Dermaga ini sama seperti dermaga belasan tahun yang lalu, di mana dia pernah melepas seseorang yang pernah memenuhi hatinya. Walau dia tahu perpisahan itu akan membuat luka di hatinya.
Menelusuri  satu demi satu tangga yang menuju pelataran pantai. Duduk di tangga kedua, di mana mereka sempat berbincang tentang masa yang akan datang.
Saling mengharapkan tentang penantian yang akan ada ujungnya, berharap  saling setia dan kembali menelusuri perjalanan bersama.
Setiap tahun dia lakoni hingga akhir dari perjalanan, dia lelah dan dia jenuh. Menanti lima tahun bukanlah hal yang mudah. Terkadang dia menerima hinaan atas penantiannya
Namun ternyata penantian itu tak berujung seperti puisi puisi senja yang di sajikan para pujangga  dan kini dia merasakan bagaimana melewati senja dengan sunyi. Melewati hari tanpa harapan dan tanpa penantian.
Setiap kepulangan, dia  akan selalu menyempatkan diri untuk sejenak menikmati senja di dermaga ini.  Bahkan membiarkan tubuhnya menikmati angin senja. Saat senja berlalu, dia akan beranjak  dan pulang.Â
Lama dermaga dia tinggalkan, menguburkan harapnya di pelataran pantai, menyelipkan namanya di antara batu karang.
Hari ini dia kembali ke dermaga, dengan syal yang menutupi lehernya. Duduk di tempat yang sama di tangga kedua. Membiarkan angin mengikis ketahanan tubuhnya yang mulai menipis sejalannya usianya.Â
Batuk batuk kecil terdengar, duduk di tangga ke dua sembari matanya memandang jauh kedepan, Usia dia tak muda lagi  namun sisa kemudaannya dulu masih terpancar jelas.
Sekarang dia lebih sering berada di dermaga terkadang di antar seorang laki laki muda dan setelah usai senja dia akan di jemput kembali.
Hari ini, aku duduk di tangga kedua, berharap dia datang dan bercerita tentang dermaga ini. Entahlah ada yang berbisik untuk mendekat dan mendengarkan cerita dukanya.