Mohon tunggu...
ASRA TILLAH
ASRA TILLAH Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Saya adalah Koordinator Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah SulSel. dan direktur lembaga riset Profetik Institute

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Arkeologi Nilai Dan Kuasa Dalam Pemikiran Arab-Islam (Membaca Kembali Pemikiran Adonis)

11 September 2012   23:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:36 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

…..pemimpin (Khalifah/amir/sultan) dibiarkan untuk menjadi segala-galanya dan melakukan segalasesuatu

………mengeksploitasi apa saja yang dapat diberikan kepada mereka oleh kewajiban-

Kewajiban kifayah” Adonis

Dalam pemikiran Arab-Islam , ada yang disebut dengan gerakan ta’shil al-ushul yaitu sebuah usaha untuk mendasarkan segala sesuatu pada yang ashal- ashal adalah sebuah konsep yang menggambarkan sesuatu yang merupakan sumber, awal serta akhir dari kebenaran.Gerakan ini dipelopori oleh imam As-Syafi’I dan ulama-ulama lainnya, aksioma dari gerakan ini seperti yang dikatakan oleh Abu Musa Al-Asyari “ yang benar sudah ada sejak lama…..kenalilah hal-hal yang mirip dan sejenis…”. Perkataan Abu Musa Al-Asyari tersebut memiliki dua konsekuensi logis ,Pertama, bahwa norma terhadap masa kini terdapat di masa lalu. Ini merupakan pandangan keagamaan yang involutif, setiap insan dapat diandaikan pihak-pihak yang telah terbuang dari taman surga/ The Real, dan jalan satu-satu nya untuk membayar involusi tersebut yaitu dengan cara mengoyak-ngoyak kekinian agar bisa menatap masa lalu. Jika kita meminjam ungkapan filsafat Aristotelian, maka masa lalu dalam hal ini yang ashal , merupakanprima premis, artinya yang ashal merupakan premis yang jika kita melakukan deduksi secara shaleh darinya maka beberapa peristiwa aktual pada kekinian dapat dijelaskan dan diantisipasi. Atau jika meminjam ungkapan dalam filsafat plato, yang ashal merupakan realitas archae, atau realitas sejati, momen kekinian adalah untuk mengingat kembali realitas archae tersebut, karena norma-norma yang kita terapkan untuk kekinian bisa jadi merupakan bentuk tidak sempurna dari norma archae. Yang menjadi soal dalam konsekuensi pertama ini adalah, karena yang dianggap sebagai norma archae dari masa lalu adalah teks wahyu, yang seperti sudah saya jelaskan pada beberapa tulisan sebelumnya, tidak lepas dari kekinian-kekinian atau keniscayaan sejarah, yang ada pada saat teks terbentuk. Kemudian masa lalu yang merupakan tempat berasalnya norma archae, tidak diperlakukan selayaknya sebagai masa lalu. Saat masa lalu dijadikan sebagai yang ashal, prima premis, ataupun realitas archae, maka masa lalu itu dilupakan sebagai masa lalu, atau masa lalu itu dianggap tidak memiliki masa lalu, sebab yang memiliki masa lalu hanyalah yang bergelut dengan aliran sejarah yang merupakan aliran penciptaan dan kemusnahan, yang ashal adalah logos yang selau menjadi kekinian,bukan sebagai kekinian yang imanen, tetapi kekinian yang transenedental, kekinian yang tidak layak disebut sebagai kekinian, sebab kekinian yang abadi berarti berada di luar sejarah, sedangkan yang kita sebut dengan kekinian merupakan salah satu penggalan dan hasil dari pergulatan, lompatan-lompatan atau dialektika dari sejarah.

Konsekuensi Kedua, dari perkataan Abu Musa Al-Asyari di atas adalah, bahwa relasi antara masa lalu dan masa kini, merupakan hubungan antara yang ashal dan yang cabang (furu’). Yang ashal merupakan sesuatu yang jauh lebih mulia daripada cabang, makanya dalam sejarah perkembangan khazanah pemikiran Islam, terutama yang masuk dalam kategori bayani- yaitu kategori keilmuan yang menjadikan teks agama sebagai landasan epistemologis primer dan akal sebagai landasan epistemologis sekunder- perbedaan dalam hal yang furu’ , bisa ditolerir sedangkan perbedaan yang pokok (ushul), tidak bisa ditolerir. Tetapi dalam sejarah Peradaban Arab-Islam, penentuan dan penetapanushul yang sakral serta transenden, biasanya salah satu determinannya adalah sesuatu yang sangat profan dan imanen, dalam hal ini politik kekuasaan, ini bisa kita baca dalam peristiwa inkuisisi dan perang antara sunni dan syi’ah serta antara Asyariah dan Mu’tazili, belum lagi dalam fenomena Islam modern antara kaum puritan revivalis dengan penganut Islam adat atau sektarian. Kemudian konsekuensi kedua ini akan membawa kita pada konsekuensi lebih lanjut dalam lapangan pengetahuan, jika yang ashal ekspresinya adalah agama, maka cabang-cabang pengetahuan lain terutama dalam sains alam harus sejalan, tidak bertentangan atau bahkan membuktikan bunyi harfiah teks-teks agama. Ini bisa kita lihat dari eksploitasi teori kosmologi modern, untuk memaksakan bahwa hipotesis big-bang – yang sampai saat ini masih compang-camping disana-sini, bahkan salah satu juru bicara kontemporernya yaitu Stephen Hawking mengatakan bahwa tidak serta merta hipotesis Big-bang membuktikan tentang ke-awalan waktu, bahkan, teori big-bang sampai detik ini belum bisa membuktikan melalui observasi beberapa variabel pentingnya, semacam “materi gelap”, kerapatan minimal atom per meter kubik dll- bisa dijadikan bukti empirik atau bukti harfiah dari pernyataan harfiah mengenai penciptaan dalam teks-teks keagamaan. Dan harus kita ketahui bahwa kecenderungan tersebut bukan hanya terdapat dalam peradaban Arab-Islam tetapi juga terdapat dalam perkembangan teologi Katolik, mengingat bahwa yang pertama kali mengeluarkan hipotesis Big-bang tersebut adalah George Lamaitre yang kebetulan merupakan seorang uskup. Padahal Thomas Aquinas jauh sebelumnya mengatakan bahwa fenomena alam tidak berbicara banyak kepada kita mengenai Esensi Tuhan.

Dalam pemikiran Arab-Islam ortodoks, kita bisa mengendus adanya hirarki nilai, dimana agama sekali lagi dianggap sebagai otoritas nilai dan norma yang paling sakti. Norma atau rumusan nilai yang berasal dari olah pikir dianggap sebagai sesuatu yang sekunder, dianggap bernilai jika tidak bertentangan dengan nilai atau norma yang ditetapkan oleh agama, dan dianggap batal jika bertentangan. Kemudian seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnyabahwa penarikan norma dalam agama bersifat deduktif, sedangkan nilai atau norma yang ditarik dari hasil konsensus, diskusi dan perdebatan rasional adalah nilai atau norma yang tidak bernilai. Musyawarah hanya diperuntukkan untuk membincang pilihan teknis apa yang paling tepat untuk merealisasikan hasil deduksi nilai tersebut, walaupun dalam ushul fiqh ada yang disebut sebagai prinsip masalih mursalah- yaitu prinsip yang mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat umum, tetapi dalam sebagian besar konstruksi ushul fiqh prinsip tersebut diletakkan pada urutan ke-sekian, lagi pula prinsip tersebut tidak mempersyarakatkankeharusan adanya nalar publik, untuk menentukan hal-hal apa saja yang bisa membawa maslahat bagi orang banyak dan mana yang membawa mudharat, bahkan nalar yang bekerja adalah nalar kuasa, sebab yang menetapkan adalah para fuqaha dilingkar penguasa.

Jika kita menggunakan jalan pikiran Marx, maka hirarki nilai sebagai superstructure di atas mempunyai paralelitas yang dialektis dgn base structure, yaitu relasi sosial dan kuasa yang menyertainya, sebab kekuasaan yang tercermin dalam relasi sosial, membutuhkan legitimasi dari hirarki nilai agar kekuasaan tersebut otoritatif. Jika dalam ranah pemikiran terdapat hirarki nilai, maka dalam ruang sosial terdapat hirarki kekuasaan. Relasi antara ashal dengan cabang-cabangnya diterjemahkan secara politis menjadi hubungan antara imam dan ummah. Kita bisa menganalogkan antara ummah sebagai warga negara dan sebagian besar ulama syari’at mendefinisikan warga negara sebagai mukallaf , yang artinya yang dibebankan. Ini mirip dengan pandangan keagamaan bahwa relasi antara Tuhan dan manusia dicirikan dengan kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan manusia. Jadi relasi antara yang dipimpin dengan yang memimpin tidak berangkat dari konsep hak, tetapi berangkat dari konsep kewajiban. Relasi politik kekuasaan seperti ini adalah politik yang membunuh yang politis dengan kata lain politik kekuasaan yang non-politis.

Sehubungan mengenai yang politis dan non-politis barangkali sangat menarik kita menengok sejenak pemikiran, salah seorang filsuf Jerman yaitu Hannah Arendt. Ide Hannah Arendt berasal dari hasil sulingan pemikiran politik Aristoteles, dimana dalam Politik Aristoteles melakukan pembedaan antara oikos (rumah tangga) dan polis (negara kota). Tetapi Hannah Arendt tidak menjiplak begitu saja pemikiran Aristoteles, lebih dari sekedar kehidupan keluarga konkret oikos dipahaminya sebagai modus sosialisasi pra-politis suatu masyarakat, termasuk ikatan-ikatan etnosentris, hubungan-hubungan prduksi ala Marx dan juga intimitas antara diktator dan massanya. Hannah Arendt mengatakan “apa yang kita mengerti sebagai menguasai dan dikuasai, sebagai kuasa dan negara dan pemerintah, singkatnya semua konsep kita tentang tatanan politis, dapat dipandang sebagai prapolitis, semua itu memiliki wewenangnya tidak dalam ruang publik, melainkan dalam ruang privat dan bersifat apolitis – tidak termasuk dalam polis”, sehingga singkat kata, secara kasar kita bisa menyamakan antara oikos dengan penguasaan, atau lebih jauh lagi menyamakan antara oikos dengan Herrschaft (Dominasi).

Dalam fiqh Islam kewajiban dapat dibagi menjadi dua yaitu : pertama, yaitu, kewajiban yang sifatnya individual/ fardhu ‘ain yang bersangkut dengan relasi antara Tuhan dan manusia (Habluminallah). Kedua, yaitu kewajiban yang sifatnya kolektif/ fardhu kifayah yang bersangkut paut dengan urusan publik- walaupun yang ada sebenarnya adalah pseudo publik, sebab menurut saya publik membutuhkan ruang publik, ruang dimana semua unsur dalam publik memiliki hak yang sama dalam memperhatikan, menalar, mengkritik dan memberi kontribusi terhadap persoalan-persoalan publik”. Klasifikasi tersebut memperlihatkan bahwa bagi warga negara (mukallaf) memikul tanggung jawab politik adalah sesuatu yang bersifat sekunder dibandingkan dengan kewajiban keagamaannya. Hal ini mengakibatkan lahirnya massa yang terdepolitisasi, yaitu massa yang cenderung antipati terhadap urusan politik dan cenderung benci dan menghindari urusan politik. Sehingga politik dan publik pada dasarnya mengalami kematian, sebab politik yang hidup dalam sebuah “polis” adalah ‘kerajaan kebebasan” seperti kata Arendt, kebebasan dalam artian ke-ikutserta-an aktif dan kreatif dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama.

Yang ingin dibangun oleh Pemikiran Arab-Islam ortodoks adalah tatanan oikos, sebuah keluarga besar yang diikat oleh tatanan Simbolik yang dinamakan “Agama”. Di mana seorang Bapak yang seringkali bersifat despotis mengatur segalanya, bahkan jika terjadi sengketa atau perbedaan dalam hal Ijtihad di antara para mujahid, maka yang menentukan keputusan ijtihad yang mana yang akan di istinbath oleh negara adalah sang Bapak/khalifah/pemimpin negara. Walaupun gerakan Islam neo Revivalis menggunakan slogan indah “Allah sebagai Tasyri’ yang berhak menentukan aturan/ perundang-undangan” tetapi persoalan riil yang bergerak, berkembang dan senantiasa berubah terkadang tidak disebutkan secara tegas oleh dua teks suci dalam hal ini al-Qur’an dan As-Sunnah, dan disinilah peran manusia untuk mengolah dan menalarnya dengan menggunakan prinsip-psinsip Ushul Fiqh dan Fiqh, dan disinilah momen dimana “aturan/perundang-undangan tidak sekedar milik Allah lagi tetapi juga milik Nalar manusia”, lalu yang mengeksekusi perbedaan selanjutnya adalah kepala/pemimpin negara/khalifah. Sehingga jika kita kembali meminjam konsep dalam Psikoanalisis Lacanian yang terjadi adalah Yang Simbolik itu bergeser dari Tuhan ke khalifah, atau yang lebih parah Tuhan dan teks suci hanyalah penanda-penanda yang dipergunakan oleh khalifah untuk memperteguh dan melegitimasi kepentingan politik. Khalifah menggeser peran Tuhan sebagai Real Tasyri’. Khalifah adalah ayah yang meminjam citra ke-bapa-an Tuhan , dan warga negara adalah anggota keluarga. Pemimpin/khalifah dibiarkan menjadi segala-galanya dan melakukan segala sesuatu, mengeksploitasi segala yang status hukumnya “fardhu kifayah”, hal ini menjadikan warga negara berada pada posisi kedua. Salah satu kewajiban kifayah yang dibebankan para ulama kepada imam adalah menjaga dasar-dasar agama, dan di sinilah terbuka pintu di mana urusan agama menjadi urusan kekuasaan. Disini terjadi pergerakan dua arah yang sifatnya destruktif, pertama , intervensi kekuasaan terhadap yang privat, dimana urusan agama menjadi sesuatu yang dikontrol dan divariabelisasi oleh kekuasaan. Kedua, kolonisasi yang publik oleh yang privat.

Khilafah/ Negara Islam merupakan antinomi dari polis. Polis merupakan “conditions of Possibility” dari tindakan politis yakni berbicara serta bertindak dalam ke-saling-an dan ke-bersama-an. Polis merupakan ruang publik dimana warga Negara dengan bebas melakukan perbuatan-perbuatan besar, bukan sekedar untuk aktualisasi atau untuk memperoleh pengakuan secara publik, tetapi yang lebih terpenting adalah untuk terlibat secara kritis dan kreatif dalam pengambilan keputusan-keputusan besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun