Pancasila sebagai "korpus terbuka" lah yang akan kita problematisasi. Selain itu, problem seputar Pancasila tidak hanya berada wilayah hukum an-sich, tetapi juga berada pada wilayah politik hukum. Dimana proses-proses politik yang mengiringi proses pembuatan produk hukum perundang-undangan seringkali jauh dari nilai-nilai Pancasila.
Begitu banyak undang-undang ataupun peraturan di tingkat daerah yang tidak begitu konsisten dengan elan vital Pancasila serta batang tubuh UUD 1945. Ini karena masuknya variabel "uang" dan "kepentingan sempit kelompok" dalam proses politik pembuatan produk hukum perundang-undangan.
Belum lagi pada wilayah sosio-yuridis, tidak efektifnya produk hukum perundang-undangan kita (sebaik apapun itu) saat di terjemahkan dalam laku para aparat negara.
Dalam kasus desa Wadas beberapa hari lalu, sangat jelas bahwa penghormatan terhadap martabat kemanusiaan warga desa Desa dilanggar oleh tindak kekerasan beberapa oknum aparat keamanan. Sila kemanusiaan dan keadilan sosial, "dilumat-lumat" dalam waktu bersamaan dalam peristiwa tersebut. Logika manajemen proyek dianggap lebih penting dibanding aspirasi kritis warga Desa, sehingga operasi "tangkap dan amankan", jauh dianggap lebih penting untuk segera dilakukan ketimbang musyawarah.
Ternyata tanpa disadari kita mengalami "pelupaan akan Pancasila". Di awal reformasi, Pancasila tak begitu sering diucapkan di ruang publik, mungkin karena sebagian besar di antara kita merasa trauma terhadap apa yang dilakukan Rezim Orba, di mana Pancasila yang luhur diperlakukan sekedar sebagai instrumen kekuasaan, Pancasila dijadikan sebagai alat mendisiplinkan oposan dan protes warga negara dengan ancang-ancang jalan pembangunan waktu itu.
Pelupaan yang diakibatkan trauma mungkin kita bisa pahami dan maklumi, namun ada satu jenis pelupaan yang mungkin lebih memalukan. Yakni pelupaan akan Pancasila, di tengah-tengah berlimpahnya pamflet online yang mengatakan "Saya Pancasila", pelupaan di saat gencarnya sosialisasi empat pilar.
Namun pelupaan jenis ini bukan sekedar pelupaan berupa absennya Pancasila sebagai wacana di ruang-ruang publik, tapi pelupaan yang berupa tindak khianat. Dan agak sulit kita menyangsikan tindak khianat, jika ada pejabat yang mendaku diri Pancasilais tapi ternyata menggarong dana Bansos, mendaku Pancasilais tetapi mengamputasi partisipasi publik dalam pembuatan UU (contohnya UU Cipta Kerja dan UU IKN), mendaku Pancasilais tapi lebih mementingkan hasrat oligark ketimbang rintihan rakyat miskin.
Makassar, 11 Februari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H