Terinspirasi dari salah satu topik sebuah akun yang ada di Instagram milik Psikologi Indonesia. Topik itu menurut saya sangat realeted dengan kehidupan sehari-hari. Topik itu adalah "Pleaser". Beberapa hari sebelum menemukan topik tersebut di Instagram, saya menemui peristiwa yang cukup bermakna. Hal ini yang membuat saya ingin mengetahui lebih jauh tentang "pleaser" dan utamanya pelaku dari "pleaser". Kemudian saya ingin membagi dari sedikit yang saya ketahui dalam tulisan.
"Pleaser" adalah sebuah sifat dimana jika dalam pikiran kita seakan menyuruh kita untuk melakukan, mengikuti dan menyenangkan orang lain terus. Padahal sebetulnya kita tidak sanggup atau tidak mau melakukannya. "People Pleaser" adalah sebutan untuk seseorang yang memiliki kecenderungan selalu berusaha untuk menyenangkan orang lain, bahkan dengan mengorbankan kebutuhan dan keinginan diri sendiri.
Mungkin tidak menjadi masalah jika orang lain membutuhkan bantuan atau pertolongan kita di saat kondisi darurat, yang betul-betul kita harus mengutamakan membantu orang lain. Maka kita akan melakukan itu sebagai bentuk kebaikan yang semestinya dilakukan.
Namun situasi ini akan berbeda bagi seorang people pleaser. Seorang people pleaser tidak mengenal kondisi demikian. Apapun situasi dan kondisinya ia akan melakukannya bila ada yang menginginkannya. Ia akan terus-menerus terjebak dalam rasa takut dan khawatir untuk menolak atau mengatakan tidak. Karena hal ini akan mengakibatkan dampak penerimaan yang berbeda dari orang lain. Seorang people pleaser takut dikritik oleh lingkungan dan  pertemanannya sebagai orang yang tidak baik. Sesorang yang enggan menolong orang yang membutuhkannya.
Tidak hanya itu, people pleaser adalah orang yang memiliki rasa rendah diri. Mereka sering merasa tidak berharga, selalu dikucilkan dalam lingkaran pertemanan sehingga people pleaser membutuhkan vadilasi dari orang lain. Dalam kondisi yang seperti ini, people pleaser sering dijadikan umpan atau dimanfaatkan orang lain.
Dengan segala problematika dalam dirinya membuat si people pleaser selalu memprioritaskan kebutuhan orang lain daripada mengutamakan kebutuhan dirinya sendiri. Mereka selalu menghindari perselisihan karena takut menyakiti perasaan orang lain serta merasa bertanggung jawab atas kebahagiannya sehingga mengabaikan kebahagian diri sendiri.
Tanpa disadari oleh si people pleaser, perilaku ini memberikan dampak buruk pada sisi kehidupannya yang lain. Pada tingkat tertentu akan beresiko tinggi seperti : mengalami stress, kecemasan, depresi dan masalah harga diri. Hubungan sosial yang terjalin dengan orang lain seringkali adalah hubungan yang tidak sehat. Mengapa? karena mereka tidak mampu menjaga batasan diri, yang pada akhirnya kesehatan mental mereka akan terganggu.
Dalam hal pekerjaan tidak jarang people pleaser dimanfaatkan oleh orang lain dan tidak mendapatkan penghargaan yang sepadan dengan usaha mereka. Hal ini menyebabkan kehidupan pribadi mereka menjadi terabaikan karena terlalu sering mengabaikan kebutuhan dan keinginan diri sendiri demi membuat orang lain senang.
Dalam kondisi yang normal, menjadi people pleaser bukanlah yang buruk selagi dilakukan dengan cara yang sehat. Sebenarnya, tidak ada yang salah ketika kita ingin berbuat baik kepada orang lain. Namun kita juga harus memberikan batasan-batasan sampai dimana kita dapat membantu orang lain. Semampu kita dan tidak berlebihan.
Jangan sampai kita kerepotan dan menjadi lelah sendiri tatkala mengutamakan pekerjaan orang lain. Namun urusan pribadi dan pekerjaan kita menjadi terbengkalai. Justru akan menimbulkan permasalahan bagi diri sendiri. Padahal diri kita sendiri berhak untuk mendapatkan afirmasi, penghargaan, dan kebahagiaan.
Lalu, bagaimana mengatasi perilaku people pleaser?
Kita bisa memulai dengan mengenali diri sendiri. Meluangkan waktu untuk memahami diri, kebutuhan dan keinginan diri. Menjelang tidur malam adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi diri selama seharian beraktivitas. Setelah itu, perlu melatih diri untuk mengatakan "tidak" dengan tegas dan sopan ketika betul-betul tidak mampu untuk membantu orang lain. Meskipun di awal akan ada reaksi yang berbeda, namun dengan effort yang kuat akan mampu melakukannya.
Hal lain yang perlu dikuatkan adalah mempunyai batasan yang jelas dalam hubungan dengan orang lain. Belajar memprioritaskan kebutuhan dan keinginan diri sendiri serta  berkomunikasi dengan asertif dan menegaskan diri secara sehat.
Membantu, menyenangkan, serta menjadikan diri sebagai pribadi yang bermanfaat bagi orang lain adalah hal baik. Selama hal itu tidak merusak kesehatan mental dan membuat permasalahan baru bagi diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H