Mohon tunggu...
Asran Salam
Asran Salam Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Perempuan ke Tuhan

16 Desember 2015   14:36 Diperbarui: 16 Desember 2015   14:36 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Syiraz di Iran adalah kota yang indah. Syiraz adalah kota yang sepertinya tidak pernah sepi dengan riuh ekstasisme ketuhanan. Konon, di sana banyak makam penyair sekaligus sufi. Barangkali, inilah membuat kota ini luput dari penyerangan bangsa Mongol dan Tartar pada periode sejarah yang keras dan rusuh. Tapi yang pasti di sana pula pernah hidup Sa’di dan Muhammad Aththar. Namun, Kali ini, kita tidak akan membicarakan Sa’di dan Muhammad Aththar. Tapi, kita akan bertabarruk kepada seorang penyair sekaligus sufi yang juga lahir dari kota syiraz ini. Dengan sedikit mengurai jalan hidupnya. Dan, mungkin dengan itu, kita dapat menemukan inspirasi jalan yang terang. Dan, di sana kita berupaya menempu jalan itu, demikian harapnya.

 Hafizh, nama sang penyair dan sufi itu. Syamsuddin Muhammad adalah nama aslinya. Dia memilih nama Hafizh yang berarti pengingat, ketika dia mulai menulis puisi. Biasanya, julukan Hafizh diberikan kepada orang yang hafal al-Quran. Dan, konon Hafizh memang demikian—dia menghafal al-Quran. Sekitar 1320, merupakan tahun kelahirnya. Dan, meninggal 1388, demikianlah yang tercatat. Hidup Hafizh, sungguh tak mudah dan menyenangkan. Dia anak bungsu dari keluarga yang miskin. Hafizh muda, bekerja sebagai penjual roti disiang hari dan bersekolah dimalam hari. Hafizh menyisihkan sebagian gajinya untuk biaya sekolahnya. Dari sekolahnya itu, Hafizh sangat menguasai hukum al-Quran, teologi, tatabahasa, matematika, dan astronomi serta kaligrafi.

 Lalu, dimanakah Hafizh menemukan efifani pengembaraan suluknya? Dimakanah ia pertama kali menemukan titik awal yang mengantarkannya menemukan jalan cinta—jalan menuju Tuhan? Dalam buku Hafizh: Aku Mendengar Tuhan Tertawa karya Daniel Ladinsky disitu kita bisa menemukan kisahnya. Dan, kali ini saya akan menukilnya, tentu tak semuanya, tak seutuhnya. Kira-kira seperti ini kisahnya; Hafizh pada usia 21 tahun. Kala itu, ia sedang mengantarkan roti ke sebuah rumah besar. Di sana ia berpasang mata atau tatap pandang dengan seorang gadis diteras rumah itu. Tatap mata itu ternyata menawan hatinya, dan akhirnya dia jatuh cinta kepada sang gadis. Namun, sepertinya ada keadaan yang tak memberikan harapan. Sang gadis itu cantik, serta dari keluarga bangsawan. Sedang Hafizh pendek dan secara fisik tidak menarik.

Hitungan bulan berlalu, Hafizh berlahan menjadi pujangga. Dia hanya memikirkan sang gadis. Dia hanya ingin menyenangkan hati sang pujaan. Dia menggubah beberapa puisi dan kidung-kidung cinta untuk merayakan kecantikan sang pujaan. Gubahan itu dilakukan untuk menyatakan rindunya kepada sang gadis. Kala itu, orang-orang mendengar puisinya, serta dijadikan lagu. Puisi-puisisnya menjadi terkenal seantero Syiraz. Hafizh menjadi pujangga yang terkenal. Karena hasrat yang menggebu untuk memenangkan hati sang gadis, dia melakukan kedispilinan spiritual dengan keras.

 Hafizh mulai berakhalwat di sebuah makam wali sepanjang malam. Di siang hari pergi menjual roti dan malam hari kembali ke makam wali itu. Itu dilakukannya selama 40 hari. Karena cintanya kepada sang pujaan begitu kuat dia menyelesaikan khalwatnya. Sebab kegigihanya, pada fajar tepatnya di hari ke-40, sesosok malaikat menampakkan diri di depan Hafizh. Sang malaikat meminta Hafizh untuk mengucapkan keinginananya. Belum sempat menyampaikan keinginannya, Hafizh terperanga menatap wujud sang malaikat yang begitu indah. Lalu, ia berpikir, “ jika utusan Tuhan begitu indah, pastilah Tuhan jauh lebih indah”.

 Sambil menatap wujud sang malaikat Tuhan yang tak terbayangkan itu, membuat Hafizh akhirnya lupa kepada sang gadis pujaan. Dia tak lagi punya ingin kepada sang pujaan. Dia berkata kepada malaikat, “Aku menginginkan Tuhan”. Sang malaikat; Jibril, kemudian mengarahkan Hafizh untuk melayani sang guru dengan segala cara. Dengan itu kenginginanya untuk bertemu Tuhan akan terkabul. Hafizh bergegas menemui sang guru. Dan, di sang gurulah Hafizh memperdalam suluknya. Muhammad Aththar, nama gurunya. Ia tidak banyak dikenal sebagai guru spiritual karena hidupnya seperti manusia kebanyakan. Hanya lingkungan murid yang sedikit mengenalnya.

 Di sang guru itulah, Hafizh bertahun-bertahun menghabiskan waktu. Ada ceritra di antara mereka perihal begitu pentingnya mengabdi kepada sang guru. Suatu hari, Hafizh genap berusia 60 tahun. Dia menghadap kepada gurunya yang sudah renta. Lalu, Hafizh berkata, “Pandanglah aku! Aku sudah tua, apa yang telah kudapatkan telah menjadi muridmu yang setia selama bertahun-tahun. Kemudian sang guru menjawab dengan tenang, “bersabarlah suatu hari nanti kamu akan mengetahuinya”. Karena deman spiritual yang tinggi, akhirnya Hafizh memutuskan untuk berkhalwat selama 40 hari lagi, tanpa meninggalkan tempat tinggalnya untuk makan, minum maupun untuk beristirahat.

 Dalam khalwatnya, Malaikat kembali menampakkan diri dan meminta kepada Hafizh untuk menyampaikan keinginannya. Dalam khalwatnya itu, semua keinginannya telah sirna. Lalu, dia menjawab kepada sang Malaikat, satu-satunya keinginannya adalah melayani gurunya. Dan, tepat saat fajar menyingsing, Hafizh keluar menemui gurunya. Setelah bertemu, mereka berpelukan lalu sang guru memberikan cawan khusus yang berisi anggur. Ketika mereka minum bersama hingga mabuk. Dan, dalam kemabuan itu, tersingkaplah kalbunya. Hafizh tenggelam dalam cinta dan “menyatu” dengan Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun