Mohon tunggu...
ASRA TILLAH
ASRA TILLAH Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelupaan Akan Pancasila

11 Februari 2022   14:36 Diperbarui: 11 Februari 2022   15:09 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sedikit Catatan Diskusi Publik Pancasila di UNM)
 
Oleh : Asratillah
 
Kemarin siang (10 Februari 2022) tepatnya sekitar pukul 13.00 lewat 15 menit saya tiba di kompleks Kampus UNM Gunung Sari. Dan itu berarti saya telat 15 menit dari jadwal yang ditetapkan panitia pelaksanan diskusi publik.

Beberapa kali saya dihubungi panitia via chat WA dengan redaksi "di mana posisi sekarang kanda ?", yah saya jawab "sudah dekat dinda". Jalan macet, hujan cukup lebat dan sebagian poros Jalan. A.P Petarrani tertenang air.

Ternyata dua narasumber lain sudah menunggu di forum diskusi, beserta para peserta Sekolah Pancasila yang dilangsungkan oleh adik-adik Prodi Kewarganegaraan UNM. Sayapun mendapatkan kesempatan sebagai pembicara kedua dalam forum itu.

Dan di awal pemaparan, saya menegaskan bahwa salah satu tugas dari ruang akademik adalah "memproblematisasi", mempersoalkan hal-hal yang sudah dianggap pakem oleh kebanyakan orang, mulai dari agama, adat-istiadat, mitologi-mitologi, teori-teori yang dianggap benar begitu saja oleh komunitas ilmiah tertentu, dan tentunya Pancasila.

Pancasila berumur setua Republik kita. Jika diskursus tentang Pancasila kita bawa masuk ke dalam ruang kampus, berarti kita siap memproblematisasi Pancasila. Karena bagi saya Pancasila adalah sebuah produk politik sekaligus produk historis, agar bisa tetap relevan bagi gerak zaman dia mesti "dipersoalkan".

Mempersoalkan tidak selalu berasosiasi dengan "menolak", walaupun bisa berujung kepada penolakan. Mempersoalkan juga bisa berarti "mengayakan " (enrichment), sebelum kita bisa melakukan semacam "ijtihad segar" seputar pancasila, maka kita perlu membedah dan mengulik apa-apa saja yang menjadi hambatan dalam melakukan pengayaan terhadap Pancasila, dan aspek-aspek apa saja dari Pancasila yang berpeluan kita kayakan.

Dalam diskusi tersebut saya mengandaikan Pancasila sebagai text corpus yang memiliki dua wajah. Pancasila memiliki wajah sebagai "korpus tertutup" sekaligus berwajah "korpus terbuka".

Pancasila berwajah "korpus tertutup" artinya, teks Pancasila secara harfiah-verbatin sudah selesai, ke 5 sila yang ada sudah kita anggap final, begitupula soal versi teks Pancasila yang kita gunakan yakni yang diputuskan dalam sidang di tanggal 18 Agustus 1945 (tanpa mengurangi rasa kagum kita terhadap proses dialektik yang canggih dan bernas dari para anggota PPKI).

Mungkin begitu pula dengan posisi pancasila sebagai L'Esprit Constitution, sebagai jiwa alias "mata air nilai" dari konstitusi Republik Indonesia, tidak dipersoalkan lagi. Kita bersepakat bahwa dalam konstruksi hukum tatanegara kita, Pancasila menjadi asas pertama dan utama, disamping asas negara hukum, asas kedaulatan rakyat dan demokrasi, asas negara kesatuan dan asas cehck and balance.

Namun Pancasila sebagai "korpus terbuka", artinya Pancasila sebagai teks terbuka yang membuka diri bahkan mengundang semua warga negara untuk menginterpretasi dirinya. Lalu bagaimana jika interpretasi terhadap Pancasila itu sangat beragam ? lalu manakah di antara hasil interpretasi itu yang mesti kita gunakan ?.

Di sinilah peran universitas, yang menyediakan ruang pertemuan di antara person atau lembaga yang bertindak sebagai penafsir Pancasila, berdebat saling menyuguhkan argumentasi seputar tafsir dan pengayaan mereka akan Pancasila. Jadi yang kita cari bukan kebenaran objektif tentang pancasila, tetapi kebenaran intersubjektif, kebenaran yang merupakan hasil pergulatan pikiran di antara subjek penafsir dan berada dalam posisi setara.

Pancasila sebagai "korpus terbuka" lah yang akan kita problematisasi. Selain itu, problem seputar Pancasila tidak hanya berada wilayah hukum an-sich, tetapi juga berada pada wilayah politik hukum. Dimana proses-proses politik yang mengiringi proses pembuatan produk hukum perundang-undangan seringkali jauh dari nilai-nilai Pancasila.

Begitu banyak undang-undang ataupun peraturan di tingkat daerah yang tidak begitu konsisten dengan elan vital Pancasila serta batang tubuh UUD 1945. Ini karena masuknya variabel "uang" dan "kepentingan sempit kelompok" dalam proses politik pembuatan produk hukum perundang-undangan.

Belum lagi pada wilayah sosio-yuridis, tidak efektifnya produk hukum perundang-undangan kita (sebaik apapun itu) saat di terjemahkan dalam laku para aparat negara.

Dalam kasus desa Wadas beberapa hari lalu, sangat jelas bahwa penghormatan terhadap martabat kemanusiaan warga desa Desa dilanggar oleh tindak kekerasan beberapa oknum aparat keamanan. Sila kemanusiaan dan keadilan sosial, "dilumat-lumat" dalam waktu bersamaan dalam peristiwa tersebut. Logika manajemen proyek dianggap lebih penting dibanding aspirasi kritis warga Desa, sehingga operasi "tangkap dan amankan", jauh dianggap lebih penting untuk segera dilakukan ketimbang musyawarah.

Ternyata tanpa disadari kita mengalami "pelupaan akan Pancasila". Di awal reformasi, Pancasila tak begitu sering diucapkan di ruang publik, mungkin karena sebagian besar di antara kita merasa trauma terhadap apa yang dilakukan Rezim Orba, di mana Pancasila yang luhur diperlakukan sekedar sebagai instrumen kekuasaan, Pancasila dijadikan sebagai alat mendisiplinkan oposan dan protes warga negara dengan ancang-ancang jalan pembangunan waktu itu.

Pelupaan yang diakibatkan trauma mungkin kita bisa pahami dan maklumi, namun ada satu jenis pelupaan yang mungkin lebih memalukan. Yakni pelupaan akan Pancasila, di tengah-tengah berlimpahnya pamflet online yang mengatakan "Saya Pancasila", pelupaan di saat gencarnya sosialisasi empat pilar.

Namun pelupaan jenis ini bukan sekedar pelupaan berupa absennya Pancasila sebagai wacana di ruang-ruang publik, tapi pelupaan yang berupa tindak khianat. Dan agak sulit kita menyangsikan tindak khianat, jika ada pejabat yang mendaku diri Pancasilais tapi ternyata menggarong dana Bansos, mendaku Pancasilais tetapi mengamputasi partisipasi publik dalam pembuatan UU (contohnya UU Cipta Kerja dan UU IKN), mendaku Pancasilais tapi lebih mementingkan hasrat oligark ketimbang rintihan rakyat miskin.

Makassar, 11 Februari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun