ALAT KONTRASEPSI, UNTUK SIAPA?
Menurut Dr. Nur Rofi'ah Bil.Uzm (Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an), perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan dalam dua aspek, yakni perbedaan secara bilogis maupun sosial. Perbedaan secara biologis yakni perbedaan berdasarkan jenis kelamin, sedangkan perbedaan secara sosial ialah perbedaan berdasarkan gender yang dikonstruksikan oleh masyarakat tertentu dalam wilayah tertentu pula. Perbedaan secara biologis mencakup vagina, indung telur, sel telur, rahim, serta kelenjar mamae untuk wanita, dan penis, kantong sperma, serta sperma untuk laki-laki.
Perbedaan secara biologis ini juga menimbulkan dampak yang berbeda pula kepada keduanya, perempuan umumnya merasakan ketidak-nyamanan apabila organ-organ tersebut difungsikan, dan terjadi sebaliknya untuk laki-laki. Dapat dikatakan, perbedaan ini lebih dikhususkan sebagai sarana untuk reproduksi dan melestarikan kehidupan di muka bumi.
Dalam konteks hubungan suami dan istri, sebagai jaminan untuk menjaga kesehatan perempuan; kestabilan ekonomi keluarga; pendidikan layak untuk anak; dan jaminan kemanusiaan lainnya, maka terciptalah alat-alat kontrasepsi untuk mengatur kelahiran. Alat-alat kontrasepsi ini ada yang diperuntukkan bagi laki-laki, dan ada juga yang diperuntukkan bagi perempuan.
Diantara alat kontrasepsi bagi laki-laki adalah kondom, senggama terputus, vasektomi, suntik testoteron, dan pil kontrasepsi. Sedangkan untuk wanita diantaranya yakni, pil KB, IUD, kondom, spiral, implan, spermisida, diafragma, dan sterilisasi.
Sesungguhnya terdapat alat kontrasepsi alami yang tidak memberikan kerugian bagi laki-laki maupun perempuan, seperti menggunakan kalender untuk melihat masa suburdan menyusui, namun yang demikian kerap gagal dalam teknisnya, sehingga banyak pasangan suami istri yang memilih untuk menggunakan alat kontrasepsi non-alami seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Umumnya di masyarakat kita, pihak yang menggunakan alat kontrasepsi adalah perempuan, jarang sekali laki-laki sebagai suami mengalah untuk menggunakan alat kontrasepsi. Tentunya banyak alasan yang menjadi sebabnya, antara lain karena kontrasepsi yang digunakan wanita lebih sedikit beresiko kegagalannya, dan juga laki-laki tidak dapat menikmati ejakulasi maksimal jika menggunakan alat kontrasepsi semisal kondom.
Pada akhirnya perempuan-lah yang merelakan tubuhnya untuk disuntik, dicekok obat, bahkan dimasukkan benda semisal spiral ke dalam vaginanya. Tidak lain harapannya adalah agar tercipta kemaslahatan dalam dirinya dan suami, sehingga dapat menjalankan kehidupan perkawinan sesuai yang diimpikan.
Merelakan dan mengorbankan tubuh untuk dipasang alat kontrasepsi tentunya memberikan dampak tidak mengenakkan kepada perempuan, wajah menjadi kusam dan bermunculan flek, jadwal menstruasi yang tidak menentu, badan bertambah gemuk, keadaan mood yang berubah-ubah, pendarahan karena tidak cocok menggunakan spiral, dan ketidak-nyamanan lainnya yang secara tidak langsung merupakan bentuk dari ketimpangan gender.
Mengapa? Karena sudah menjadi takdirnya perempuan mengalami pengalaman-pengalaman untuk organ reproduksinya, tetapiperempuan juga berhak berikhtiar untuk mendapatkan pelayanan terbaik bagi organ-organ berharganya tersebut.
Jika demikian, apakah perempuan berhak menolak untuk menggunakan alat kontrasepsi?Padahal dirinya meyakini bahwa dengan demikian-lah kemaslahatan dalam reproduksi keluarganya dapat tercipta. Nyai Hj. Umdah El Baroroh, M. Hum (Pakar Fiqih Sosial Institute Pesantren Mathali'ul Falah Pati) berpendapat bahwa perempuan berhak menolak pemasangan alat kontrasepsi yang dibebankan kepadanya. Hal ini merujuk kepada tujuan dari kontrasepsi itu sendiri, yakni untuk mengatur kelahiran.