(Sedikit Catatan Diskusi Publik Pancasila di UNM)
Â
Oleh : Asratillah
Â
Kemarin siang (10 Februari 2022) tepatnya sekitar pukul 13.00 lewat 15 menit saya tiba di kompleks Kampus UNM Gunung Sari. Dan itu berarti saya telat 15 menit dari jadwal yang ditetapkan panitia pelaksanan diskusi publik.
Beberapa kali saya dihubungi panitia via chat WA dengan redaksi "di mana posisi sekarang kanda ?", yah saya jawab "sudah dekat dinda". Jalan macet, hujan cukup lebat dan sebagian poros Jalan. A.P Petarrani tertenang air.
Ternyata dua narasumber lain sudah menunggu di forum diskusi, beserta para peserta Sekolah Pancasila yang dilangsungkan oleh adik-adik Prodi Kewarganegaraan UNM. Sayapun mendapatkan kesempatan sebagai pembicara kedua dalam forum itu.
Dan di awal pemaparan, saya menegaskan bahwa salah satu tugas dari ruang akademik adalah "memproblematisasi", mempersoalkan hal-hal yang sudah dianggap pakem oleh kebanyakan orang, mulai dari agama, adat-istiadat, mitologi-mitologi, teori-teori yang dianggap benar begitu saja oleh komunitas ilmiah tertentu, dan tentunya Pancasila.
Pancasila berumur setua Republik kita. Jika diskursus tentang Pancasila kita bawa masuk ke dalam ruang kampus, berarti kita siap memproblematisasi Pancasila. Karena bagi saya Pancasila adalah sebuah produk politik sekaligus produk historis, agar bisa tetap relevan bagi gerak zaman dia mesti "dipersoalkan".
Mempersoalkan tidak selalu berasosiasi dengan "menolak", walaupun bisa berujung kepada penolakan. Mempersoalkan juga bisa berarti "mengayakan " (enrichment), sebelum kita bisa melakukan semacam "ijtihad segar" seputar pancasila, maka kita perlu membedah dan mengulik apa-apa saja yang menjadi hambatan dalam melakukan pengayaan terhadap Pancasila, dan aspek-aspek apa saja dari Pancasila yang berpeluan kita kayakan.
Dalam diskusi tersebut saya mengandaikan Pancasila sebagai text corpus yang memiliki dua wajah. Pancasila memiliki wajah sebagai "korpus tertutup" sekaligus berwajah "korpus terbuka".
Pancasila berwajah "korpus tertutup" artinya, teks Pancasila secara harfiah-verbatin sudah selesai, ke 5 sila yang ada sudah kita anggap final, begitupula soal versi teks Pancasila yang kita gunakan yakni yang diputuskan dalam sidang di tanggal 18 Agustus 1945 (tanpa mengurangi rasa kagum kita terhadap proses dialektik yang canggih dan bernas dari para anggota PPKI).
Mungkin begitu pula dengan posisi pancasila sebagai L'Esprit Constitution, sebagai jiwa alias "mata air nilai" dari konstitusi Republik Indonesia, tidak dipersoalkan lagi. Kita bersepakat bahwa dalam konstruksi hukum tatanegara kita, Pancasila menjadi asas pertama dan utama, disamping asas negara hukum, asas kedaulatan rakyat dan demokrasi, asas negara kesatuan dan asas cehck and balance.
Namun Pancasila sebagai "korpus terbuka", artinya Pancasila sebagai teks terbuka yang membuka diri bahkan mengundang semua warga negara untuk menginterpretasi dirinya. Lalu bagaimana jika interpretasi terhadap Pancasila itu sangat beragam ? lalu manakah di antara hasil interpretasi itu yang mesti kita gunakan ?.
Di sinilah peran universitas, yang menyediakan ruang pertemuan di antara person atau lembaga yang bertindak sebagai penafsir Pancasila, berdebat saling menyuguhkan argumentasi seputar tafsir dan pengayaan mereka akan Pancasila. Jadi yang kita cari bukan kebenaran objektif tentang pancasila, tetapi kebenaran intersubjektif, kebenaran yang merupakan hasil pergulatan pikiran di antara subjek penafsir dan berada dalam posisi setara.