Jika tujuannya untuk mengatur kelahiran dalam rangka mencapai keluarga yang maslahah, maka pasangan suami istri harus berfikir bersama-sama. Oleh karena itu keduanya harus sama-sama memahami alat kontrasepsi. Jika dirasa alat kontrasepsi tidak ada yang aman, maka mereka juga harus berfikir bagaimana solusinya. Jadi suami istri harus saling bertanggungjawab untuk mengatur kelahiran. Bagaimana jika suami yang enggan demikian karena pengaruh budaya di masyarakat selama ini? Inilah tugasnya para wanita untuk melakukan dialog yang baik dengan pasangannya. Sebagaiamana hukum kehidupan, dialog yang dilakukan dengan baik atas tujuan yang baik, hasilnya juga akan baik.
Penjelasan tersebut adalah penjelasan dengan menggunakan konsep kesetaraan yang tidak bertentangan dengan lima prinsip dasar perkawinan. Pertama, komitmen yang kokoh (mitsaqan ghaliza), baik suami mapun istri sama-sama berkomitmen dan bersepakat untuk memilih alat kontrasepsi yang dirasa terbaik demi mewujudkan tujuan hidup bersama. Kesepakatan alat kontrasepsi yang dipilih harus dipertimbangkan matang-matang dengan bersama, berikut berkomitmen atas hal-hal yang terjadi kemudian.
Kedua, cinta yang tak bertepi (mawaddah wa rahmah). Dampak yang ditimbulkan dari penggunaan alat kontrasepsi hendaknya menjadikan pasangan semakin saling cinta, bukan sebaliknya, atau justru menjadikan sebab untuk meninggalkannya. Misalnya tubuh sang istri menjadi bertambah beratnya atau wajahnya menjadi kusam, tidak sepatutnya suami memberikan kalimat-kalimat yang tidak mengenakkan.
Melainkan ia harus membantu sang istri untuk mendapatkan kondisi tubuh dan rupa yang ideal kembali dengan memfasilitasi hal-hal yang dibutuhkan. Atau yang tejadi pada pihak lainnya, apabila suami memilih untuk vasektomi yang memungkinkan ia tidak mampu lagi membuahi sel telur istri, janganlah sang istri memberikan kalimat-kalimat yang tidak suami senangi.
Ketiga, kesetaraan atau kesalingan (musawa). Baik suami maupun istri tidak diperkenankan memaksa kawan kawinnya sebagai pihak yang harus menggunakan alat kontrasepsi, melainkan saling memberikan kebebasanuntuk menggunakan ataupun tidak. Jikalau memutuskan menggunakan, siapa yang akan menggunakan dan dengan alat kontrasepsi apa yang digunakan haruslah disepakati bersama.
Keempat, bergaul dengan baik (muasyarah bil ma'ruf). Penggunaan alat kontrasepsi oleh pasangan tidak membuat pasangan lainnya melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan, dan setiap pasangan hendaknya memahami perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikis.
Dan yang terakhir, adalah komunikasi yang intens, mesra, dan akrab antar dua arah (musyawarah). Segala sesuatu yang terjadi sebagai akibat dari penggunaan alat kontrasepsi harus selalu dikomunikasikan dengan baik antar pasangan, sehingga baik perempuan maupun laki-laki tidak saling menzalimi secara lahir dan batin terhadap kawan kawinnya. Jika sudah terjalin hubungan yang demikian, maka terciptalah tujuan dan kemaslahatan dariperkawinan yang diidam-idamkan kedua belah pihak.[D'WAY]
Penulis: Aspiyah Kasdini. R.A
(Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Alumni IAILM Pondok Pesantren Suryalaya, Santri Mubaadalah Fahmina Institute)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H