Mohon tunggu...
ASRA TILLAH
ASRA TILLAH Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Disrupsi: Dari Model Bisnis ke Model Relasi

26 September 2021   04:23 Diperbarui: 26 September 2021   06:58 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di jasa transportasi misalnya, perusahaan-perusahaan seperti Gojek, Grab, Maxim awalnya menyasar kalangan pendepatan menengah ke bawah, menyasar para ibu-ibu yang ingin ke pasar tradisional, menyasar anak-anak kuliahan yang ingin ke kampus. 

Berbeda dengan perusahaan taksi konvensional, yang memang menyasar para manajer, kaum eksekutif, orang gedongan dan sebagainya. Penyedia jasa transportasi online dalam iklan-iklannya mengasosiasikan diri dengan "orang-orang biasa", sedangkan perusahaan-persuahaan taksi memang mencitrakan diri melayani kelas ekonomi menengah ke atas.

Tapi kajian tentang disrupsi tidak hanya sekaitan bisnis saja, tapi juga merembes ke bidang-bidang lain semisal komunikasi. Bahkan Christensen seringkali mengasosiasikan antara disrupsi dengan perkembangan komunikasi digital. Tapi Paul Paetz berpendapat, perkembangan komunikasi digital justru menjadi faktor pendorong bagi lahirnya disrupsi. 

Banyak kajian tentang disrupsi sekaitan dengan ini, semisal yang berkaitan dengan e-commerce, lalu kehadiran media online yang awalnya berupaya menyuguhkan informasi ke khalayak dengan cara murah dan mudah, belum lagi disrupsi dalam hal komunikasi marketing yang juga banyak digunakan dalam bidang politik.

Tapi kita juga perlu mempertimbangkan gagasan dari Francis Fukuyama yang dia tuangkan dalam buku "The Great Disruption ; Human Nature and the Reconstitution of Social Order". 

 Francis Fukuyama seakan-akan ingin mengatakan bahwa disrupsi (terutama dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan), merupakan sesuatu yang ambivalen. Disatu s, danisi disrupsi mengintrupsi beberapa bentuk kemapanan lama, membuka keran kebebasan, memungkinkan kesetaraan dalam kehidupan bernegara, mendorong terjadinya demokratisasi, mendorong perkembangan sains dan teknologi serta meningkatkan sensitifitas warga dunia akan isu-isu HAM dan ekologi.

Tapi disi lain disrupsi juga mengakibatkan kekacauan (disorder). Kriminalitas bukannya berkurang tetapi semakin bertambah baik dalam jumlah maupun bentuk terutama di daerah perkotaan, bahkan lahir bentuk tindak kriminal yang hanya dimungkinkan oleh adanya perkembangan komunikasi digital yang biasa disebut dengan istilah "cybercrime" (termasuk juga sebenarnya di sini beberapa gejala Post-Truth yang biasa kita kenal dengan hoax, fakenews, hatespeech dan sebagainya). 

Beberapa institusi sosial yang menjadi penyedia jejaring pengaman nilai runtuh satu per satu, keluarga tidak lagi menjadi oase, konsep keluarga tradisional seakan-akan ditantang, orang tua tidak lagi menjadi satu-satunya otoritas simbolik awal pada anak-anak, kini ada berbagai rupa media sosial yang juga menjadi semacam patron nilai dan gaya hidup anak-anak. Kualitas pendidikan tak kunjung membaik, bahkan tak jarang pendidikan hanya menjadi semacam lembaga yang mengkonpensasi ketidakefektifan keluarga dalam mendidik anak-anak, perceraian semakin tinggi, dan sebagainya.

Lalu bagaimana dengan Pandemi Covid ? menurut saya dan menurut sebagian adik-adik yang menjadi peserta diskusi malam itu, menganggap pandemi juga adalah sebuah disrupsi. Mungkin saja disrupsi menunjukkan bahwa sejarah tidak berjalan secara linear tetapi dialektis, maksudnya jalannya sejarah tak selalu mudah untuk ditebak. 

Saat modernitas mulai menyingsing, manusia begitu optimis dengan nasibnya, dan ini bisa kita lihat dari gagasan-gagasan seperti Turgot, Condorcet, Comte dan lain-lain di awal abad 18 dan 19. Perang dunia I dan II, sempat menyadarkan kita bahwa optimisme akan kemajuan nasib manusia, tak bisa lepas sepenunhnya dari ke-serigala-an manusia yang siap "mengigit" sesamanya. Awalnya kita mengigit dengan tangan, batu, panah, pedang dan tombak. Tapi lama kelamaan kita mengigit dengan senapan mesin, hulu ledak nuklir, pesawat jet, senjata biologis hingga jeratan utang.

Kalau dalam buku Christensen yang terkejut adalah para petahana bisnis, dalam situasi pandemi yang menjadi petahana bisa jadi kita sebagai spesies, sebagai satu kesatuan umat manusia. Selama ini kita berinovasi yah hanya untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi kita, mempertahankan pendapat domestic bruto kita dan semacamnya. Kita tidak berinovasi dalam rangka mengubah "model relasi" kita dengan alam, habitat spesies lain kita habisi digantikan dengan bangunan beton, hutan dibabat, laut dan sungai dicemari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun