segan untuk berhubungan dengan bank. Mereka kadang enggan untuk  meminjam ke bank. Sebab, masih ada anggapan seolah-olah meminjam atau punya hutang di bank suatu hal yang negatif. Melalui pembinaan ini mereka semakin sadar bahwa meminjam atau menjadi nasabah bank sudah menjadi keharusan bagi seorang pengusaha yang ingin maju.
  • Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan, pertama: inklusi keuangan perlu dilakukan melalui edukasi dan literasi kepada masyarakat secara terus menerus melalui pembinaan berupa pelatihan dan pendampingan, baik kepada mereka yang sudah menjadi nasabah  maupun kepada masyarakat pada umumnya, terutama para pelaku UMK.

Kedua, agar proses pembinaan itu dapat berjalan dengan efektif dan efisien, perlu dilakukan melalui pendekatan kelompok atau komunitas dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan dari peserta binaan, baik menyangkut tema pelatihan, tempat, maupun narasumbernya.

  • Ketiga, agar proses pembinaan tersebut dapat berkelanjutan,  perlu memperhatikan prinsip saling menguntungkan kedua belah pihak, yaitu bank dan peserta binaan.
  • Rekomendasi

Sebagai sumbangan saran untuk akselerasi inklusi keuangan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, baik regulator  maupun kalangan industri perbankan.

  • Pihak regulator perlu lebih mempertegas mengenai kewajiban PUJK terutama perbankan dalam melaksanakan edukasi dan literasi kepada nasabah dan masyarakat di sekitar wilayah operasionalnya, dengan memasukkan masalah ini sebagai salah satu indikator dalam penilaian kinerja dan/atau tingkat kesehatannya.
  • Perlu ditetapkan reward dan punishment dalam mendukung pelaksanaan inklusi keuangan ini. Reward bisa berupa insentif atau bentuk keringanan lainnya terkait operasional bisnis perbankan. Sedangkan punishment bisa berupa sanksi administratif, denda atau bentuk sanksi lainnya.   
  • Perlu ditetapkan besaran komponen biaya untuk edukasi dan literasi keuangan atas total biaya suatu bank, dimana hal ini bisa menjadi salah satu tolok ukur dalam menilai pelaksanaan literasi dan edukasi keuangan di masing-masing PUJK atau bank.
  • Setiap PUJK atau bank perlu menjadikan literasi dan edukasi sebagai bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnisnya, dimana hal ini bukan sekadar kewajiban tetapi suatu kebutuhan dalam rangka “maju bersama” antara bank dengan  nasabah dan masyarakat di sekitarnya.
  • Bank harus menyisihkan anggaran yang memadai untuk proses literasi dan edukasi nasabah, baik sebagai bagian dari kegiatan CRS/PKBL, marketing, maupun promosi dan publikasi perusahaan.  

Dari gambaran tersebut tampak bahwa biaya yang dikeluarkan bank untuk kegiatan edukasi dan literasi itu tidak seberapa dibandingkan  manfaat atau keuntungan untuk jangka panjang. Terlebih dalam kondisi persaingan yang semakin ketat dimana perbankan dituntut untuk mampu mengelola nasabahnya secara baik dan berkesinambungan. Dengan pembinaan tersebut akan tumbuh loyalitas sehingga nasabah tidak mudah berpindah ke lembaga keuangan lain.

Satu kata kunci yang perlu disadari, bahwa kegiatan bisnis hanya akan maju dan berkembang secara berkesinambungan sejalan dengan kemajuan dan perkembangan masyarakatnya. Semakin maju masyarakat dan lingkungannya, akan semakin banyak pula peluang bisnis yang bisa dimanfaatkan. Sebaliknya, semakin terbelakang masyarakatnya,  peluang bisnis pun semakin sempit. Karena itu, aktivitas inklusi keuangan melalui proses edukasi dan literasi menjadi suatu keharusan bagi industri perbankan yang ingin tetap maju dan berkembang. ***

*) Asri Al Jufri, Penulis adalah praktisi inklusi keuangan dan konsultan UMK.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun