Heboh curhatan "Mpok Alpa." Mengeluh gak diajak jalan-jalan suami, padahal sudah dandan. Mungkin iseng atau bercanda, tapi kenapa curhatan yang seolah sepele ini jadi viral, ya? Apakah ini fenomena umum yang mewakili suara hati para istri? Entahlah! Kita jadikan cermin saja. Bagi kaum wanita, jadi ibu rumah tangga itu memang profesi yang melelahkan.
Sama dengan profesi lainnya, ada titik jenuh. Kalau mengerjakan rutinitas setiap detik, setiap hari, sepanjang tahun, sepanjang usia, pasti ada saatnya butuh penyegaran. Itu sebabnya salah satu fungsi keluarga adalah fungsi rekreatif. Keluarga adalah tempat liburan yang menyenangkan. Entah menciptakan suasana rekreasi di rumah, atau jalan-jalan bersama. So, wajar yang kurang piknik mengeluh. Tapi, apakah wajar jika curhatnya di media sosial?
Ini yang sempat saya sentil dalam obrolan saya dengan teman-teman Komunitas Belajar Nulis belum lama ini. Tampaknya, sumber permasalahan rumah tangga yang paling utama adalah komunikasi.Â
Saking buntunya, maka komunikasi pun diledakkan di media sosial. Kenapa buntu? Ya, karena suami-istri itu konon ternyata sulit sekali saling bicara dari hati ke hati. Benar nggak sih, Mpok?
Istri berpikir, ah, suami pasti tahu maunya saya apa. Masak gitu aja nggak ngerti. Nggak sensitif banget, sih! Sebaliknya, suami juga berpikir demikian. istri pasti tahu maunya apa. Jadilah tidak saling bicara keinginan masing-masing. Merasa paling pasangan sudah tahu. Padahal kan nggak. Lah, emang paranormal bisa menebak isi pikiran pasangan?
Akhirnya, ketika apa yang diinginkan tidak disampaikan, masing-masing jadi merasa kurang diperhatikan. Kecewa berat. Lah, ngomong minta diajak jalan-jalan kagak, kok tiba-tiba kecewa nggak diajak jalan-jalan.
Ngomong, dong! Suami mana paham kalau dandan menor itu kode keras minta diajak jalan (lagian gak boleh tabaruj, Mak. Dandan mah buat suami di rumah).Â
Walhasil ketika kecewa, emak-emak curhat di media sosial. Padahal, --kalau tidak LDR-- bukankah suami ada di sebelahnya? Tinggal colek dan bilang yang dimaui.Â
Beres. Sebab, sumber masalah istri, adalah suami. Sebaliknya, sumber masalah yang dihadapi suami, ya istrinya sendiri. Jadi, kalau mau solusi, ya, bicaralah pada si sumber masalah.Â
Asal tahu ya, istri itu, masalah terbesarnya adalah nafkah lahir. Biasanya bersumber dari ketidaklonggaran uang belanja. "Kebutuhan" istri itu ibaratnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pengeluaran istri itu sangat banyak dan detil. Belanja untuk urusan perut seluruh anggota keluarga, aksesori rumah, hingga penunjang penampilan diri dan anak-anaknya. Termasuk uang piknik.
Makanya, istri cenderung sensitif masalah uang. Kalau istri marah-marah, kurang ramah, pasti karena menipisnya isi kantong daster. Didiemin, eh, kok nggak sensitif nih suami.
Mencoba bicara, eh, jawabannya tak sesuai ekpekstasi. Contohnya, "Bang, uang belanja habis, nih."
Ekspektasi istri, "Oh, gitu, Neng. Doakan hari ini Abang dapat rezeki ya, ntar buat Neng semua."
Sujud syukur deh, istri. Atau membayangkan solusi lembut, "Oh, gitu Neng. Ini Abang ada dikit, tadinya mau buat beli bensin, buat Neng aja dulu." Wow! Membuncah nggak, Mpok?
Faktanya, jawaban suami malah bikin nelangsa. "Boros amat sih, Neng! Dikasih duit habis melulu." (Nangis di pojokan gigit panci!)
Jadi, buat para suami, perlonggarlah nafkah istri. Nafkah batinnya. Bukankah sebaik-baik suami adalah yang terbesar memberi nafkah? #ngarang
Sementara itu, masalah terbesar suami adalah nafkah batin. Biasanya bersumber dari tidak tersalurkannya urusan ranjang (#ups). Suami cenderung kurang komunikatif juga. Nggak bisa romantis. Nggak bisa ngegombal. Malu mau merayu. Kalau sudah gitu, istri mana tahu kalau situ lagi mau?
Jadinya suami juga diam. Apalagi melihat istri kecapekan, segan mau minta. Seharian ngurusi panci-panci, plus krucil-krucil, kok rasanya egois sekali malam masih dikerjain. Kasihan. Padahal besoknya, suami uring-uringan. Akhirnya, dimintai uang belanja juga ogah-ogahan. Lah, nggak ngomong minta nafkah batin, kok, uang belanja yang disandera. Tolong!
Hihi...kayaknya ada benernya juga nih, seloroh seorang pejabat dalam sebuah obrolan (laki-laki pastinya dan bukan suami saya hehe..). Katanya, kebutuhan suami itu hakikatnya hanya ada dua.Â
Perut dan di bawah perut (#ups). Jadi para isteri, kalau ingin membahagiakan suami, penuhi dua kebutuhan itu sudah cukup. Itu mengapa dalam Islam, istri harus taat pada suami. Terutama dalam melayani nafkah batin. Terjaga deh suami dari godaan pelakor yang terkutuk #eh.Â
Akhirnya, semoga masalah komunikasi suami-istri ini jadi bahan introspeksi (buat saya pribadi, pastinya). Jangan sampai jadi bom waktu yang meledak sewaktu-waktu.
Ini baru meledak di media sosial. Kalau tidak diatasi, bisa sampai depresi, divorce, dan bunuh diri. Kasus ibu bunuh diri bersama tiga anaknya yang mengiris hati itu, rasanya juga ada kaitannya dengan kurangnya komunikasi dengan sang suami. Beban dipikul sendiri. Mendem. Ah, mudah-mudahan tak terjadi lagi.
.
Jadi, sekali lagi, sumber masalah sekaligus sumber kabahagiaan suami-istri itu, terletak di masing-masing pasangan. Ya, udah sih, nggak perlu diledakkan di media sosial. Tinggal colek saja si dia. Istri ngomong ke suami, suami ngomong ke istri. Maunya apa. Mau diajak jalan-jalan? Yuklah, berangkat!(*)
#ngalorngidul #bukanngalorngidul
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H