Mohon tunggu...
ASRA TILLAH
ASRA TILLAH Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Faqih dan yang Tak Berhingga

21 Oktober 2021   23:24 Diperbarui: 22 Oktober 2021   00:06 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagi-lagi ini cerita tentang Faqih, anak saya yang berumur 4 tahun, dan sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengerutkan dahi. Di suatu malam di mana jam dinding menunjukkan pukul 01.00 dini hari, namun Faqih tak menunjukkan rasa kantuk di muka, jutsru yang terlihat adalah semacam antusiasme, mungkin karena dia sementara mempelajari beberapa keterampilan berhitung yang baru. 

Bukan hanya Faqih, tapi juga antusiasme yang sama terlihat pada anak saya yang lainnya setiap mendapatkan informasi-pengetahuan-keterampilan yang baru, dan mungkin ini sedikit banyaknya mengkonfirmasi yang dikatakan oleh Goethe (1749-1832) bahwa setiap "pengetahuan baru akan menambahkan organ baru bagi jiwa".  Setiap pengetahuan baru akan mengaktivasi potensi tertentu dalam diri sang anak, dan membuka cakrawala kemungkinan-kemungkinan diri yang lebih luas lagi.

Saya ingat betul malam itu, Faqih sambil berlari-lari depan  televisi mempertunjukkan kemampuan berhitungnya, tiba-tiba dia bertanya "pak...setelah ribuan puluh ribuan yah ?", "iya betul nak, dan setelah puluhan ribu maka yang ada ratusan ribu", sambung saya. "Setelah ratusan ribu apa yah ?" tanya Faqih kembali, "jutaan, setelah jutaan ada milyaran dan trilyunan", jawab saya sambil menuliskan deretan angka nol panjang di belakang angka 1 di atas selembar kertas. "sampai berapa panjang barisan angka nol yang bisa ada di belakang angka satu pak ?", tanya Faqih kembali. "yah sampai banyak sekali nak, yang jumlah pastinya kita tidak tahu", jawab saya dengan serius.

Saya sangka Faqih berhenti bertanya, dan saya pun dengan santai merebahkan punggung di sandaran sofa sambil menonton berita. Namun setelah jeda yang tak cukup lama Faqih kembali melontarkan pertanyaan "kalau enam nolnya disebut jutaan, kalau sembilan nolnya disebut milyaran, kalau 12 nolnya disebut trilyunan, kalau nolnya tidak bisa dihitung disebut apa pak ?". "Tidak terhingga namanya nak", jawab saya. Dan tanpa saya sangka-sangka Faqih kembali bertanya "apakah ada yang lebih besar dari tidak terhingga ?, apakah ada yang bisa hitung jumlah nolnya yang tidak terhingga itu ?". Tapi kakak Faqih yang bernama Echa tiba-tiba menjawab dari arah dapur "Tuhan barangkali yang lebih besar dari Tidak terhingga, dan dia yang ciptakan tidak terhingga". Ternyata Echa menyimak tanya jawab kami sedari tadi.

Bagi saya pribadi, ada beberapa hal menarik dari pertanyaan-pertanyaan Faqih tadi. Terutama, hal tersebut menunjukkan bahwa Faqih sudah mulai memperlihatkan minatnya akan aktivitas berpikir spekulatif. 

Angka-angka tidak lagi soal menghitung, angka-angka tidak hanya terkait dengan jumlah permen atau kerupuk yang dia baru beli dari warung tetangga, angka tidak hanya berhubungan dengan jumlah mobil-mobilan yang dia koleksi dalam kardus penyimpanannya. Faqih seakan-akan memisahkan antara benda-benda yang dihitung, dengan angka-angka yang dipakai berhitung. 

Faqih seakan-akan menganggap bahwa entitas angka-angka berdiri sendiri di luar benda-benda yang dihitung. Dan mungkin pada titik inilah angka-angka bukan lagi soal berhitung tetapi soal matematika.

Saya tidak tahu pasti bagaimana Faqih memandang angka, apakah bagi dia angka-angka itu mendahului eksistensi benda-benda yang dihitung atau sebaliknya? Namun bagi Plato, matematika jauh melampaui soal berhitung belaka, tetapi seperti yang disampaikannya dalam "Meno"  (385 SM) melalui kisah percakapannya dengan seorang budak laki-laki (yang tidak punya pengalaman tentang ilmu ukur sebelumnya) sehingga bisa paham tentang dalil-dalil dasar dalam hukum phytagoras. Bagi Plato matematika adalah sesuatu yang apriori bagi manusia, artinya pengetahuan atasnya tidak bergantung pada pengalaman indrawi manusia.

Dalam "Phaedo" (360 SM), Plato memberikan contoh sederhana, bagaimana matematika melampaui pengalaman indrawi. Saat kita memiliki dua tongkat yang sama dengan dimensi yang sama, maka jika kita melakukan pengukuran secara mendalam terhadap salah satu dimensinya (tingginya misalnya), maka kita akan menemukan perbedaan (sekecil apapun itu). 

Dalam kehidupan sehari-hari kita juga bisa menemukan hal yang serupa, saat Faqih membeli dua permen karet yang sama, maka kita akan menemukan bahwa jika kita mengamati dengan seksama maka kita akan menemukan detil yang berbeda dari dua permen karet tersebut. Jika kita konsisten menggunakan jalan berpikir dari Plato, mungkin kita akan tiba pada kesimpulan  yang agak aneh sekaligus mengagumkan, bahwa matematika adalah bagian dari dunia yang in-korporeal, yang ideal dan yang tidak lekang oleh ruang dan waktu.

Dan terkadang memang, yang matematis kita identikkan debagai sesuatu yang ideal atau yang semestinya. Dalam dunia teknik misalnya, jika kita ingin mengukur efektivitas dan efisiensi peralatan teknik, maka yang kita lakukan adalah membandingkan efektivitas dan efisiensi hasil observasi dan pengukuran di lapangan dengan efisiensi dan efektivitas secara teoritis. Yang dimaksud secara teoritis adalah, hasil perhitungan dengan menggunakan set formula matematika tertentu.

Bahkan anak ke dua saya yang duduk di kelas 3 SD sekarang, sering mengaitkan jumlah bilangan dengan keteraturan atau keberulangan pola sekait dengan waktu. Semisal pertanyaannya "mengapa dalam setahun mesti 365 hari ?, mengapa dalam sehari mesti 24 jam, dan dalam sebulan mesti 29 atau 30 hari ?", saya paling-paling akan menjawabnya "yah setiap planet punya hitungan hari, bulan dan tahun yang berbeda nak, tergantung ukuran dan jaraknya dari matahari". Namun pertanyaan sederhana Echa tadi berkaitan erat dengan konsep "harmonie" dari Phytagoras (570-495 SM), bahwa bentuk dan kerja semesta senantiasa mengikuti pola-pola bilangan tertentu, mirip dengan pola-pola bilangan nada yang membentuk musik. Yah seakan-akan pikiran manusia, bilangan, musik dan kinerja alam semesta bersama-sama berpartisipasi dalam konser "harmonie" yang sama.

Namun akan berbeda lagi jika kita menggunakan jalan pikiran realisme dalam memandang matematika, entitas dalam matematika bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri secara ontologis, dan bukanlah sesuatu yang apriori secara epistemologis. Sebagaimana Aristoteles (384-322 SM), Bold T (2004) menganggap bahwa matematika merupakan hasil dari kemampuan manusia dalam melakukan abstraksi. 

Jika menurut Plato, bilangan-bilangan pada pikiran Faqih adalah sesuatu yang mendahului pengalamnnya dalam menghitung benda, realisme justru menganggap bahwa bilangan-bilangan yang digandrungi Faqih adalah buah dari kemampuan abstraksi pikirannya. Yang mungkin apriori pada Faqih adalah kemampuannya dalam berhitung, tetapi sistem bilangan yang dia gunakan merupakan hasil interaksi Faqih dengan benda-benda disekitarnya dan kebudayaan setempat.

Poldnies, K (1992), menjelaskan dengan cukup bagus, bahwa angka-angka atau matematika secara umum, berawal dari koleksi benda-benda yang sederhana. Namun lama kelamaan terjadi semacam idealisasi hubungan kuantitas antar benda-benda yang bisa dihitung. Saat masyarakat masih sederhana, dimana jumlah komunitas, profesi, hewan peliharaan, penyakit, barang, senjata belum begitu besar, maka operasi perhitungan sederhana sudah cukup. 

Tapi seiring semakin kompleksnya masyarakat, kebutuhan untuk menghitung stok dan distribusi pangan  dengan tepat nan efisien, pembuatan gedung tinggi dengan simetri, merancang saluran irigasi dengan tepat, semakin menuntut manusia melakukan operasi perhitungan matematis yang semakin rumit. Bak bilangan biner pada teknologi komputasi yang awalnya sangat sederhana, tapi semakin lama semakin menyerupai kecerdasan manusia dan semakin terlihat otonom dari pengalaman dan kehendak manusia yang membuatnya, mungkin begitu pula matematika yang semakin lama terlihat makin mandiri secara ontologis.

Lalu terbesrsit serangkaian tanya dalam pikiran saya, Jika Faqih lahir dalam sebuah masyarakat yang lebih primitif, di awal-awal spesies Homo Sapiens pertama kali menjelajahi bumi, apakah kira-kira Faqih akan mempertanyakan perihal bilangan seperti yang saya utarakan diawal ?, apakah yang tak berhingga bisa dia pahami ? kalaupun dia bisa pahami, bisa saja dia memahaminya dengan cara yang lebih kualitatif tanpa dimediasi oleh bilangan-bilangan. Atau katakanlah Faqih lahir sebelum angka "0" (nol) ditemukan, kira-kira bagaimana Faqih akan memahami jutaan, milyaran, trilyunan dan ketakberhinggaan ?.

Yah, akhirnya di sini saya tidak dalam rangka menjadi hakim penentu, mana yang lebih tepat dalam memandang matematika, apakah idealisme atau realisme. 

Esai ini hanyalah ekspresi ketakjuban saya terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis nan tidak terduga dari seorang anak kecil. Yah....kita mesti banyak belajar dari keingintahuan anak-anak kecil, yang menjelajah benda-benda dan pikirannya dengan begitu bersemangat nan heroik.

 Mungkin saya sebagai orang tua, cukup menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pengembaraan pikirannya, dan sebisa mungkin menjadi partnert sparing dalam setiap pertanyaan-pertanyaannya, dan sebisa mungkin tidak menjawabnya dengan ungkapan "yah memang sudah begitu nak" atau "itu sudah kehendak Tuhan". Sebagaimana penguasa culas sering menjawab pertanyaan protes rakyatnya dengan redaksi "yah ini semua untuk kepentingan bangsa dan negara" atau "yah beginilah hukum kita bekerja".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun