SELAMAT TINGGAL CITA-CITA REFORMASI
Oleh : Aspianor Sahbas
Upaya untuk memperkuat kedaulatan rakyat secara perlahan mulai dirampas oleh DPR. Rakyat tidak lagi mempunyai hak untuk memberikan suara dalam turut menentukan siapa Kepala Daerah yang akan memimpin mereka.
Pemilihan Kepala Daerah yang sudah sepuluh tahun ini berjalan diubah dengan cara melalui DPRD.Konsekuensinya Rakyat hanya akan menjadi penonton yang baik untuk melihat para anggota DPRD memilih para Kepala Daerah. Tidak akan ada lagi sorak-sorai rakyat ikut berkampanye untuk menggalang dukungan. Datang ke TPS memberikan suaranya pada saat Pilkada. Yach, demikianlah kira-kira keadaanya.
Dengan berbagai argumen elit-elit politik tidak rela kalau model-model pemilihan umum memilih Kepala Daerah langsung dipilih oleh rakyat. Rakyat pun harus dicampakkan dan diambil haknya.Begitulah nasib rakyat. Sering menjadi persekongkolan elit politik yang ingin merebut kekuasaan.
Jika DPRD yang memilih Kepala Daerah, pelembagaan kedaulatan rakyat yang semurni-murninya hanya sebatas retorika tanpa makna. Rakyat semakin dijauhkan dari pemimpinnya. Kepala Daerah dan DPRD pun akan menjadi tawanan pemerintah pusat. Sistem pemerintahan akan bergerak ke arah yang sentralistis seperti pada zaman Orde Baru.
Untuk menyesuaikan dengan pemilihan melalui DPRD, maka hampir bisa dipastikan kewenangan Kepala Daerah di tingkat dua akan dipangkas. Kepala Daerah tidak lagi bisa leluasa mengambil kebijakan yang memihak dan berhubungan dengan kepentingan rakyat banyak. Sebab pemerintah pusat pasti akan melakukan kontrol politik yang ketat terhadap Kepala Daerah dan DPRD. Otonomi yang seluas-luasnya yang menjadi tuntutan reformasi akan menjadi menjadi barang mahal.
Pelayanan Pemerintah Daerah kepada rakyatnya tidak akan seperti ketika mereka merasa dipilih langsung oleh rakyat, sehingga mereka harus merasa bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada rakyat.
Banyak yang tidak menyadari kalau model pemilihan melalui DPRD itu akan berdampak pada semakin melemahnya pelayanan pemerintah daerah kepada rakyatnya. Rakyat tidak memiliki daya tawar politik yang tinggi terhadap pejabat-pejabat di daerah untuk bisa memberikan pelayanan yang terbaik kepada rakyatnya.
Beberapa hari yang lalu, MPR sudah mulai membicarakan keinginannya untuk mengembalikan lembaga MPR sebagai lembaga tertinggi negara. MPR kembali akan dijadikan sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Untuk itu rencananya MPR kembali akan melakukan amandemen terhadap UUD 1945 yang sudah dilakukan empat kali perubahan.
Jika kehendak MPR untuk mengamandemen kembali UUD 1945 terlaksana, maka bukan mustahil pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berhubungan dengan penguatan kelembagaan kedaulatan rakyat akan juga turut diubah. Mungkin saja pemilihan Presiden tidak lagi dilaksanakan secara langsung oleh rakyat. Sama seperti dengan memilih Kepala Daerah cukup melalui lembaga perwakilan saja.
Dengan dalih efisiensi dan lain-lain maka pemilihan Presiden akan dilakukan oleh MPR. Lagi-lagi rakyat hanya akan menjadi penonton. Hal ini karena sudah mulai terbangun argumentasi bahwa pengisian jabatan pemerintahan melalui pemilihandengan sistem perwakilan adalah demokratis. Maka model pemilihan melalui lembaga perwakilan juga adalah konstitusional.
Dengan konfigurasi kekuatan politik di MPR yang akan datang, tidak ada rintangan yang terlalu berarti jika MPR berkehendak untuk kembali mengamandemen UUD 1945. Mereka pun dapat dengan sesuka hati mengubah pasal-pasal yang ada dalam UUD 1945 sesuai dengan kepentingan politik yang diinginkan.
Apabila semua itu bisa terjadi maka kita akan kembali kepada zaman Orde Baru. Lalu dengan khidmat mengucapkan selamat tinggal cita-cita reformasi. Pemilihan langsung yang pernah kita bangga-banggakan hanya akan menjadi catatan sejarah. Menjadi dongeng buat menidurkan anak cucu kita di masa yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H