Enam tahun sudah kejadian yang cukup membuat aku terpukul. Selama belasan tahun mencoba menerima, menetralkan hati dari kenyataan yang berbeda jauh dari kebiasaan keluarga.
Hidup dari keluarga yang damai, saling asih asuh, saling jaga nama baik keluarga, saling mengingatkan.
Memasuki gerbang pernikahan, yang keluarga bertolak belakang dari keluarga sendiri. Berusaha mencari sela agar di terima dengan baik, berbagai cara, hanya lewat santet saja yang tidak ( mungkin kalau aku tak terlahir dari rahim seorang ibu yang lembut, baik dan beriman mungkin bisa terjadi)
Kaki jadi kepala, kepala jadi kaki namun tak sekalipun dihargai. Hingga rezeki datang membawa ibu mertua menunaikan ibadah haji,lima tahun sepertinya berubah baik dan pengertian tapi ternyata hanya palsu belaka.
Pulang dari ibadah bukan indah yang didapat bahkan fitnah yang membuat hati hancur. Hanya Allah yang tahu untuk apa tangan dan jemariku bekerja.Â
Allah yang menyaksikan perjalanan di tanah suci bahkan di dunia penuh dengan kekejaman ini.Â
Untuk pertama kalinya dalam kehidupan difitnah yang teramat dalam. Namun jauh di lubuk hati terdalam ,aku memilih memaafkan  mereka yang menyebar fitnah.Â
Fitnah terhadap diri, anak anak bahkan suami. Allah akan menjawab segala tentang luka. Walau lama untuk menyembuhkannya, bahkan butuh waktu yang panjang.
Ini bukan sekedar fitnah memberi barang rongsokan, ini tentang bakti seorang mantu yang tidak pernah dianggap. Sebagaimana usaha untuk tetap baik sebegitu pula ujian ini deras menghantam. Â
Lebih baik memilih  memaafkan agar rasa dendam tidak berkembang menjadi virus yang mematikan.Â
Terlebih dihari kemenangan, namun bukankah memaafkan dan di maafkan bukan hanya di hari fitri namun dalam kesempatan apapun memaafkan dan dimaafkan itu tetap ada. Â
Kedua duanya mempunyai makna tersendiri.Â
Palembang, 13052021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H